Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hampir 22 Tahun, Batas Darat Indonesia-Timor Leste Belum Ditentukan

Kompas.com - 08/02/2024, 18:29 WIB
BBC News Indonesia,
Aditya Jaya Iswara

Tim Redaksi

"Bahkan dari sekian banyak delegasi Timor Leste itu, sebagian besar di antaranya adalah pegawai negeri yang baru diangkat di kementerian-kementerian terkait."

Karena itu, muncul dugaan bahwa pihak Timor Leste lebih mudah dipengaruhi "penasihat-penasihat asing"—termasuk dari PBB—di tengah proses perundingan, kata Ibnu.

Belum lagi sentimen masa lalu terkait Indonesia yang dipandang sebagai bekas penjajah Timor Leste, cetus Ibnu.

"Jadi sepertinya mereka berhadapan dengan kami ini seperti berhadapan dengan bekas-bekas penjajah, dan beberapa di antaranya masih menyimpan dendam, terutama bagi mereka yang keluarganya pernah mengalami kegetiran masa lalu. Sehingga, kadang-kadang suaranya sangat tidak enak didengar di telinga kami," kata Ibnu.

Satu waktu, Ibnu bercerita, setelah selesai berunding di Dili, pihak Timor Leste mengajak delegasi Indonesia makan malam di restoran yang sempat dibakar menjelang referendum pada 1999.

Di restoran itu, masih terlihat bekas peluru di tembok, lubang hasil tembakan meriam, serta tulisan-tulisan makian.

"Di situ masih ada banyak tulisan yang memaki-maki kita dalam bahasa yang sangat, sangat vulgar. Jadi kita sempat tersinggung. Tapi akhirnya kemudian kita mengambil sikap, sudahlah, kalau ini kita perpanjang, enggak selesai-selesai," kata Ibnu.

"Kita mencoba untuk tidak terpengaruh dan kita layani saja apa-apa maunya mereka."

Baca juga: 3 Alasan Kenapa Indonesia Dukung Timor Leste Masuk ASEAN Menurut Pengamat

Timor Leste menolak lupa

Pada 2015, Timor Leste mengadakan perayaan besar untuk memperingati 500 tahun kedatangan misionaris Portugis ke Oecusse.

Perayaan ini dianggap menjadi simbol peneguhan identitas masyarakat Timor Leste serta bentuk syukur atas dukungan gereja di tengah masa kelam pendudukan Indonesia.

"Selama 500 tahun ini, Gereja Katolik telah memberikan dukungan spiritual, kemanusiaan, dan materiel yang besar kepada masyarakat, dengan penekanan pada perannya selama pendudukan Indonesia, saat ia berkontribusi terhadap legitimasi internasional dan kredibilitas perlawanan (Timor Leste)," tulis pemerintah Timor Leste di situs resminya.

Indonesia menduduki Timor Timur pada 7 Desember 1975, hanya sembilan hari setelah Front Revolusioner untuk Kemerdekaan Timor Timur (Fretilin) mendeklarasikan kemerdekaan wilayah ini dari Portugal.

Deklarasi kemerdekaan itu bisa terjadi karena Revolusi Anyelir, kudeta militer pada April 1974 yang menjatuhkan pemerintahan konservatif Perdana Menteri Portugal saat itu, Marcelo Caetano.

Pemerintahan sayap kiri yang berkuasa setelahnya lantas mendukung kemerdekaan daerah-daerah koloni Portugal, termasuk Timor Timur yang dilepas pada November 1975.

Menurut peneliti Flo Lamoureux, Indonesia saat itu khawatir dengan keberadaan Fretilin yang dianggap sebagai organisasi komunis.

Apalagi, baru sepuluh tahun berlalu sejak pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat pada akhir September 1965, dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh menjadi dalangnya. Peristiwa ini berujung pada pembunuhan massal para anggota dan simpatisan PKI di berbagai pelosok Indonesia.

"Militer, bersama para nasionalis, khawatir dengan gerakan kemerdekaan dari dalam negeri Indonesia," tulis Lamoureux dalam East Timor: The World's Newest Country (2004).

"Mereka khawatir jika Timor Timur, yang terletak di tengah-tengah kepulauan Indonesia, dibiarkan menjadi negara merdeka, ini akan mendorong daerah-daerah lain di Indonesia yang tidak puas untuk mencari status yang sama."

Dari sana, Indonesia melaksanakan Operasi Seroja untuk menginvasi Timor Timur, yang menurut sejarawan Ben Kiernan berujung pada tewasnya seperempat penduduk Timor Timur pada periode 1975-1981.

Timor Timur lantas menjadi provinsi ke-27 Indonesia pada Agustus 1976, sementara wilayah Oecusse menjadi Kabupaten Ambeno dengan status enklave Timor Timur.

Selama masa pendudukan Indonesia, Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR) mencatat terjadinya berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM berat di Timor Timur, termasuk pembunuhan, penyiksaan, penghilangan paksa, pemerkosaan, atau kekerasan berbasis gender, dan pemindahan paksa.

Menurut CAVR, setidaknya ada 102.000 orang Timor Timur meninggal, entah karena dibunuh, kelaparan, atau sakit parah.

Kasus penembakan di Santa Cruz, Dili, pada 1991 serta berbagai kekerasan terkait referendum 1999 pun membuat pemerintah Indonesia mendapat kritik keras dari komunitas internasional.

Terlebih lagi, setelah Timor Timur merdeka dan menjadi Timor Leste, proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di sana membuat banyak pihak kecewa, merujuk hasil penelitian Agussalim Syofyan yang terbit pada 2022.

Ini utamanya karena Indonesia dan Timor Leste sepakat menyelesaikan kasus-kasus tersebut melalui kebijakan politik bilateral, alih-alih membawanya ke pengadilan internasional.

Untuk pelanggaran HAM sebelum, saat, dan sesudah jejak pendapat 1999, kedua negara memilih menyelesaikannya melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) pada akhir 2004.

Laporan akhir KKP yang dirilis pada 2008 memang menyimpulkan aparat keamanan Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat.

Namun, rekomendasi yang diberikan banyak bersifat normatif, termasuk agar ada ungkapan penyesalan dan permohonan maaf serta pemberian pelatihan HAM untuk pasukan keamanan Indonesia.

Menurut Agussalim, kedua negara memilih prinsip "bertetangga (dengan) baik" karena punya kepentingan masing-masing.

Bagi Indonesia, katanya, ini penting untuk menyelamatkan "wajah institusi militer, polisi dan pejabat sipil", mengembalikan aset peninggalan Indonesia di Timor Leste, dan meredam potensi masalah di wilayah perbatasan, termasuk dengan merampungkan proses demarkasi.

Namun untuk yang terakhir, dua dekade pun ternyata tak cukup untuk menyelesaikannya.

Baca juga: 20 Mei 2002, Timor Leste Merdeka dari Indonesia

Sumber peta: Studi "Examining a Critical Geopolitics in the Determination of Indonesia and Timor Leste Land Boundaries in Noel Besi – Citrana Segment" (2023).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com