Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konflik AS dan China Makin Tegang, Siapa Raup Untung?

Kompas.com - 26/11/2023, 23:37 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

Bank sentral India memperkirakan, perekonomian akan tumbuh sebesar 6,5 persen pada tahun fiskal ini, sementara China diperkirakan tumbuh sekitar 5 persen pada tahun ini.

Barclays juga menuturkan, jika India meningkatkan pertumbuhan ekonomi tahunan mendekati 8 persen selama lima tahun ke depan, maka India bisa berada dalam posisi menjadi kontributor terbesar terhadap pertumbuhan global.

Baca juga: Lesatan Industri Antariksa Swasta di India

Persengketaan China-Barat ciptakan pemenang dan pecundang

Uni Eropa (UE) sedang menyelidiki apakah akan mengenakan tarif sanksi terhadap impor kendaraan listrik China yang dianggap mendapat manfaat dari subsidi negara yang berlebihan.

Subsidi AS untuk manufaktur semikonduktor dalam negeri telah meningkatkan saham Intel. Namun, kinerja saham-saham teknologi besar AS dan indeks saham global rentan terhadap tanda-tanda pembalasan dari China.

Saham Apple turun lebih dari 6 persen selama dua hari di awal September di tengah laporan bahwa Beijing akan melarang pegawai pemerintah menggunakan iPhone.

Dengan China sebagai pembeli barang mewah terbesar di dunia, rumah mode Barat juga terjerat dalam sengkarut politik.

Badan pengawas antikorupsi utama China telah berjanji untuk mengurangi apa yang mereka sebut sebagai hedonisme elite Barat.

Bank-bank China telah mengatakan kepada stafnya untuk tidak memakai barang-barang mewah Eropa di tempat kerja.

"Tingkat pengawasan pemerintah yang lebih tinggi mulai membebani pengeluaran konsumen yang lebih kaya,” kata analis Barclays, Carole Madjo dan Wendy Liu.

Saham-saham sektor mewah melonjak ketika Baijing melonggarkan pembatasan Covid-19 pada awal 2023.

Ketika perekonomian China mulai lesu dan ketegangan dengan negara-negara Barat meningkat, sektor-sektor tersebut telah merosot tajam. Saham barang mewah Eropa turun 16 persen di kuartal ketiga.

Baca juga: Hasil Pertemuan Biden dan Jokowi di AS

Jerman berpaling incar logam tanah jarang Indonesia

Dalam pameran industri terbesar Hannover Messe di Jerman, April lalu, Kanselir Jerman Olaf Scholz dalam pidatonya juga menyebutkan ingin memperluas sumber impor bahan baku dari negara-negara seperti Indonesia, guna mengurangi ketergantungan pada China.

"Saat ini kita banyak mengimpor (bahan baku) dari China. Dan terlepas dari kenyataan bahwa tanah jarang, tembaga atau nikel sering tidak diekstraksi dari sumbernya," kata Scholz.

Kemudian, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor politik, perekonomian yang lesu dan gejolak di pasar properti membawa pandangan negatif terhadap investasi di China.

Selain itu, ada kemungkinan perang tarif yang berlanjut dan kesulitan dalam menghadapi aturan AS mengenai pembatasan investasi pada teknologi China.

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com