Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hampir 22 Tahun, Batas Darat Indonesia-Timor Leste Belum Ditentukan

Kompas.com - 08/02/2024, 18:29 WIB
BBC News Indonesia,
Aditya Jaya Iswara

Tim Redaksi

Pernikahan warga lokal dengan pendatang, termasuk serdadu Portugal, mantan budak dari India dan Afrika, serta bekas pegawai VOC, berujung pada munculnya komunitas baru yang dikenal sebagai Topas. Belanda menyebut mereka “orang Portugal hitam”.

Baca juga: Menakar Bergabungnya Timor Leste di ASEAN

Orang-orang Topas ini kemudian terlibat dalam pusaran konflik panjang yang melibatkan para liurai serta pendatang Portugal dan Belanda untuk menguasai Pulau Timor.

"Di antara empat kelompok ini, mereka saling beraliansi untuk menghancurkan kelompok lainnya. Namun setelah aliansi ini menang, kelompok dalam aliansi tersebut kemudian saling menyerang satu sama lain," kata doktor sejarah Didik.

VOC berhasil menaklukkan Kupang di ujung selatan Pulau Timor pada 1653 dan mengusir orang-orang Portugis dari sana.

Di tengah usaha VOC memperluas wilayah kekuasaannya, Portugal akhirnya secara resmi mengirimkan pasukannya untuk menginvasi Timor, yang tiba di Lifau pada 1702. Lifau adalah daerah pesisir yang saat ini masuk dalam Distrik Oecusse.

Portugal lantas mendeklarasikan Timor sebagai wilayah koloninya, dengan Lifau sebagai ibu kota. Ini memicu peperangan antara Portugis dan orang-orang Topas serta berbagai kerajaan di sekitar Lifau.

Setelah dua tahun berperang, Portugis menyerah pada 1704, sebelum datang lagi dengan pasukan lebih besar dan berhasil membangun kekuatan di Lifau.

Sementara itu, konflik Portugal dengan Belanda reda pada 1755, saat mereka meneken apa yang disebut Kontrak Paravicini.

Melalui perjanjian ini, mereka sepakat untuk berbagi kekuasaan di Pulau Timor, dengan setengah wilayah di barat menjadi hak Belanda dan setengah wilayah di timur ada di tangan Portugal. Namun, tidak ada detail soal tapal-tapal batas yang memisahkan dua wilayah tersebut.

Portugal saat itu masih mempertahankan Lifau sebagai ibu kota koloninya, meski ia terletak di Oecusse di sebelah barat pulau. Mereka baru memindahkan ibu kota ke Dili pada 1769 setelah terjadi pemberontakan orang-orang Topas di Lifau.

Portugal pun tetap bersikukuh mempertahankan Oecusse, walau Belanda disebut sempat tertarik mengambil alihnya.

Seiring berjalannya waktu, Portugal dan Belanda berulang kali berunding soal batas-batas wilayah masing-masing.

Kedua negara lalu sepakat meneken Konvensi 1904 soal demarkasi Timor, dengan Oecusse menjadi enklave Portugal di sebelah barat pulau. Perjanjian batas ini diperkuat dengan keputusan Mahkamah Arbitrase Antarbangsa (PCA) 1914.

Konvensi 1904 dan PCA 1914 inilah yang kemudian menjadi dasar hukum penetapan batas darat antara Indonesia, yang mewarisi wilayah jajahan Belanda, dan Timor Leste, yang mewarisi wilayah jajahan Portugal.

"Jadi tidak seperti perbatasan maritim yang punya konstitusi, yaitu UNCLOS (Konvensi PBB tentang hukum laut)," kata Ibnu W Wahyutomo dalam diskusi daring pada Oktober 2020, saat ia masih menjadi Duta Besar Indonesia untuk Portugal.

"Konstitusi yang ada untuk penentuan batas darat ya hanya perjanjian yang disepakati antara kedua negara, yang kemudian (diturunkan) secara temurun kepada negara yang dijajahnya yang kemudian merdeka. Dengan tidak adanya konstitusi ini, dinamika yang terjadi dalam perundingan batas darat ini sangat tinggi sekali."

Baca juga: Saat Timor Leste Pertama Kali Hadiri KTT ASEAN...

Mencari posisi asli Noel Besi

Para pendukung Partai Fretilin meneriakkan slogan-slogan saat rapat umum partai di Tasi Tolu. Timor Leste, dalam pemilihan parlemen, 16 Mei 2023.AFP via BBC INDONESIA Para pendukung Partai Fretilin meneriakkan slogan-slogan saat rapat umum partai di Tasi Tolu. Timor Leste, dalam pemilihan parlemen, 16 Mei 2023.
"Mulai dari muara Noel Besi, di mana puncak Pulau Batek dapat terlihat, pada azimut astronomi 30°47 barat laut, mengikuti garis palung terdalam Noel Besi, Noel Niema, dan Bidjael Sunan, sampai ke mata airnya."

Ini adalah bunyi pasal 3 Konvensi 1904, yang menjadi rujukan penetapan batas antara Indonesia dan Timor Leste untuk wilayah Noel Besi–Citrana atau Naktuka.

Dalam bahasa masyarakat setempat, "Noel" berarti sungai besar. Oleh karena itu, hal pertama yang dilakukan tim survei lapangan adalah mencari sungai yang dirujuk dalam Konvensi 1904 sebagai Noel Besi.

Masalahnya, saat Indonesia dan Timor Leste melakukan survei bersama, ditemukan satu sungai besar di sebelah timur Naktuka dan satu parit kecil bernama Nono Tuinan di barat.

Pasal 3 Konvensi 1904 soal demarkasi Pulau Timor menggunakan Noel Besi sebagai rujukan batas di wilayah Naktuka. Namun, setelah dicek tim survei, ditemukan satu sungai besar di sebelah timur Naktuka dan satu parit kecil di barat.BBC INDONESIA Pasal 3 Konvensi 1904 soal demarkasi Pulau Timor menggunakan Noel Besi sebagai rujukan batas di wilayah Naktuka. Namun, setelah dicek tim survei, ditemukan satu sungai besar di sebelah timur Naktuka dan satu parit kecil di barat.
Menurut Indonesia, sungai besar itu adalah Noel Besi. Namun, saat dicek, titik koordinat azimut 30°47 barat laut justru merujuk lokasi parit kecil. Maka, Timor Leste menganggap parit itu sebagai Noel Besi yang dimaksud.

"Pemerintah Indonesia memandang bahwa azimut diukur dari tempat yang salah," tulis peneliti Indriana Kartini dalam disertasinya.

"Kemungkinan peta yang digunakan pada saat Traktat 1904 antara Belanda dan Portugis dulu diturunkan dari sumber yang tidak dapat dipercaya."

Bisa jadi pula ada kesalahan pemberian nama Noel Besi untuk parit kecil Nono Tuinan, meski sebenarnya ia merujuk pada sungai besar di timur, tambah Indriana.

Sementara itu, Timor Leste berargumen bahwa batas yang merujuk parit Nono Tuinan telah digunakan dan diakui sejak lama, dari masa Belanda dan Portugal menduduki Timor hingga saat bagian timur pulau masuk wilayah administratif Indonesia pada periode 1976-1999.

Perbedaan tafsir ini membuat perundingan batas tak kunjung tuntas. Melihat hal ini, masyarakat adat dari kedua negara turun tangan dengan mengadakan sejumlah dialog yang didukung pemerintah daerah setempat.

Pada 2017, dalam dialog yang melibatkan pimpinan kerajaan Wehali, Sonbai, dan Amfoang dari Indonesia serta kerajaan Ambeno dari Timor Leste, seluruh pihak sepakat bahwa Naktuka adalah bagian dari kerajaan Amfoang.

Namun, dialog ini sia-sia karena kesepakatan adat tidak bisa dijadikan dasar penentuan batas negara, kata Indriana.

Abdul Kadir Jailani, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Indonesia, mengonfirmasi bahwa saat ini satu-satunya segmen yang belum disepakati dalam perundingan batas darat kedua negara adalah Naktuka.

Meski begitu, saat ditanya soal tenggat penyelesaian perundingan, ia hanya mengatakan, pihaknya berkomitmen "menyelesaikan secepatnya".

Tentu, tidak ada yang bisa menjamin seberapa cepat Indonesia dan Timor Leste akan bersepakat.

Apalagi, kerap muncul hal-hal non-teknis yang membuat proses perundingan jadi rumit, seperti yang diceritakan Ibnu W Wahyutomo, mantan Duta Besar Indonesia untuk Portugal yang sempat pula bertugas mengurus perjanjian internasional di Kementerian Luar Negeri.

"Karena Timor Leste ini negara baru, mereka tidak punya expertise, mereka tidak punya ahli yang bisa diajak bicara mengenai ini," kata Ibnu menceritakan pengalamannya terlibat dalam perundingan batas.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com