Oleh Zainun Nasihah Ghufron*
DALAM terminologi irfan, tauhid dimaknai sebagai penegasian terhadap yang lain (baca: makhluk) dan yang wujud hanyalah Satu Yang Esa yang kita sebut Tuhan.
Bertauhid berarti meyakini Dia yang Qadim dan Baqa dan selain Dia adalah kontingensi, bersifat hudust dan fana.
Kalimat ليس كمثله شيى dalam pandangan Imam Aljunaid Al Baghdadi, menekankan dan menggiring kesadaran (consciousness) manusia agar sadar pada Hakikat Tunggal, Sang Awwal (Alfa) dan Sang Akhir (Omega).
Tuhan sebagai hakikat Yang Maha Meliputi (al-Wasi'), memperlihatkan tanda (ayat) tentang Diri-Nya Yang Maha Benar melalui alam semesta (fil-afaqi) dan yang ada di dalam diri manusia (al-anfusi) QS:41:6.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Menguji Iman dan Imun saat Pandemi Covid-19 di Bulan Ramadhan
Tujuannya adalah untuk memperlihatkan pada manusia agar jelas tentang Dia Sang Kebenaran (al-Haqq) dan Dia Yang Maha Real (al-Wujud), setiap waktu (whenever), di setiap ruang (whatever), dan dengan berbagai bentuk (in all form), tidak ada ruang, waktu dan apa pun yang tidak menunjukkan tentang diri-Nya.
Keberadaan alam semesta dengan beragam fenomena alam, baik yang kita fahami sebagai rahmat atau karunia maupun yang kita terima sebagai bencana atau kesengsaraan, adalah manifestasi kehadiran-Nya.
Tetapi, tidak semua manusia menyadari apa yang Tuhan perlihatkan sebagai tanda (ayat) tentang kebesaran-Nya.
Untuk itulah, Imam Al-Ghazali dalam kitab Misykat al Anwar, mengklasifikasikan derajat keimanan (cahaya) manusia dalam tiga derajat, yakni derajat iman kaum awam, iman kaum khawash, dan iman kaum khawash al-khawash.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Puasa, Pandemi Covid-19, dan Restart Kebangsaan
Hal ini memberi penjelasan bahwa, meskipun manusia secara potensial memiliki esensi keimanan yang sama, dalam tradisi tasawuf disebut perjanjian primordial di alam ruh.
Seperti halnya yang tertera dalam QS:7:172, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi", tidak serta merta seluruh manusia dalam menjalani kehidupan di dunia memiliki kesadaran iman.
Hanya orang-orang yang yakin dan memiliki ilmu (hikmah) sajalah yang sampai pada tahapan hierarki kesadaran tertinggi (akhlak al-mahmudah), mereka adalah ahlul haqiqah.
Mereka yang sudah sampai pada derajat ma'rifat atau maqam khawasul khawas, seluruh gerak fisiknya, jiwanya dan spiritnya adalah cerminan Tuhan.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Puasa Sebagai Pengendali Amarah
Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Qudsi, "Aku adalah pendengaran yang dengannya dia mendengar, aku adalah penglihatan yang dengannya dia melihat, aku adalah tangan yang dengannya dia memukul dan aku adalah kaki yang dengannya dia berjalan."
Hadis ini menggambarkan betapa Allah hudlur dalam jiwa yang bersih, jiwa yang fisiknya berpijak di bumi korporeal, tetapi sukma dan spiritnya mi'raj menuju ketinggian.