Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tidak Mendung, Bagaimana Petir Sebabkan Dentuman Misterius Malang?

Kompas.com - 05/02/2021, 13:05 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Rabu (3/1/2021), suara dentuman misterius yang terjadi sekitar pukul 23.32 WIB menghebohkan masyarakat Kota Malang, Jawa Timur dan juga warganet.

Kendati masyarakat banyak menduga bahwa dentuman tersebut berasal dari benda jatuh antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyatakan bahwa tidak ada catatan asteroid jatuh di Indonesia pada periode tersebut.

Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, juga berkata bahwa tidak terjadi pergerakan tanah ataupun gempa bumi yang bisa menyebabkan terdengarnya dentuman keras di Malang.

Lantas, kemungkinan penyebabnya adalah petir. Namun, seperti disampaikan oleh Daryono, pada saat itu kawasan terdengarnya suara dentuman tidak sedang mendung dan ada petir. Apa yang sebetulnya terjadi?

Baca juga: Suara Dentuman Sering Dikaitkan dengan Benda Jatuh Antariksa, Begini Cara Lapan Menganalisisnya


"Ini fenomena tropospheric ducting, kiriman petir dari tempat sangat jauh," jelas Daryono, Jumat (5/2/2021).

Fenomena tropospheric ducting terjadi akibat tertindihnya lapisan udara dingin oleh udara hangat yang disebut temperature inversion.

Hal ini membuat suara petir tidak menyebar, tetapi menjalar ke muka Bumi.

"Sehingga, suara petir menjadi lebih kuat meski jarak sangat jauh mengikuti saluran audio yang disebut tropospheric ducting," kata dia.

Dipengaruhi oleh geografi Malang

Astronom Amatir Indonesia Marufin Sudibyo juga sependapat. Melalui akun instagramnya, dia menyampaikan bahwa lembah Malang, inversi atmosfer dan petir menyebabkan dentuman berulang di Kota Malang.

Untuk diketahui, secara geografis, Kota Malang duduk di sebuah lembah besar bersumbu utara-selatan dengan Pegunungan Tengger dan Gunung Semeru di sisi timurnya. Sementara itu, di sisi barat Kota Malang adalah Gunung Kawi, Arjuno dan Welirang.

Nah, letak geografis Kota Malang ini sangat erat kaitannya dengan dentuman yang terjadi dua hari lalu.

Marufin menjelaskan, normalnya suhu udara di Bumi menurun dengan bertambahnya ketinggian. Namun, pada kondisi tertentu, selapis udara lebih hangat bisa terbentuk di atas lapisan udara dingin.

Baca juga: 4 Fakta Suara Dentuman di Malang, Tak Ada Asteroid Jatuh dan Bukan Gempa Bumi

"Inilah inversi atmosfer," kata Marufin.

Saat inversi terjadi di suatu lembah, pada dasarnya ia menyekap udara yang lebih dingin untuk bertahan di dekat permukaan Bumi, sehingga atmosfer setempat lebih stabil dan hujan pun tidak selalu terjadi. Akan tetapi, kabut kerap terjadi dan bertahan cukup lama dibandingkan normalnya.

"Satu aspek menarik dari inversi atmosfer adalah pemantulan gelombang akustik (suara)," jelasnya.

Inversi atmosfer bisa menyebabkan pemantulan gelombang akustik di mana suara bisa terpantul berulang-ulang. Bahkan, suara yang terpantul bisa terdengar ke titik sangat jauh dari sumbernya dan menciptakan fenomena-mirip-gema dan berlangsung hingga beberapa hari.

"Tempatkan sumber dentuman dekat lokasi inversi, maka kita akan mendengarnya berulang-ulang," imbuh Marufin.

Baca juga: 5 Fakta Suara Dentuman di Bali, Mirip Kejadian di Bone 2009

Sebagai informasi, masyarakat di sekitar Kota Malang memang banyak yang menyebutkan bahwa mereka mendengar dentuman keras tersebut berulang kali sejak tengah malam hingga pagi hari, sekitar jam setengah 7 pagi.

"Penjelasan paling logis dari kejadian dentuman berulang di Malang, menurut saya, adalah kombinasi hujan petir dan inversi atmosfer," tegas Marufin.

Inversi atmosfer dikenal mampu memproduksi hujan petir di tepi area inversi, dan sejauh ini data petir dan cuaca setempat menunjang penjelasan tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com