Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kanker Paru Penyebab Kematian Nomor 1 di Indonesia, Ini 3 Rekomendasi IPKP untuk Penanganannya

Berdasarkan data Globocan 2020, kematian karena kanker paru di Indonesia meningkat sebesar 18 persen menjadi 30.843 orang dengan kasus baru mencapai 34.783 kasus.

Angka tersebut membuat kematian akibat kanker paru, baik di Indonesia maupun di dunia menempati urutam pertama di antara semua jenis kanker.

Hal ini mengkhawatirkan, terlebih jika tidak segera ditangani dengan baik dan bijak dalam kebijakan yang berlaku.

Dalam rangka memperingati Bulan Kesadaran Kanker Paru, Gerakan Nasional Indonesia Peduli Kanker Paru (IPKP) mengadakan webinar bertajuk #LungTalk: Urgensi Pasien Kanker Paru Terhadap Akses Pengobatan Inovatif, Selasa (23/11/2021) untuk menyampaikan beberapa rekomendasi dalam penanganan kanker paru di Indonesia.

1. Kanker paru harus jadi prioritas nasional

Koordinator Cancer Information and Support Center (CISC), Megawati Tanto mengatakan, kanker paru ini penyebab kematian tertinggi di dunia, termasuk di negara kita sendiri.

Prevalensi kasus baru dan kematian akibat kanker paru juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Ditambah lagi, pasien yang mengidap kanker paru membutuhkan pengobatan selama hidup atau berkelanjutan, tidak hanya sekali terapi atau minum obat saja.

Sehingga, kata Megawati, sebagai rekomendasi pertama yang disampaikan dalam diskusi tersebut yakni penyakit kanker paru bisa menjadi prioritas nasional.

"Penyintas kanker paru berharap agar kanker yang paling mematikan ini menjadi prioritas nasional," ujarnya.

Hal ini dikarenakan, kesehatan adalah hak asasi manusia dan penyintas kanker paru berhak mendapatkan pengobatan yang paling sesuai tipe kanker paru yang dialami penyintass.

Di samping itu, dibutuhkan juga peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya di layanan primer terkait protokol deteksi dini dan membuka akases penyintas terhadap skrining tumor pada paru.

Serta, penting sekali untuk menggencarkan edukasi yang berkesinambungan tentang gejala dan pengendalian faktor risiko.

Yannes Solihin sebagai penyintas kanker paru menyampaikan, sebagai penyintas kanker paru dengan subtipe EGFR negatif, ia telah melewati suka dan duka saat menjalani prosedur diagnosis dan pengobatan selama ini. 

"Sampai saat ini, saya melihat masih banyak ketidakmerataan akses pengobatan kanker paru untuk penyintas yang berjuang dalam kesakitannya," ujarnya dalam kesempatan yang sama.

"Dengan adanya kegiatan ini, semoga aspirasi dari kami para penyintas kanker paru dapat membuat semakin banyak pihak memberikan perhatian lebih terhadap situasi kanker paru di Indonesia, terutama dalam hal kemudahan penyintas kanker untuk mengakses pengobatan yang tepat untuk diagnosis dan pengobatan," imbuhnya.

2. Akses penyintas terhadap pengobatan berkualitas

Rekomendasi kedua yang diajukan terkait penanganan kanker paru di Indonesia yakni akses penyintas kanker paru terhadap pengobatan yang berkualitas.

Sebab, saat ini, akses pengobatan penyintas kanker paru di JKN masih belum merata.

Berdasarkan Laporan Keuangan BPJS 2019, hanya 3 persen dana dari JKN telah dialokasikan untuk pengobatan kanker, termasuk kanker paru.

Akses pengobatan berkualitas yang dimaksudkan adalah obat yang baik dan bekerja sesuai dengan tipe kanker paru itu sendiri. 

Misalnya, pengobatan imunoterapi untuk kanker paru dengan mutasi EGFR negatif, perlu ditingkatkan agar penyintas mendapatkan hak melalui JKN secara penuh sesuai pedoman klinis penatalaksanaan kanker paru.

Anggota Pokja Onkologi Toraks Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr Sita Laksmi Andarini, PhD, Sp.P(K) mengatakan, bahwa sebenarnya fasilitas pelayanan untuk jaminan kesehatan yang diberikan pemerintah sudah cukup baik.

"Kita saat ini mengapresiasi layanan jaminan kesehatan di tanah air, karena memang dibandingkan dengan beberapa negara di Asia, Indonesia memang sudah sangat baik untuk mengcover banyak sekali jenis penyakit," kata Sita.

Namun, tambah Sita, memang ada dorongan dan harapan bahwa jaminan kesehatan ini bisa menjangkau lebih banyak dan lebih detail lagi terhadap penyakit-penyakit berbahaya penyumbang kematian terbanyak lainnya, salah satunya kanker paru ini.

"Tapi, kita berharap akses pengobatan inovatif untuk berbagai penyakit, termasuk kanker paru ini bisa juga di-cover oleh pemerintah," ujarnya.

Saat ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hanya menjamin pengobatan personalisasi atu inovatif bagi penyintas kanker dengan mutasi EGFR positif.

Padahal, hampir 60 persen dari penyintas kanker paru memiliki mutasi EFGR negatif, yang memerlukan pengobatan atau terapi yang lain, seperti imunoterapi dan ini belum ditanggung JKN.

3. Kolaborasi dalam gerakan nasional

Rekomendasi ketiga yang disebutkan sebagai tindakan penting terkait penanganan kanker paru di Indonesia adalah kolaborasi dalam sebuah gerakan nasional.

Megawati mengatakan, saat ini masih dibutuhkan gerakan nasional yang kolektif dan kolaboratif oleh seluruh kelompok kepentingan untuk penanggulangan kanker paru di Indonesia.

Megawati menjelaskan, gerakan nasional Indonesia Peduli Kanker Paru (IPKP) menjadi salah satu gerakan nasional, yang menjadi wadah bagi para penyintas untuk bertukar informasi.

Dengan adanya IPKP ini diharapkan bisa menyuarakan aspirasi pasien kepada semua pemangku kepentingan terkait.

"Di Bulan Kesadaran Paru ini, selain meningkatkan upaya pencegahan saya berharap akses pengobatan berkualitas juga dapat ditingkatkan," kata dia.

"Seyogyanya BPJS Kesehatan menjamin pengobatan subtipe kanker parunya, mengingat jumlah pasien yang datang berobat, mayoritas terdiagnosis stadium lanjut dan kematian akibat kanker paru adalah yang tertinggi dan terus meningkat," tambahnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/11/24/100500223/kanker-paru-penyebab-kematian-nomor-1-di-indonesia-ini-3-rekomendasi-ipkp

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke