Semuanya untuk mengejar target demi produktivitas dan pertumuhan ekonomi dan "link and match".
Penulis berpendapat bahwa tugas administratif yang kini menjadi tugas harian para dosen di kampus merupakan bentuk kemunduran. Ibarat racun dia akan menggerogoti dan memakan ide-ide kritis dan inovatif para dosen.
Pada era Yunani Kuno, khususnya Aristoteles, tujuan utama pendidikan adalah untuk memasok kebutuhan material masyarakat melalui produksi warga terpelajar (Frijhoff, 1997). Sedangkan, filsuf Cina, Konfusius, memaknai pendidikan sebagai sebuah proses mengintegrasikan individu ke dalam masyarakat (Jarvis, 1995).
Ide universitas, bagi Jawaharlal Nehru, dalam Tilak (2015), adalah penyediaan ruang bagi bersemainya humanisme, toleransi, kemajuan, petualangan gagasan dan pencarian untuk kebenaran.
Pendidikan universitas semestinya bertujuan mendidik mahasiswa memiliki pemikiran kritis melalui pengajaran dan penelitian. Oleh karena itu, pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kehidupan, mengembangkan penilaian yang baik, dan memahami lingkungan.
Belajar dan pembelajaran bukanlah sebuah persaingan atau kontes, tetapi "itu adalah percakapan" dan keutamaan universitas (Oakeshott, 2004). Dengan menyempitnya ruang dosen untuk berekpresi secara intelektual, dan berdialektika, akibat beban administratif, maka produksi warga kritis terpelajar hanya menjadi utopia.
Baca juga: Universitas Indonesia Kukuhkan Sepasang Suami Istri sebagai Guru Besar
Ukuran keberhasilan kampus seharusnya produksi pengetahuan dan tenaga terdidik yang kritis serta hasil riset inovatif yang berdampak besar bagi masyarakat. Namun, idustrialisasi kampus dan birokratisasi kampus justru akan menyebabkan kemunduran seperti yang terjadi di era Aristoteles, hanya sekedar produksi untuk kebutuhan material.
Akhirnya, para dosen pun dituntut untuk mendorong sampai sejauh mana universitas mampu menyediakan tenaga kerja yang sesuai keinginan dunia industri. Semakin banyak lulusannya mampu ditampung dunia industri yang bonafit, maka kampus dan citra dosen akan meningkat.
Setali tiga uang, program Kampus Merdeka pun kemudian menyediakan dan mendorong bagi mahasiswa untuk internship atau magang pada perusahaan-perusahan ternama internasional.
Tidak pernah terpikirkan dan bahkan barangkali menutup peluang bagi mahasiswa untuk magang di lembaga-lembaga riset internasional atau organisasi organisasi kritis nasional dan internasional, seperti NGOs, dan organ-organ di bawah Oraganisasi Internasional ternama.
Di sisi lain, aktivisme kampus pun dengan sendirinya akan mati dan tidak menarik minat bagi mahasiswa. Padahal aktivisme kritis kampus lah yang selama ini berhasil menelorkan para pejabat di negara ini.
Pengetahuan membentuk dan memelihara kuasa dan sebaliknya kuasa mengembangkan dan membentuk suatu rejim kebenaran yang memungkinkan hadir dan diterimanya pengetahuan tersebut (Foucault, 1977).
Demi meningkatkan kinerja dan profesionalitas para dosen, mungkinkah narasi ini menjadi bagian upaya untuk membangun rejim kebenaran seperti dipostulatkan Foucault, sekaligus sebagai jalan lapang bagi dehumanisai dan aliniasi dosen sebagai konsekuensi dari perkembangan kapitalisme lanjut?
Baca juga: Mahasiswa Paling Betah Menatap Layar Gadget
Lukas R. Wibowo
Peneliti Pusat Riset Kependudukan – BRIN