Sehingga dunia literasi bukanlah sesuatu yang dibangun dari ruang hampa dan khayalan semata. Ia hidup dengan segala suka dan duka yang dialami oleh umat manusia.
Refleksi-refleksi yang menyentuh hati dari para penulis brilian yang mengangkat cerita dari berbagai tragedi kemanusiaan yang dialami oleh berbagai kelompok atau suku bangsa di seluruh dunia seharusnya semakin menyadarkan berbagai pihak bahwa setiap tindakan yang menegasikan hak-hak asasi manusia seharusnya bisa dihindari.
Buku tetap memainkan peranan penting sebagai “vehicle of peace and democracy”.
Pilihan IKAPI dan Pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa dunia penerbitan bukan sekedar katalisator pengumpulan finansial dan transaksi ekonomi belaka.
Berbeda dengan komoditas-komoditas barang lainnya, yang menjadi nilai dari buku bukan sekadar harga kertas dan tinta. Melainkan ide-ide besar yang terkandung di dalamnya.
Pemimpin-pemimpin besar dunia menyebarkan ide-ide perubahan melalui buku. Para pemimpin diktator melakukan berbagai proses pembredelan dan pelarangan terhadap buku-buku tertentu yang dianggap akan merusak reputasi dan mengancam kekuasaannya.
Buku juga dijadikan oleh orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan atau yang tak berdaya melawan kekuasaan dan penindasan untuk menyuarakan suara batin dan kepedihan hidup yang melandanya.
Segala emosi dituangkan lewat oretan tulisan yang mengalir dan kemudian lewat penerbit bisa menjangkau khalayak yang lebih luas.
Ketika orang bersimpati dengan cerita atau gagasan yang dituliskan, maka ia bisa menjadi kekuatan moral untuk menggerakkan solidaritas, simpati, empati dan kepedulian.
Di sinilah kemudian, ketidakadilan panitia FBF 2023 yang memilih memberikan ruang-ruang ekspresi dan suara kepada Israel yang dianggap sebagai korban serangan kelompok Hamas dengan menegasikan suara-suara masyarakat Palestina yang hak-haknya ditindas setiap hari dan menjalani kehidupan dengan blokade tak pernah henti menunjukkan dengan nyata ketidakadilan dalam melihat situasi perang tak berkesudahan antara Palestina dan Israel.
Selama bertahun-tahun, "Frankfurt Book Fair" memberikan stan gratis kepada penerbit-penerbit independen yang gigih memperjuangkan ide-ide dari kaum marginal dan masyarakat yang terpinggirkan di berbagai belahan dunia.
Namun untuk konteks Palestina yang tanahnya dikooptasi oleh Israel selama bertahun-tahun, FBF gagal untuk memperlihatkan simpati dan solidaritasnya.
Seharusnya panggung sebesar FBF yang diisi oleh kaum-kaum intelektual dan cendekiawan dari seluruh dunia bisa dibuat imparsial dengan mengadakan acara-acara penuh dialog yang mempertemukan antara penulis Palestina dan penulis Israel.
Menghelat diskusi-diskusi pencarian solusi damai untuk konflik Palestina dan Israel. Mempertemukan para penerbit Palestina dan Israel di sesi-sesi makan malam yang akrab sehingga jarak dan kebencian di antara mereka bisa mencair.
Jika pertemuan antara para pemimpin politik kedua negara tersebut sulit direalisasikan, mengapa FBF tidak berani melakukan inisiasi dan terobosan radikal untuk menampilkan dan mempertemukan para penulis, penerbit dan penggiat literasi dari kedua negara untuk saling bercerita dan menyampaikan uneg-uneg mereka masing-masing.
Ruang-ruang dialog literasi seharusnya lebih menyejukkan dan bisa lebih mendalam ketika membahas isu-isu kemanusiaan.
Sayangnya, alih-alih menjadi FBF 2023 sebagai forum perdamaian konflik Palestina-Israel, penyelenggara lebih memilih untuk menaikkan marwah pihak Israel dan menihilkan keberadaan Palestina.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.