Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/03/2022, 18:03 WIB
Mela Arnani,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Awan debu seukuruan bintang utuh atau 330 tahun cahaya jauhnya telah berhasil dideteksi. Awan debu ini diakibatkan oleh tabrakan kolosal antara dua planet ekstrasurya yang baru saja terbentuk.

Para astronom telah menganalisis pancaran inframerah dari awan debu tersebut, bersamaan dengan perubahan cahaya bintang induknya, yang secara berkala dihilangkan oleh puing-puing di orbit sekitarnya.

Dengan data itu, ukuran objek yang terlibat dan detail penting lainnya mengenai tumbukan dapat diketahui.

Baca juga: Awan Debu Raksasa dari Sahara Bergerak ke AS, Ini Dampaknya

 

Hal ini memberikan wawasan mengenai pembentukan tata surya, bahkan mungkin menjelaskan bintang yang berpola peredupan aneh seperti KIC 8462852 atau Bintang Boyajian, dengan memberikan lebih banyak informasi mengenai seberapa cepat awan puing menyebar.

“Untuk pertama kalinya, kami menangkap cahaya inframerah debu dan kabut yang ditimbulkan saat awan melintas di depan bintang,” ujar astronom dari Steward Observatory Universitas Arizona Everett Schlawin seperti dikutip dari Science Alert, Sabtu (26/3/2022).

Bintang yang dimaksud bernama HD 166191. Dikarenakan baru terbentuk, bintang tersebut masih dikelilingi material yang cukup banyak, berasal dari sisa proses pembentukan.

Sebagai informasi, bintang-bintang terbentuk dari simpul padat di awan gas yang runtuh karena massanya sendiri, berputar, dan tumbuh dengan mengumpulkan lebih banyak materi di awan di sekitarnya.

Hal itu dikarenakan awan tersebut tersusun menjadi piringan yang memberi makan bintang tersebut seperti air yang mengalir ke saluran pembuangan.

Setelah bintang selesai terbentuk, apa pun yang tersisa di piringan dapat terus membentuk elemen lain dari sistem planet. Gumpalan material saling menempel, mula-mula tertarik secara elektrostatis, lalu secara gravitasi.

Seperti yang dapat dibayangkan, ini adalah proses yang berantakan, dengan banyak tabrakan. Akhirnya, cukup banyak materi yang saling menempel untuk membentuk, dengan pertama-tama benih planet atau planetesimal, lalu akhirnya terbentuk sebuah planet.

Baca juga: Teleskop James Webb Berhasil Memotret Bintang Pertamanya, Seperti Apa?

 

 Penelitian

Dipimpin oleh astronom Kate Su dari Steward Observatory, tim peneliti menggunakan Spitzer Space Telescope, yang sekarang sudah pensiun, untuk melakukan pengamatan inframerah HD 166191. Penelitian ini telah dipublikasikan di The Astrophysical Journal.

Panjang gelombang dapat menembus awan debu untuk melihat proses apa yang terjadi di lingkungan yang sangat tertutup, termasuk cahaya bintang yang diserap dan dipancarkan kembali oleh debu bersinar terang dalam inframerah.

Selama periode 2015-2019, para peneliti mengumpulkan 126 data bintang dan secara khusus mencari awan debu yang mengorbit, kemungkinan merupakan hasil dari tabrakan planetesimal.

Baca juga: Bisakah Teleskop Luar Angkasa James Webb Deteksi Kehidupan Alien?

Pada tahun 2018, sinyal yang dicari muncul. Kecerahan inframerah menunjukkan peningkatan debu dan peredupan, memperlihatkan cahaya bintang terhalang.

Peristiwa peredupan yang sama ditangkap oleh teleskop berbasis darat dalam panjang gelombang optik, dan peredupan serupa 142 hari sebelumnya, selama jeda dalam pengamatan Spitzer.

Data transit multi-panjang gelombang mengonfirmasinya. Sinyal tersebut dihasilkan oleh dua planetesimal yang saling bertabrakan dan memuntahkan debu ke mana-mana.

Pengamatan sebelumnya dari teleskop berbasis darat menunjukkan periode orbit 142 hari, yang memberikan jarak orbit dari bintang 0,62 unit astronomi. Itulah jarak di mana planet berbatu diperkirakan akan terbentuk.

Memiliki data dari beberapa transit juga memungkinkan tim untuk mengamati evolusi cloud. Ini berubah dengan cepat dari transit pertama ke transit kedua, menggelembung, tumbuh lebih lebar, lebih buram dan memanjang, meliputi area setidaknya tiga kali lipat dari bintang.

Kendati begitu, data Spitzer menunjukkan hanya sebagian kecil dari awan yang melintas di antara bumi dan bintang.

Ini mengartikan, bahwa awan sebenarnya jauh lebih besar, mungkin ratusan kali lebih besar dari bintang.

Untuk menghasilkan begitu banyak debu, tim menghitung tabrakan itu pasti terjadi antara dua benda seukuran planet kerdil, dengan diameter sekitar 400 hingga 600 kilometer (sekitar 250 hingga 470 mil).

Tabrakan awal akan menghasilkan begitu banyak panas sehingga beberapa material menguap, sementara sisanya akan terbang menjadi fragmen yang terus memantul dan bertabrakan satu sama lain, serta bebatuan lain di sekitarnya, untuk menciptakan lebih banyak debu.

Baca juga: Dua Galaksi Menari Berhasil Dibidik Teleskop Hubble, Bagaimana Penampakannya?

Pada saat transit ketiga dijadwalkan bergulir, sangat sedikit jejak awan asli yang tersisa. Namun, lingkungan di sekitar bintang telah tumbuh dua kali lebih berdebu seperti sebelum tabrakan, yang menunjukkan puing-puing dari tabrakan menyebar cukup cepat ke seluruh piringan protoplanet di sekitar bintang.

Hal ini tidak hanya menunjukkan gumpalan awan debu kemungkinan tidak cocok untuk menjelaskan peredupan bintang yang khas, tapi juga dapat membantu menjelaskan proses yang membentuk sistem planet penuh, termasuk bumi.

"Dengan melihat piringan puing berdebu di sekitar bintang muda, pada dasarnya kita dapat melihat ke masa lalu dan melihat proses yang mungkin telah membentuk Tata Surya kita sendiri," kata Kate Su.

"Mempelajari tentang hasil tabrakan dalam sistem ini, kita mungkin juga mendapatkan ide yang lebih baik tentang seberapa sering planet berbatu terbentuk di sekitar bintang lain," lanjut dia.

Adapun tim peneliti akan terus memantau HD 166191 untuk melihat, apakah dapat ditemukan perubahan yang lebih menarik pada selubung berdebunya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com