Oleh Abdul Ghoffar Husnan*
DALAM banyak kesempatan, sering orang bertanya mengapa masih banyak orang melakukan perbuatan tercela di bulan suci Ramadhan?
Mengapa masih pula banyak pejabat yang tertangkap karena perbuatan tindak pidana korupsi sementara ia sedang melakukan puasa?
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah dalam Kitab Al-Hikam: al a'malu suwarun qoimah, wa arwahuha wujudu sirril ikhlasi fiha. Amal-amal dhohir yang dilakukan setiap hari, tidak ubahnya seperti tubuh yang tidak ada ruhnya.
Karena tidak ada ruhnya, maka amalan itu menjadi percuma dan tidak berguna. Layaknya tubuh, jika tidak ada ruhnya, maka tubuh itu mati.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Menggapai Ridlo Allah SWT
Begitu juga dalam puasa, atau amalan-amalan perbuatan lainnya. Apabila tidak ada ruh yang menyertainya, maka amalan itu menjadi garing.
Lalu apa ruh amal (puasa) itu ? tidak lain dan tidak bukan, ruh itu adalah ikhlas. Semua ibadah hakekatnya hanya sebuah rangka.
Kita puasa sehari penuh menahan lapar dan dahaga, tetap saja ibarat sebuah jasad tanpa ruh. Amalan itu sama sekali tidak ada artinya, sampai amalan yang kita kerjakan itu, diringi dengan penuh keikhlasan.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Islam Agama Lapang di Tengah Pandemi Covid-19
Secara sederhana, ikhlas berasal dari kata kholasho, yang berarti bersih hati atau tulus hati. Ada juga yang mengartikannya murni: niat yang murni semata-mata mengharap penerimaan dari Allah dalam melakukan suatu amal perbuatan serta tanpa menyekutukan Allah SWT dengan zat yang lain.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung niatnya. Dan, sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya mendapatkan apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam Kitab Ayyuhal Walad, Imam Ghozali memberi nasihat pada muridnya bahwa lawan dari ikhlas adalah riya’ yang timbul karena mengagungkan sesamanya.
Obat penangkal riya’ adalah dengan berasumsi bahwa seluruh makhluk itu berada di bawah kekuasaan-Nya. Sepanjang kita masih mempunyai perasaan dan pengertian bahwa ada zat yang lebih tinggi di atas kita, maka selama itu pula kita akan terhindar dari sifat riya’ ini.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Zuhud
Meski demikian, harus diakui bahwa untuk bisa terhindar dari sifat riya’ dan selalu berpegang teguh pada sifat ikhlas dalam setiap amal perbuatan, tentunya tidak mudah.
Apalagi sifat ikhlas ini juga mempunyai tingkatan-tingkatan. Menurut Syekh Ibnu Atha’illah ada tiga macam ikhlas.