Kini, metode pengobatan ini kembali dibangkitkan untuk menjadi senjata potensial dalam perawatan Covid-19.
"Plasma darah yang sembuh (plasma konvalesen) telah digunakan sepanjang sejarah saat menghadapi penyakit menular di mana ada orang yang pulih dan tidak ada terapi lain," kata Warner Greene, direktur Pusat Penelitian Penyembuhan HIV di Gladstone Institutes.
Terapi plasma darah dari orang yang sembuh, ternyata berhasil mengurangi kematian akibat pandemi flu Spanyol.
Baca juga: Amerika Serikat Izinkan Pengobatan Covid-19 dengan Plasma Konvalesen, Begini Cara Kerjanya
Setelah antitoksin von Behring didistribusikan ke seluruh dunia untuk mengobati wabah difteri di tahun 1895, para dokter bereksperimen dengan metode kekebalan pasif yang sama dalam menyembuhkan campak, gondongan, polio dan influenza.
Bahkan, selama pandemi flu Spanyol tahun 1918, tingkat kematian dapat diturunkan dengan menggunakan metode pengobatan plasma darah.
Seorang dokter di sekolah kedokteran di Pennsylvania pertama kalinya mencoba teknik unik untuk mencegah penyakit campak yang berpotensi mematikan.
Baca juga: Antibodi dari Plasma Darah Pasien Corona Efektif Deteksi Covid-19, Ini Penjelasannya
Dr J. Roswell Gallagher, pada tahun 1934 mencoba mengambil serum darah dari seorang siswa yang baru saja sembuh dari infeksi campak yang parah.
Serum darah itu kemudian disuntikkan kepada 62 anak laki-laki lain yang berisiko tinggi tertular penyakit tersebut.
Namun, hanya tiga siswa yang akhirnya tertular campak dan semua kasusnya relatif ringan.
Meskipun metode tersebut relatif baru, namun bukan hal baru bagi sains. Kini, plasma konvalesen kembali menjadi terapi perawatan bagi pasien yang terinfeksi virus corona baru, SARS-CoV-19 yang mewabah sejak akhir 2019 lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.