Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pandemi Corona Tekankan Pentingnya Regulasi Perdagangan Satwa Liar

Kompas.com - 26/04/2020, 17:30 WIB
Ellyvon Pranita,
Sri Anindiati Nursastri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 masih masif terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Melihat kondisi ini, ahli menyarankan pentingnya berkaca dengan peristiwa sebelumnya dan lakukan pembahasan zoonosis dalam regulasi perdagangan satwa liar.

Seperti yang diketahui, virus corona jenis SARS-CoV-2 sebagai penyebab Covid-19 pertama kali muncul di pasar satwa liar Wuhan, China pada bulan Desember 2019. Disebutkan virus ini berasal dari hewan liar yaitu kelelawar sebagai inang perantara.

Virus yang awalnya dikabarkan hanya menginfeksi antar-hewan ini, sudah berubah menjadi zoonosis atau menginfeksi pada manusia juga, dan jumlah kasus pasien terinfeksi di dunia per tanggal 26 April 2020 sudah mencapai 2,92 juta orang.

Baca juga: Virus Corona dan Kelelawar, Berevolusi Bersama Selama Jutaan Tahun

Kendati identifikasi dan penelitian lebih lanjut terus dilakukan oleh para ahli, potensi zoonosis masih bisa terjadi dengan jenis penyakit atau wabah lainnya.

Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati sekaligus Peneliti Zoologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amir Hamidy, mengatakan pencegahan paling utama kejadian serupa bisa terjadi adalah membuat regulasi yang kuat.

Kementeran Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus saling berkoordinasi dalam merumusan regulasi yang tepat dalam perdagangan satwa liar di Indonesia, untuk mencegah kejadian serupa terjadi kembali.

Baca juga: Bukan Kebetulan, Virus Corona Muncul Akibat Ulah Manusia

"KLHK yang juga melibatkan kementerian lain seperti Kementan dan Kemenkes, harus saling berkoordinasi dalam konteks merumuskan regulasi, yang paling penting adalah pencegahan," kata Amir dalam laman resmi LIPI.

Selain itu, kata dia, pencegahan juga bukan hanya dari satu sisi yaitu satwa liar, tetapi juga dari aspek zoonosis dan aspek kesehatan manusia yang harus terintegrasi untuk melahirkan satu regulasi yang kuara sebagai upaya pencegahan.

Baca juga: 5 Daftar Penyakit Zoonosis Paling Mematikan, H1N1 sampai Virus Corona

Sisi lain lagi yaitu konteks edukasi dirasa perlu bagi semua pihak termasuk masyarakat agar dapat belajar dari pandemi yang saat ini terjadi, dan mempersiapkan diri jika ada peristiwa berikutnya.

"Kita memang harus belajar dari situasi yang ada saat ini, jadi diharapkan ke depannya ada koordinasi yang kuat antara kementerian untuk bisa menghasilkan suatu regulasi lagi bahwa aspek zoonosis ini sangat penting terutama dalam konteks pemanfaatan satwa liar," ujar dia.

Trenggiling yang akan dilepaskan kembali ke alam liar di China Selatan setelah diselamatkan di kota Qingdao, provinsi Shandong China Timur, 14 September 2017.

Trenggiling yang akan dilepaskan kembali ke alam liar di China Selatan terlihat di Qingdao, provinsi Shandong di China Timur, Kamis (14 September 2017). Trenggiling wanita sepanjang satu meter diselamatkan oleh warga setempat dan diserahkan ke asosiasi penyelamatan satwa liar di Qingdao. Hewan ini dalam keadaan sehat dan akan dikirim kembali ke rumahnya di alam sesegera mungkin. REUTERS/Xue hun Trenggiling yang akan dilepaskan kembali ke alam liar di China Selatan setelah diselamatkan di kota Qingdao, provinsi Shandong China Timur, 14 September 2017. Trenggiling yang akan dilepaskan kembali ke alam liar di China Selatan terlihat di Qingdao, provinsi Shandong di China Timur, Kamis (14 September 2017). Trenggiling wanita sepanjang satu meter diselamatkan oleh warga setempat dan diserahkan ke asosiasi penyelamatan satwa liar di Qingdao. Hewan ini dalam keadaan sehat dan akan dikirim kembali ke rumahnya di alam sesegera mungkin.

Berkaca dari masa lalu

Amir mengatakan, kejadian pandemi Covid-19 dapat menjadi momen berkaca pada peristiwa masa lalu dalam kejadian flu burung.

"Sudah terbukti ada interaksi dari satwa liar dengan tidak bagus, kemudian kontak kita dengan satwa liar tersebut sangat intensif, kemudian satwa liar tersebut membawa virus yang akhirnya bermutasi, kemudian transfer dan menginfeksi ke manusia," jelas dia.

Amir mengungkapkan, Perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) sebenarnya sudah diatur dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang mempunyai tujuan mencegah kepunahan dari satwa-satwa liar.

Baca juga: Eksploitasi Satwa Liar dapat Tingkatkan Transmisi Virus ke Manusia

Negara-negara yang meratifikasi CITES wajib melaporkan satwa liar atau tumbuhan yang masuk appendix CITES dalam kegiatan untuk diekspor maupun yang diterima.

“Dengan mekanisme seperti itu akan dievaluasi dan akan dikontrol. Hewan-hewan yang sudah masuk apendix CITES itu sudah jelas-jelas sangat kritis dan sudah sangat harus segera diberikan perlindungan secara penuh dan tidak boleh dimanfaatkan sama sekali dari alam," tuturnya.

Menurut Amir, terkait perdagangan satwa liar paska kejadian Covid-19, dalam konteks regulasi Vietnam dan China melarang perdagangan satwa liar terutama yang untuk konsumsi, namun regulasi tersebut belum menyentuh untuk satwa yang dijadikan hewan peliharaan.

Baca juga: Waspada Penyebaran Virus Corona dari Satwa Liar

Namun, di Indonesia belum ada regulasi menyentuh ke substansi dasar antara Covid-19 dengan perdagangan TSL.

“Belum ada regulasi tentang itu, akan tetapi justru tekanan yang dari luar yaitu begitu ada kejadian ada di Cina dan Vietnam, tekanan akan berimbas pada perdagangan yang terjadi saat ini”, ujarnya.

Regulasi zoonosis di Indonesia belum mendasar

Amir menyebutkan bahwa di Indonesia masih ada beberapa masyarakat lokal yang masih mengonsumsi satwa liar.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) juga sudah memonitoring tentang zoonosis yang kemungkinan ada di tempat-tempat tersebut, namun substansi yang terkait dengan regulasi tentang satwa liar belum tersentuh sampai mendalam.

Kelelawar hitam (paniki) termasuk jenis satwa liar yang paling banyak diperdagangkan di pasar-pasar tradisional di Sulawesi Utara. dok BBC Indonesia Kelelawar hitam (paniki) termasuk jenis satwa liar yang paling banyak diperdagangkan di pasar-pasar tradisional di Sulawesi Utara.

“Inilah yang belum tersentuh, untuk mengontrol perdagangan dalam negeri lebih susah dibandingkan perdagangan satwa liar yang ke luar negeri," kata dia.

Adapun saat ini substansi peraturan yang dipakai di Indonesia adalah mengacu pada SK Menhut No 447 Tahun 2003 Tentang TU Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran TSL dan Kementerian Kelautan dan Perikanan No 61/Permen-Kp/2018.

"Jadi baru dua peraturan itu yang baru kita gunakan”, imbuhnya.

Baca juga: Ahli Sebut Pemusnahan Kelelawar Massal untuk Cegah Corona Salah Besar

Oleh sebab itu, regulasi yang lebih mendasar tentang perdagangan satwa liar di pasar-pasar hewan, entah untuk dipelihara maupun untuk konsumsi benar-benar harus ditegakkan.

Hal itu dikarenakan potensi zoonosis masih bisa muncul dan akan kembali membahayakan kesehatan manusia. Satwa liar masih berpotensi menjadi inang dalam perkembangan mutasi virus dan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi manusia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com