Oleh Melani Ratih Mahanani
PANDEMI Covid-19 memberikan dampak pada seluruh aspek kehidupan sehari-hari termasuk pada layanan kesehatan penderita kanker.
Ketiadaan vaksin dan obat menjadikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), walau kini mulai dilonggarkan, krusial untuk dilaksanakan saat ini sebagai upaya mencegah terpuruknya sistem kesehatan di Indonesia.
Masalahnya, upaya tersebut dapat menghambat pelayanan pada pasien kanker di Indonesia karena mereka takut terinfeksi virus SARS-CoV-2 saat berkunjung ke rumah sakit dan bertemu tenaga kesehatan.
Pada saat bersamaan, sistem kesehatan melemah karena mayoritas sumber daya kesehatan dicurahkan untuk menangani pasien Covid-19 yang jumlahnya terus meningkat. Kemungkinan lebih buruk bisa terjadi karena kita belum tahu kapan wabah ini berakhir.
Padahal, keterlambatan diagnosis dan terapi dalam kasus kanker dapat menimbulkan penyebaran ke jaringan atau organ tubuh lain. Beberapa tumor jaringan padat yang ganas (seperti kanker paru dan kanker pankreas) serta kanker darah (seperti leukemia akut) membutuhkan diagnosis dan pengobatan sesegera mungkin.
Walau wabah Covid-19 di Indonesia memasuki bulan keempat, Kementerian Kesehatan belum menerbitkan panduan ihwal pengambilan keputusan tata laksana pada setiap jenis kanker yang ditujukan untuk tenaga medis pada masa pandemi ini. Panduan untuk penyakit lain seperti pelayanan Tuberkulosis telah diterbitkan.
Selain penting bagi tenaga kesehatan, panduan yang berisi edukasi bagi para pasien/survivor kanker di Indonesia juga sangat diperlukan. Apalagi angka kejadian penyakit kanker begitu besar, mencapai 136,2 orang dari 100.000 penduduk di Indonesia pada 2018.
Yang mengkhawatirkan, menurut data Kementerian Kesehatan , prevalensi kanker di Indonesia naik dari 1,4 per 1000 penduduk (tahun 2013) menjadi 1,8 per 1000 penduduk (2018).
Hingga saat ini belum terdapat bukti kuat bahwa kanker meningkatkan risiko terinfeksi Covid-19.
Sebuah penelitian di Cina menunjukkan sebanyak 18 pasien kanker (1% dari 1590 orang yang diteliti) memiliki risiko lebih tinggi mengalami perburukan penyakit dari Covid-19 yang ditunjukkan dengan peningkatan kebutuhan dirawat di Intensive Care Unit (ICU) dan penggunaan mesin bantu nafas atau ventilator.
Perlu dicatat bahwa jumlah pasien kanker dalam riset tersebut sangat sedikit (1% dari 1590 sampel) dan hanya 4 dari 18 pasien kanker tersebut yang sedang dalam pengobatan kanker.
Selain itu, rata-rata usia yang berbeda pada pasien dengan kanker versus pasien non-kanker (63,1 vs. 48,7 tahun) seolah-olah memberikan kesan bahwa pasien mengalami komplikasi akibat umur yang telah diketahui berperan dalam meningkatkan risiko terinfeksi penyakit Covid-19 dan bukan akibat kanker yang diderita.
Selain itu, 12 dari 18 pasien tersebut tidak memiliki riwayat terapi kanker dalam 1 tahun terakhir dan mereka memiliki riwayat merokok yang lebih lama dibandingkan dengan pasien non-kanker dalam penelitian tersebut.
Lalu bagaimana dengan pasien kanker yang sedang atau baru-baru ini mendapat terapi kanker, seperti kemoterapi, yang mengganggu sistem imun tubuh?