“MARKETING used to be about making a myth and telling it. Now it’s about telling the truth and sharing it” – Marc Mathieu.
Banyak orang yang bekerja di bidang marketing dan branding berpikir bahwa membangun merek bisa dilakukan dengan cara menciptakan cerita bagus tentang merek terkait.
Meminjam perkataan Marc Mathieu, marketing awalnya adalah tentang menciptakan mitos. Branding apa pun bentuknya, banyak diperlakukan seperti adu bagus bikin cerita layaknya film fantasi ala Disney.
Lihatlah narasi dan citra yang dibuat berbagai merek demikian indahnya. Kita pun sejenak dibawa ke “dunia fantasi”.
Lihat pula bagaimana para pemimpin perusahaan memilih dan menetapkan nilai perusahaan yang berisi kata-kata indah; teamwork, innovation, can do attitude dan lain sebagainya.
Permasalahannya, sering kali cerita tersebut berakhir sebatas takhayul karena tidak pernah terjadi.
Membuat janji-janji indah adalah satu hal, namun memenuhinya adalah hal lain yang justru tidak kalah penting.
Era branding melalui mitos ini diterima cukup lama karena konsumen hidup tanpa akses media.
Sehingga satu-satunya yang bisa membentuk opini dan persepsi hanyalah pemilik merek yang notabene memiliki modal besar untuk membeli “perhatian” publik melalui media.
Sementara sebagai konsumen yang tidak punya akses terhadap media, kita hanya bisa menjadi penerima pasif.
Jika citra bentukan merek dipercaya maka kita pun mengamini, jika tidak sejalan ya sudah tidak usah dipermasalahkan dan dipakai.
Tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh konsumen untuk menyikapinya secara lebih aktif.
Mitos yang kemudian menjadi takhayul karena tidak terbukti realitanya ini tidak lantas gugur.
Karena realita kualitas produk yang baik seperti digambarkan dalam narasi merek tidak selalu bisa diukur, mengingat tidak semua produk memiliki tangible parameter terhadap kualitasnya.
Krim pemutih sulit diukur secara instan hanya dari satu dua pemakaian, pasta gigi pun sulit untuk dibuktikan keampuhannya dalam membersihkan gigi dan membunuh kuman.
Akhirnya justru mitos-mitos bentukan merek inilah yang memberikan sugesti konsumen tentang hasilnya tersebut ketimbang realitanya sendiri.
Yang membuat kita merasa pasta gigi cukup ampuh untuk membersihkan gigi dan membunuh kuman pada akhirnya adalah cerita bentukan merek itu sendiri ketimbang produknya.
Tidak heran Pepsi Challenge yang sejak tahun 1970 melalui serangkaian blind test membuktikan bahwa produk mereka lebih terasa nikmat dan digemari banyak orang ketimbang Coca-Cola pada akhirnya justru terpuruk.
Berbagai percobaan ilmiah pun membuktikan bahwa kualitas rasa sebuah makanan yang terbentuk di otak tidak bisa dilepaskan dari pengaruh banyak hal, mulai dari tampilan, harga, dan juga merek dari restoran yang menjualnya.
Ketika kita makan makanan mahal di restoran terkenal secara bawah sadar otak kita membawa sugesti diri kita bahwa ini adalah makanan enak.
Dan sugesti ini berkontribusi terhadap bagaimana otak kita mengukur kualitas rasa makanan tersebut.
Imagery, cerita-cerita indah dan setiap detail dari brand storytelling yang dibuat oleh merek-merek pendongeng ini pun sering kali menciptakan bikeshedding effect.