Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Hamas Mengeksploitasi Celah Geopolitik Timur Tengah

Kompas.com - 10/10/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kemenangan telak Israel di perang enam hari tersebut memberi Israel "leverage" kekuatan angkatan udara atas negara-negara Arab lainnya di satu sisi dan perluasan wilayah sampai ke Gurun Sinai dan Dataran Tinggi Golan di sisi lain.

Dan Mesir belajar banyak dari peristiwa perang enam hari tersebut untuk diterapkan di peperangan pembalasan enam tahun kemudian, 1973, yang kita kenal dengan Perang Yom Kippur.

Dengan memperlengkapi militernya dengan senjata antipesawat dari Uni Soviet, Mesir akhirnya bisa menyeberangkan tank-tank-nya ke Gurun Sinai.

Beruntung bagi Israel, Perang Yom Kippur akhirnya bisa dimenangkan, meski diserbu Mesir di Semenanjung Sinai dan terus ditekan oleh Suriah dari Dataran Tinggi Golan.

Sebagai pemenang Perang Yom Kippur, Israel dapat merebut kembali Dataran Tinggi Golan dan gencatan senjata mulai berlaku pada 25 Oktober 1973, meski harus mengembalikan daerah Sinai ke Mesir setelah itu.

Perang Yom Kippur tak lepas dari dukungan Uni Soviet kepada Mesir. Mesir dipersenjatai dengan senjata antipesawat tempur, yang membuat pesawat-pesawat tempur Israel gagal mendekati posisi pasukan Mesir di satu sisi dan membuat tank-tank Mesir berhasil menyeberangi Terusan Suez dengan lancar menuju gurun Sinai. Perang proxy serupa lazim terjadi di era Perang Dingin.

Sementara Hamas, layaknya Hezbollah, tak bisa dipungkiri, juga mendapat dukungan dari Iran. Roket-roket yang diluncurkan Hamas dan Hezbollah biasanya adalah buatan Iran. Perbedaannya, Iran tentu tidak bisa disepadankan dengan Uni Soviet tahun 1973.

Namun demikian, satu hal yang pasti adalah bahwa Iran berada pada pendulum geopolitik yang berbeda, bahkan antidengan Amerika Serikat dan Barat.

Apalagi Iran baru saja menjadi anggota organisasi BRICS plus, bersama dengan Arab Saudi dan beberapa negara lainnya. Dengan kata lain, Iran berada pada sayap geopolitik yang sangat tidak bisa diremehkan oleh Amerika Serikat dan Barat.

Nah, dengan konstelasi geopolitis yang demikian, sangat jelas terlihat bahwa Hamas memang sedang memanfaatkan celah geopolitik yang sedang tersedia.

Sejak revolusi Mullah di Iran, memang tak banyak momen di mana Iran dan Arab Saudi bersatu. Salah satunya adalah realitas hari ini.

Ketegangan dan ketidakharmonisan Muhammad bin Salman al-Saud (MBS) dengan Gedung Putih sudah terjadi sejak pertama kali Joe Biden terpilih sebagai presiden Amerika Serikat.

Keterpilihan Biden mengubah pendulum politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Arab Saudi. Padahal di saat Donald Trump berkuasa, hubungan Amerika Serikat dan Arab Saudi sangat akrab. Kedua tokoh terlihat sangat dekat dan saling memahami.

Namun saat Biden memasuki Gedung Putih, situasi berubah total. Pemerintahan Biden sangat jelas terlihat mengurangi komitmen atas Arab Saudi dan terus mencari-cari kesalahan MBS, terutama dalam kasus pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi.

Tak pelak, sikap Gedung Putih mengharuskan MBS dan Arab Saudi untuk melakukan kalkulasi geopolitik baru. Hasilnya adalah bahwa Arab Saudi harus mulai belajar berdampingan dengan Iran, lalu mendekat ke Moskow dan merangkul seerat mungkin China.

Perubahan langkah catur geopolitis Arab Saudi tersebut disambut dengan baik oleh China dan Rusia. Walhasil, berkat fasilitasi dan peran aktif China, perwakilan Iran dan Arab Saudi berhasil berjabat tangan di Beijing belum lama ini.

Pun berkat dorongan dari Vladimir Putin, Suriah akhirnya berhasil mencari jalan untuk bertemu kembali dengan penguasa Arab Saudi dan merencanakan normalisasi hubungan diplomatik.

Dengan perkembangan demikian, dunia Arab secara tidak langsung mulai menunjukkan soliditas yang cukup prospektif.

Masalahnya, soliditas tersebut kini disponsori oleh kekuatan besar non Barat, yakni China dan Rusia. Tak pelak, sebagai aliansi strategis Amerika Serikat di Timur Tengah, posisi Israel secara geopolitis menjadi sangat labil (vulnerable).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com