Apple dan Nike misalnya, produknya unggul (kalau tidak bisa dibilang paling baik), selaras dengan narasinya.
Dan yang paling penting brand belief dan karakter yang memiliki rasa. Dan ini hanya bisa terjadi ketika cetak biru merek diturunkan dari atas secara konsisten ke setiap bagian dalam perusahaan sehingga selaras antara belief, narasi dan realitanya.
Apple dan Nike bisa menjadi merek besar bukan hanya karena tim marketingnya, namun karena Steve Jobs dan Phil Knight mengerti merek.
Mereka benar-benar memberikan arahan yang jujur dan otentik yang kemudian menjadi nafas perusahaan dan roh dari apa pun yang dilakukan setiap bagian dalam perusahaan.
Menciptakan merek besar bukanlah sekadar menciptakan narasi, menciptakan merek besar juga tidak cukup dilakukan dengan menciptakan produk dan layanan yang baik saja.
Berulang kali dalam hidup, kita membuktikan bahwa sesuatu yang terbaik belum tentu menjadi yang paling sesuai untuk kita.
Experience bukanlah tentang interaksi yang didasarkan perhitungan matematis untung-rugi, baik-buruk, namun juga mengenai memiliki rasa yang unik dan tidak bisa dibandingkan.
Merek pun harus membangun rasa yang unik dan “ngangeni” melebihi obsesi menjadi yang terbaik.
Hati kita memiliki kekuatan lebih besar dari otak kita maka dari itu ketika rasa sudah bicara, maka baik-buruk tidak lagi jadi masalah, kita siap menerima dia apa adanya.
Dalam buku Brain & Brand, saya memperkenalkan konsep hirarki merek yang mengedepankan konsep merek dalam tingkatannya.
Teori ini memperkenalkan konsep pentingnya untuk membangun love beyond logic. Ini adalah konsep di mana merek tidak sekadar bermain dalam taraf familiarity seperti dilakukan merek-merek pendongeng sebelum media sosial muncul.
Merek juga tidak boleh cepat puas pada tahap resonate yang mengedepankan kualitas produk semata.
Merek setidaknya harus berada di tahap inspirasi, dicintai karena belief, karakter, personalitas, dan prinsipnya.
Dan walaupun kualitas produk dan layanan tetap penting, namun tidak menjadi panglima utama dalam membangun merek, melainkan hanya pendukung.
Kesimpulannya, kehadiran media sosial memberikan akses kepada konsumen untuk juga bersuara, sehingga branding bukan lagi jadi monopoli orang-orang marketing.
Branding merupakan upaya kolektif yang terintegrasi dari setiap orang di perusahaan yang harus dipimpin oleh pimpinan perusahaan.
Branding bukan lagi tentang adu dongeng tapi juga tentang mewujudkan dongengnya dalam kenyataan, kualitas produk dan layanan dan juga membangun rasa yang unik.
Dan pada akhirnya walaupun pengalaman dibentuk di toko/outlet, namun karena merek dibentuk di benak konsumen, maka kemampuan untuk mengerti bagaimana otak merekonstruksi merek di benak mereka menjadi satu kewajiban.
Agar kita bisa menyelaraskan narasi, realita dan rasa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.