Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Birokratisasi Kampus: “Panopticon’’ di Era Industrialisasi Kampus

Oleh: Lukas R. Wibowo

BARANGKALI para dosen tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa tugas untuk menjalankan visi dan misi universitas dipaksa bergeser dari orientasi kegiatan akademik menjadi kegiatan administratif yang melelahkan, meguras energi dan tidak berujung.

Tugas administratif itu selalu menumpuk di meja kerjanya atau pun barangkali di file-file komputernya.

Ruang kerja yang seharusnya dipenuhi buku bacaan terkini, bahan ajar atau pun jurnal-jurnal terbaru, kini bertumpuk dan berganti dengan tugas dan bukti-bukti administratif sebagai persyaratan dan penilaian ukuran kinerja bagi seorang dosen.

Mereka pun harus melacak kembali berbagai angka kredit dari berbagai tulisan, dan catatan bukti pertemuan ilmiah yang telah dihadiri untuk di upload dalam sistem online dengan batas waktu yang tidak rasional.

Barangkali pemegang kuasa penilaian dan pengawasan tidak pernah membayangkan kalau kebijakan ini akan menyasar para dosen yang telah "sepuh" seorang profesor yang semestinya lebih fokus pada tugas-tugas akademik dan riset besar, namun justru di paksa untuk beradaptasi dengan tugas administratif yang rumit dengan sistem online.

Kampus yang seharusnya sebagai "kawah candradimukanya" dialektika pengetahuan demokratis bagi anak bangsa yang menjunjung tinggi nilai kebebasan dan nilai moralitas etika dalam proses explorasi pengetahuan, pembelajaran dan penelitian, kini justru berpotensi sekedar menjadi sebuah bangunan megah pabrik produksi produk material dan sekalgus menjadi subordiasi kepentingan industri kapitalis.

Penggiringan kampus dan dosen sebagai sub-ordinasi industri kapitalis dimulai dengan birokratisasi benchmarking ukuran kinerja para dosen secara teknikal dan adminitratif.

Sehingga pertanyaannya apakah jargon "Kampus Merdeka" masih relevan untuk di dengung-dengungkan?

Tidakah beban tugas administratif tersebut telah menempatkandan memaksa para dosen bukan saja hanya sebagai petugas administratif berkarakter mekanikal, seperti layaknya pegawai pabrik, tetapi juga bagian obyek pengawasan kekuasaan negara yang eksesif.

Para dosen tidak lagi bebas berkreasi mengembangkan ilmu secara bebas, tetapi kini dipaksa harus berkutat dengan amasalah administratif, kalau tidak akan di sanksi administratif maupun pemotongan gaji mereka.

Meminjam konsep Jeremy Bentham tentang Panopticon (1793), gambaran pendisiplinn dan pengawasan ala penjara (Desiyana, 2017; Foucault, 1977), tampaknya mulai diterapkan di kampus, sebagai upaya kebutuhan menerapkan kedisiplinan dan hukuman melalui hirarki untuk mengobservasi dan mengontrol para dosen.

Mengimajinasikan kampus yang beragam di seluruh Indonesia, dengan berbagai ruang imajiner dari para dosennya memerlukan kepatuhan dan kontrol serta pengawasan ketat agar sesuai dengan kepentingan pusat kekuasaan. Intrumen administratif adalah cara paling efektif untuk mengendalikan aktvitas para dosen.

Instrumen administratif yang excessif ini lah yang dianggap pusat kekuasaan sebagai cara efektif untuk membelit subyek dosen secara physik, mental dan ide, dengan dali kinerja dan profesionalisme. Ide kritis, gagasan inovatif dan ruang dialektika kritis perlahan mulai pudar.

Relasi para dosen dan universitas dengan dunia industri akhirnya semakin menebal, para dosen dan universitas menjadi laksana tidak ubahnya kepanjangan tangan atau sub-ordinasi kepentingan material dunia industri.

Semuanya untuk mengejar target demi produktivitas dan pertumuhan ekonomi dan "link and match".

Penulis berpendapat bahwa tugas administratif yang kini menjadi tugas harian para dosen di kampus merupakan bentuk kemunduran. Ibarat racun dia akan menggerogoti dan memakan ide-ide kritis dan inovatif para dosen.

Ukuran keberhasilan universitas

Pada era Yunani Kuno, khususnya Aristoteles, tujuan utama pendidikan adalah untuk memasok kebutuhan material masyarakat melalui produksi warga terpelajar (Frijhoff, 1997). Sedangkan, filsuf Cina, Konfusius, memaknai pendidikan sebagai sebuah proses mengintegrasikan individu ke dalam masyarakat (Jarvis, 1995).

Ide universitas, bagi Jawaharlal Nehru, dalam Tilak (2015), adalah penyediaan ruang bagi bersemainya humanisme, toleransi, kemajuan, petualangan gagasan dan pencarian untuk kebenaran.

Pendidikan universitas semestinya bertujuan mendidik mahasiswa memiliki pemikiran kritis melalui pengajaran dan penelitian. Oleh karena itu, pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kehidupan, mengembangkan penilaian yang baik, dan memahami lingkungan.

Belajar dan pembelajaran bukanlah sebuah persaingan atau kontes, tetapi "itu adalah percakapan" dan keutamaan universitas (Oakeshott, 2004). Dengan menyempitnya ruang dosen untuk berekpresi secara intelektual, dan berdialektika, akibat beban administratif, maka produksi warga kritis terpelajar hanya menjadi utopia.

Ukuran keberhasilan kampus seharusnya produksi pengetahuan dan tenaga terdidik yang kritis serta hasil riset inovatif yang berdampak besar bagi masyarakat. Namun, idustrialisasi kampus dan birokratisasi kampus justru akan menyebabkan kemunduran seperti yang terjadi di era Aristoteles, hanya sekedar produksi untuk kebutuhan material.

Akhirnya, para dosen pun dituntut untuk mendorong sampai sejauh mana universitas mampu menyediakan tenaga kerja yang sesuai keinginan dunia industri. Semakin banyak lulusannya mampu ditampung dunia industri yang bonafit, maka kampus dan citra dosen akan meningkat.

Setali tiga uang, program Kampus Merdeka pun kemudian menyediakan dan mendorong bagi mahasiswa untuk internship atau magang pada perusahaan-perusahan ternama internasional.

Tidak pernah terpikirkan dan bahkan barangkali menutup peluang bagi mahasiswa untuk magang di lembaga-lembaga riset internasional atau organisasi organisasi kritis nasional dan internasional, seperti NGOs, dan organ-organ di bawah Oraganisasi Internasional ternama.

Di sisi lain, aktivisme kampus pun dengan sendirinya akan mati dan tidak menarik minat bagi mahasiswa. Padahal aktivisme kritis kampus lah yang selama ini berhasil menelorkan para pejabat di negara ini.

Pengetahuan membentuk dan memelihara kuasa dan sebaliknya kuasa mengembangkan dan membentuk suatu rejim kebenaran yang memungkinkan hadir dan diterimanya pengetahuan tersebut (Foucault, 1977).

Demi meningkatkan kinerja dan profesionalitas para dosen, mungkinkah narasi ini menjadi bagian upaya untuk membangun rejim kebenaran seperti dipostulatkan Foucault, sekaligus sebagai jalan lapang bagi dehumanisai dan aliniasi dosen sebagai konsekuensi dari perkembangan kapitalisme lanjut?

Lukas R. Wibowo
Peneliti Pusat Riset Kependudukan – BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2023/07/21/150000023/birokratisasi-kampus--panopticon-di-era-industrialisasi-kampus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke