Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Iga Diaska Pradipta
Tentara Nasional Indonesia

Analis Pertahanan, Geopolitik, dan Hubungan Internasional

Meninjau Kembali Atribusi Kegagalan Intelijen

Kompas.com - 26/03/2024, 12:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pengambil keputusan (policymaker), sebagai konsumen dari produk intelijen, dapat menjadi penyebab kegagalan intelijen.

Pertama, pengambil keputusan dapat berbuat ”salah” dalam tahapan siklus intelijen yang pertama, yaitu perencanaan dan pemberian petunjuk.

Selaku konsumen intelijen, maka pengambil keputusan akan memberikan petunjuk dan meminta produk intelijen yang sifatnya bias terhadap preferensi pengambil keputusan.

Sebagai contoh, pada 2001 ketika serangan 9/11 terjadi, terorisme tidak termasuk dalam prioritas pemerintah Amerika Serikat. Kompetisi antarnegara merupakan fokus kebijakan luar negeri Presiden Bush saat itu.

Tiongkok dan Rusia merupakan dua rival utama, sedangkan negara-negara seperti Iran, Korea Utara, Irak, dan Libya menjadi negara ”nakal” yang juga mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

Dengan demikian, pemberian petunjuk untuk melakukan pendalaman intelijen ditujukan kepada negara-negara tersebut dan mengesampingkan ancaman terorisme yang ditimbulkan oleh aktor non-negara.

Konsekuensinya, segala sumber daya intelijen tercurahkan kepada kompetisi antarnegara. Hanya sebagian kecil yang diberikan kepada pencegahan terorisme.

Terbatasnya sumber daya berdampak terhadap kinerja dan output yang dapat dihasilkan dalam bidang kontra terorisme. Alhasil, peristiwa 9/11 tidak dapat terhindarkan.

Kedua, pendistribusian produk intelijen dari badan intelijen kepada pengambil keputusan selaku konsumen tidak efektif.

Pengambil keputusan mungkin saja tidak sependapat dengan produk intelijen yang dihasilkan oleh badan intelijen sehingga produk intelijen tersebut diabaikan.

Singkat kata, sang konsumen tidak mau mendengarkan nasihat intelijen dan memilih untuk mengikuti keyakinannya sendiri.

Sebagai contoh, dalam peristiwa 9/11, pimpinan kontra terorisme dan badan intelijen telah menegaskan berulang-ulang bahwa terorisme sudah berada pada tahapan yang sangat nyata dan telah mencapai level kemampuan yang memungkinkan untuk mengancam keamanan Amerika Serikat.

Lampu merah telah dinyalakan oleh badan intelijen kepada pengambil keputusan. Namun, pada saat itu, pengambil keputusan memilih untuk tetap bersikukuh terhadap keyakinan yang dimilikinya bahwa ancaman ke depan adalah kompetisi antarnegara.

Keacuhan ini yang menyebabkan tahapan distribusi intelijen tidak terlaksana, bahkan ketika semua tahapan sebelumnya telah dilaksanakan dengan baik dan menghasilkan perkiraan intelijen yang kredibel.

Mengulas aksi terorisme di Moscow pada 22 Maret 2024, maka perlu dicatat oleh para analis terkait atribusi kesalahan dalam evaluasi keamanan nasional yang dilakukan: bahwa badan intelijen tidak serta merta menjadi satu-satunya sumber kegagalan intelijen sehingga terjadi tragedi yang memakan banyak korban jiwa. Perlu adanya pendekatan yang holistik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com