Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sebelum Vaksinasi, Plasma Darah Senjata Melawan Pandemi sejak 1880-an

KOMPAS.com - Badan pengawas obat dan makanan (FDA) Amerika Serikat (AS) baru saja mengizinkan penggunaan plasma darah dari pasien yang sembuh dari infeksi virus corona.

Pandemi baru ini telah membuat hampir 24 juta orang di dunia terinfeksi virus corona baru, SARS-CoV-2, dan menyebabkan 818.216 orang meninggal.

Hingga saat ini, pengembangan vaksin terus dikebut untuk bisa mengendalikan pandemi global ini. Sebab, Covid-19, penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus ini, semakin menyebar.

Vaksin corona diperkirakan akan siap paling cepat di akhir tahun ini, tetapi sebagian besar baru dapat tersedia pada 2021.

Sementara itu, angka kasus infeksi semakin bertambah. Satu-satunya bentuk perawatan yang memungkinkan dilakukan yakni penggunaan plasma darah dari pasien Covid-19 yang telah pulih.

Disebut sebagai plasma konvalesen, yang ternyata bukanlah teknologi pengobatan baru di dunia kedokteran. Pasalnya, metode ini telah digunakan untuk melawan berbagai penyakit dan pandemi flu yang mewabah tahun 1918 lalu.

Dari tahun 1880-an hingga era ditemukannya antibiotik, plasma konvalesen dari plasma darah pasien yang sembuh dari penyakit juga pernah digunakan untuk mencegah dan mengobati banyak infeksi bakteri dan virus pada manusia dan hewan.

Serum darah obati wabah difteri

Pendekatan rasional pertama, pada tahun 1890 dilakukan oleh ahli fisiologi Emil von Behring dan Kitasato untuk mengobati difteri, dikutip dari National Center for Biotechnology Information (NCBI).

Behring menggunakan serum darah, yang awalnya itu diproduksi dari hewan yang diimunisasi tetapi segera seluruh serum darah dari donor pulih dengan kekebalan humoral tertentu diidentifikasi sebagai kemungkinan sumber antibodi spesifik yang berasal dari manusia.

Melansir History, berkat metode perawatan yang disebut sebagai antitoksin difteri, Behring diganjar Hadiah Nobel pertama di bidang Fisiologi dan Kedokteran pada tahun 1901.

Antitoksin Von Behring bukan vaksin, akan tetapi menjadi contoh paling awal metode pengobatan yang kemudian dikenal sebagai plasma pemulihan atau plasma konvalesen.

Kini, metode pengobatan ini kembali dibangkitkan untuk menjadi senjata potensial dalam perawatan Covid-19.

"Plasma darah yang sembuh (plasma konvalesen) telah digunakan sepanjang sejarah saat menghadapi penyakit menular di mana ada orang yang pulih dan tidak ada terapi lain," kata Warner Greene, direktur Pusat Penelitian Penyembuhan HIV di Gladstone Institutes.

Terapi plasma darah dari orang yang sembuh, ternyata berhasil mengurangi kematian akibat pandemi flu Spanyol.

Setelah antitoksin von Behring didistribusikan ke seluruh dunia untuk mengobati wabah difteri di tahun 1895, para dokter bereksperimen dengan metode kekebalan pasif yang sama dalam menyembuhkan campak, gondongan, polio dan influenza.

Bahkan, selama pandemi flu Spanyol tahun 1918, tingkat kematian dapat diturunkan dengan menggunakan metode pengobatan plasma darah.

Seorang dokter di sekolah kedokteran di Pennsylvania pertama kalinya mencoba teknik unik untuk mencegah penyakit campak yang berpotensi mematikan.

Dr J. Roswell Gallagher, pada tahun 1934 mencoba mengambil serum darah dari seorang siswa yang baru saja sembuh dari infeksi campak yang parah.

Serum darah itu kemudian disuntikkan kepada 62 anak laki-laki lain yang berisiko tinggi tertular penyakit tersebut.

Namun, hanya tiga siswa yang akhirnya tertular campak dan semua kasusnya relatif ringan.

Meskipun metode tersebut relatif baru, namun bukan hal baru bagi sains. Kini, plasma konvalesen kembali menjadi terapi perawatan bagi pasien yang terinfeksi virus corona baru, SARS-CoV-19 yang mewabah sejak akhir 2019 lalu.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/08/26/073200223/sebelum-vaksinasi-plasma-darah-senjata-melawan-pandemi-sejak-1880-an

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke