Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyiksaan Hewan di Indonesia Nomor 1 di Dunia, Begini Kata Sosiolog

Kompas.com - 23/10/2021, 19:02 WIB
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Penulis

KOMPAS.com - Lagi-lagi Indonesia menjadi sorotan dunia, bukan karena prestasinya. Kali ini, Indonesia disebut negara nomor satu di dunia sebagai pengunggah konten penyiksaan hewan.

Dalam laporan terbaru, Digital Civility Index (DCI) Microsoft 2020, Indonesia juga menduduki peringkat pertama sebagai penyiksa hewan, seperti diberitakan Kompas.com, Minggu (3/10/2021) lalu.

Menanggapi hal ini, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AB Widyanta mengatakan bahwa dengan sorotan dunia terhadap kasus penyiksaan hewan yang dijadikan konten media sosial oleh masyarakat Indonesia, menurutnya itu adalah bentuk kritik keras bagi negara ini.

Terkait masalah konten penyiksaan hewan yang marak di Indonesia, maka Widyanta memberikan semacam policy brief, yang mana perlunya melakukan kajian mendalam, jika hal itu ditindaklanjuti.

"Maka kajian-kajian lintas ilmu menjadi sangat penting. Namun, ini tantangan bagi kajian lintas ilmu di Indonesia," kata Widyanta saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (23/10/2021).

Baca juga: 5 Hewan Laut Paling Berbahaya, Ada yang Ekornya Beracun

Kasus penyiksaan hewan yang kemudian banyak dijadikan konten oleh para pengguna media sosial di Indonesia, merupakan persoalan kritis bagi negara ini.

Sebab, seolah predikat tersebut mengungkapkan pandangan dunia terhadap sebagian masyarakat Indonesia yang dinilai suka menyiksa hewan.

Namun, benarkah masyarakat Indonesia suka menyiksa hewan, apa penyebabnya?

Widyanta mengatakan bahwa animal right atau hak asasi hewan perlu mendapat sorotan di dalam dunia akademik, yakni perlunya mendorong kajian trans disipliner, terutama terkait critical animal study.

Paradigma antroposentrisme dan penyiksaan hewan

Mengenai maraknya konten penyiksaan hewan di Indonesia, Widyanta memberikan perspektif awal yang menunjukkan bahwa sesungguhnya, manusia juga disebut sebagai zoon politicon. Zoon sendiri berarti hewan, jadi manusia adalah hewan yang bermasyarakat.

Baca juga: 7 Hewan Buas yang Paling Mematikan

Ilustrasi hewan peliharaanshutterstock Ilustrasi hewan peliharaan

"Sementara hewan yang selama ini disebut non-manusia, seringkali diperlakukan sangat tidak berbasis pada hak-hak hidup mereka. Kita (manusia) jadi semacam hewan, hewan yang bengis terhadap hewan lain," jelas Widyanta.

Jadi itu, kata Widyanta, adalah kritik yang dalam paradigma besar disebut sebagai antroposentrisme, yang mana paradigma tersebut sangat kuat dalam diri kita sebagai manusia.

Paradigma antroposentrisme adalah cara pandang bahwa manusia merupakan spesies paling penting dan terpusat daripada spesies hewan.

Sudut pandang antroposentris manusia sangatlah kuat. Bukan hanya terhadap hewan, tetapi juga soal biodiversity atau keanekaragaman hayati dan seluruh ekologi yang ada di bumi.

Artinya, bahwa di dunia ini bukan hanya hak-hak hewan saja yang perlu dipahami, tetapi seluruh keanekaragaman hayati, bahkan tumbuhan atau pepohonan, juga memiliki hak yang mesti dilindungi, kata Widyanta.

Baca juga: Apakah Hewan Bisa Tertawa?

"Bingkai dari semua itu adalah soal gaia democracy, ujungnya nanti sampai pada demokrasi ibu bumi. Jadi demokrasi ini tidak hanya untuk manusia, tetapi juga ketika ada entitas kehidupan yanglain, hewan dan tumbuhan juga punya hak," papar Widyanta.

Penyiksaan hewan di Indonesia yang disoroti oleh dunia, kata Widyanta, adalah salah satu praktik kecil yang jika diibaratkan sebagai puncak gunung es, itu adalah masalah yang hanya tampak di puncaknya saja.

Sebab, ada hal-hal yang sebenarnya menopang persoalan terkait penyiksaan hewan.

"Penyiksaan hewan saya sebut hal sepele, bukan berarti saya menyepelekan, tetapi itu adalah kasus kecil dari praktik hidup manusia Indonesia yang bengis. Potret besarnya sesungguhnya ditopang oleh paradigma antroposentrisme yang kuat," jelas Widyanta.

Widyanta mengungkapkan dalam pandangan ecofeminisme, ada cara-cara hidup patriarki, yang tidak melulu soal hubungan perempuan dan laki-laki, tetapi juga pada hewan.

Baca juga: 5 Hewan Terbesar di Dunia, Salah Satunya Buaya Air Asin

Ilustrasi hewan, binatangShutterstock/Ssusan Schmitz Ilustrasi hewan, binatang

Menilik lebih dalam tentang penyiksaan hewan di Indonesia dalam gambaran piramida es, ada masalah yang jauh lebih besar.

Semua itu ditopang oleh paradigma antroposentrisme, pendidikan dan cara hidup manusia.

Lantas, mengapa penyiksaan hewan sering dilakukan manusia?

Lebih lanjut Widyanta mengatakan bahwa manusia adalah penganut hukum rimba.

Sejak kecil, telah ditanamkan pendidikan tentang rantai makanan, yang mana manusia merupakan bagian dari rantai makanan tersebut.

Baca juga: Mengapa Perlu Dilakukan Pelestarian terhadap Hewan yang Langka?

 

Secara antroposentris, cara pandang kita sejak kecil telah ditanamkan bahwa manusia adalah predator.

"Ketika kita melihat secara antroposentris seperti itu, dan dianggap sebagai hukum alam, sebetulnya kita sedang menghancurkan diri sendiri, karena kita membunuh hewan, tumbuhan yang merupakan naungan hidup kita," kata Dosen Departemen Sosiologi FISIPOL UGM ini.

Hak asasi hewan atau animal right hanya sebuah pintu masuk untuk bicara tentang ekosida, yang mana ekosida itu sesungguhnya yang akan membuat manusia punah.

Menurut Widyanta, pembentukan pendidikan sejak dini dengan pengenalan pentingnya bumi dan ekologi yang ada bagi seluruh makhluk, merupakan upaya yang bisa dilakukan supaya hal-hal seperti penyiksaan hewan tidak tertanam dalam diri kita sebagai manusia.

Baca juga: 5 Hewan Purba yang Masih Hidup

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com