Kampanye dari oposisi kerap menakut-nakuti tentang peran dan keefektifan dewan the "Voice" dan mendorong orang-orang untuk memilih "tidak" jika mereka tidak yakin.
Perdebatan juga disertai dengan disinformasi yang menunjukkan seolah-olah "Voice" akan berujung pada perampasan lahan, menciptakan sistem apartheid seperti di Afrika Selatan atau bahwa bagian dari plot Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Baca juga: Negara Bagian Australia Alami Kebakaran Hutan Disusul Banjir Dalam 24 Jam
Perdana Menteri Anthony Albanese mempertaruhkan modal politik yang signifikan pada referendum hak suara Masyarakat Adat atau the Voice.
Tetapi, para pengkritiknya mengatakan ini adalah kesalahan terbesarnya sejak ia berkuasa pada Mei 2022.
Pemimpin Oposisi Peter Dutton mengatakan referendum itu adalah pemungutan suara “yang tidak dibutuhkan oleh Australia” dan hanya mengakibatkan perpecahan.
Salah satu alasan terbesar kegagalan referendum itu adalah tidak adanya dukungan bipartisan. Apalagi, para pepimpin partai konservatif besar mengkampanyekan suara penolakan atau "Tidak".
Belum pernah ada referendum di Australia yang berhasil diloloskan tanpa dukungan bipartisan.
Aktivis dan cendekiawan Aborigin, Marcia Langton, mengatakan kerja selama puluhan tahun untuk membangun rasa percaya di kalangan warga Australia telah gagal.
"Rekonsiliasi sudah mati," kata Langton kepada sebuah stasiun TV masyarakat adat, dikutip dari AFP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.