Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Pulang atau Tidak Pulang: Mobilitas Pelajar Indonesia Jelang Hari Raya Idul Fitri

Kompas.com - 06/05/2021, 11:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Inayah Hidayati

Hingga awal Mei 2021 jumlah kasus Covid-19 di dunia menyentuh angka lebih dari 152 juta kasus terkonfirmasi dan angka kematian lebih dari 3 juta jiwa.

Kondisi ini tentu saja mempengaruhi kebijakan mobilitas internal maupun internasional di berbagai negara.

Data dari Hale, dkk. (2021) yang disajikan pada platform ourworldindata.org menunjukkan, 25 negara menutup perbatasan (total border closer) secara keseluruhan bagi pelaku mobilitas internasional.

Sementara Indonesia dan sebagian besar negara-negara di dunia, membatasi mobilitas internasional dari negara-negara tertentu yang berisiko meningkatkan penularan virus di dalam negeri.

Baca juga: 5 Alasan Pemerintah Terbitkan Larangan Mudik Lebaran Mei 2021

Berdasarkan Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nomor 8 Tahun 2021, hingga saat ini pemerintah masih melarang warga negara asing untuk memasuki Indonesia.

Hanya warga asing dengan kriteria terbatas yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2020 yang diizinkan memasuki wilayah Indonesia.

Namun demikian, pelarangan mobilitas internasional ke Indonesia tidak berlaku bagi warga negara Indonesia (WNI).

Pada masa pandemi ini WNI dari luar negeri tetap diizinkan masuk ke Indonesia dengan melalui prosedur karantina dalam jangka waktu 5-14 hari.

Apalagi jelang hari raya Idul, Fitri arus kepulangan para migran internasional sudah mulai dirasakan, mulai dari pekerja migran, diaspora hingga pelajar migran internasional.

Kepulangan pelajar migran internasional dari luar negeri
Berdasarkan hasil survei Hidayati (2020), 46,37 persen pelajar migran Indonesia di luar negeri tetap memiliki niatan untuk pulang ke daerahnya walaupun kasus Covid-19 masih tinggi.

Alasan utama untuk pulang adalah para pelajar tersebut sudah menyelesaikan masa studinya (45,22%) dan mengunjungi keluarga karena sedang libur (32,33%).

Para pelajar migran internasional umumnya berasal dari negara-negara yang tidak menutup penuh perbatasannya, seperti Amerika Serikat dan sebagian besar Eropa.

Bahkan kondisi pandemi di negara setempat yang juga tinggi, dapat menjadi pendorong bagi mereka untuk memutuskan pulang ke Indonesia.

Baca juga: 3 Fakta Sains yang Jadi Alasan Larangan Mudik Lebaran 2021

 

Kebijakan negara setempat dan Indonesia memang akan menjadi faktor utama yang mempengaruhi mobilitas pelajar internasional untuk pulang ke Indonesia.

Apalagi, mobilitas pelajar Indonesia dari luar negeri hingga ke daerah asalnya dikecualikan dalam aturan larangan mudik Lebaran berdasarkan Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan COVID-19 Nomor 13 Tahun 2021.

Setelah menyelesaikan masa karantina dan dinyatakan negatif Covid-19, para pelajar migran dari luar negeri ini diizinkan untuk melanjutkan perjalanan hingga ke rumahnya masing-masing termasuk pada tanggal 6-17 Mei 2021.

Pengecualian pelarangan mobilitas bagi para pelajar migran dari luar negeri ini cukup menguntungkan pelajar migran.

Baca juga: Belajar dari Lonjakan Kasus Covid-19 di India dan Thailand, Epidemiolog: Jangan Beri Celah Masyarakat Berpergian

Artinya, tidak ada lagi kekhawatiran akan terjebak di kota tempat pesawat mereka mendarat dan bisa melanjutkan perjalanannya melewati batas provinsi dan kabupaten/kota.

Berdasarkan wawancara, salah seorang pelajar migran yang baru pulang dari luar negeri dan hingga saat ini masih menjalani masa karantina, mengaku cukup optimis bisa sampai rumahnya sebelum hari raya.

Bahkan dia berpendapat, perjalanan menuju rumahnya akan lebih aman, karena pemerintah telah menjaminnya untuk dapat bermobilitas sekalipun dalam kurun waktu pelarangan mudik.

Bagaimana dengan pelajar migran internal?

Saat pelajar migran internasional memiliki hak istimewa untuk pulang ke daerahnya, lain halnya dengan pelajar migran internal.

Pelajar migran internal merupakan pelajar yang sekolah/kuliah di luar kabupaten/kota dan provinsi asalnya.

Bersama dengan penduduk lainnya, para pelajar migran internal ini tidak diizinkan melakukan perjalanan mudik lebaran pada tanggal 6-17 Mei ini.

Walaupun sebagian besar sekolah maupun universitas telah melaksanakan pembelajaran secara daring, tidak menutup kemungkinan masih banyak pelajar migran internal yang ‘terjebak’ di Jakarta, Bandung, Yogyakarta hingga Makassar yang merupakan tujuan para migran pelajar untuk sekolah.

Salah seorang pelajar di Yogyakarta misalnya, sepanjang masa pandemi dia memutuskan untuk tidak pulang ke daerah asalnya dengan pertimbangan agar fokus kuliah.

Demikian pula dengan pelajar di bidang kesehatan seperti keperawatan misalnya, tetap tinggal di rantau karena kurikulumnya membutuhkan banyak kuliah praktek yang tidak memungkinkan dilakukan secara daring.

Baca juga: Aturan Larangan Mudik dan Nekat Pulang Kampung, Ini Kata Psikolog

Para santri Al-Tsaqafah yang sedang menimba ilmu dari guru.Dok. Ponpes Al-Tsaqafah Para santri Al-Tsaqafah yang sedang menimba ilmu dari guru.

Keadaan yang sama juga dialami oleh para pelajar migran yang tinggal di pesantren. Meskipun masih muncul pro dan kontra terkait dispensasi bagi santri, aturan yang sama juga berlaku bagi mereka untuk tidak melakukan perjalanan mudik lebaran.

Jumlah santri yang mondok di pesantren lintas kabupaten/kota, provinsi bahkan pulau memang cukup banyak.

Tim Resiliensi Keluarga - Pusat Penelitian Kependudukan LIPI yang melakukan penelitian di pesisir Demak pada Maret lalu menemukan, bahwa sebagian besar anak-anak usia SMP ke atas sudah dikirim ke pesantren oleh orangtuanya.

Umumnya, anak yang mondok baru pulang ke rumah orangtuanya saat Idul Fitri. Dengan adanya peraturan pemerintah terkait mudik lebaran, maka diperkirakan mereka tidak akan mudik. Terutama yang pesantrennya berada di luar kabupaten/kota maupun provinsi tempat asalnya.

Jalan menuju kampung halaman

Pada dasarnya, migran Indonesia merupakan bi-local population, walaupun telah meninggalkan daerah asalnya masih mempunyai keterikatan dengan tempat asal.

Faktor daerah asal, terutama keluarga, merupakan penarik utama para migran untuk kembali.

Apalagi, hari raya Idul Fitri merupakan momen sakral bagi umat muslim Indonesia dan terbudaya untuk mudik dan silaturahmi.

Mobilitas pelajar pada masa pandemi Covid-19 memang berpotensi menyebarkan virus ke daerah asal.

Apalagi perkembangan terakhir sudah ditemukan dua kasus mutasi Covid-19 dari India dan satu kasus varian Afrika Selatan di Bali.

Belajar dari peningkatan kasus akibat mobilitas di libur panjang yang lalu, mobilitas penduduk memang penting untuk dibatasi.

Baca juga: Kerumunan Pendukung Persija, Mengapa Banyak Orang Indonesia Tak Takut Tertular Covid-19?

Belum lagi perjalanan mudik lebaran akan menuju kampung halaman, serta pasti bertemu keluarga yang lebih tua dan memiliki risiko terpapar Covid-19 lebih tinggi. Risiko untuk menyebarkan virus di kampung halaman masih sangat tinggi.

Saat ini pemerintah hanya bisa memutus mobilitas antar wilayah pada kurun waktu larangan mudik. Namun, kepulangan para pelajar migran internal tidak dapat dihindari.

Apalagi pada masa pengetatan pra mudik syarat untuk melakukan perjalan relatif mudah, hanya dengan memiliki surat bebas Covid-19.

Pelonggaran terhadap pelajar internasional yang diperbolehkan mudik juga perlu diwaspadai, karena mereka masih berpotensi tertular selama perjalanan dan menjadi orang tanpa gejala.

Satu-satunya cara menekan penyebaran virus memang harus dilakukan pembatasan mobilitas, termasuk mobilitas di kawasan aglomerasi.

Selain itu, protokol kesehatan harus dipatuhi secara ketat, karena ruang-ruang perjumpaan di kampung halaman akan sangat sulit untuk dihindari.

Inayah Hidayati
Peneliti Bidang Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com