Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hamas Mengeksploitasi Celah Geopolitik Timur Tengah

Serangan tersebut diklaim oleh Hamas sebagai langkah agresif sekaligus strategis dalam upaya merebut kembali Tanah Air warga Palestina dari pendudukan Israel.

Kelompok Bersenjata Palestina, Hamas, memulai serangan dadakan dan masif ke Israel sejak Sabtu, 7 Oktober 2023 dini hari.

Tidak kurang dari 5.000 roket diluncurkan selama 20 menit ke beberapa kota utama di Israel, terutama Jerusalem dan Tel Aviv, sebagaimana diklaim sendiri oleh Hamas.

Kemudian diikuti beberapa lusin pasukan Hamas yang mulai berhasil menerobos memasuki teritori Israel di perbatasan Jalur Gaza.

Dikabarkan, kelompok bersenjata Hamas menyerbu 22 lokasi di luar Jalur Gaza, termasuk kota-kota dan komunitas lain sejauh 24 kilometer dari perbatasan Gaza.

Karena jumlah roket yang diluncurkan terbilang sangat besar, tak terelakkan sebagian akhirnya berhasil menembus sistem pertahanan Israel, "Iron Dome", lalu menghancurkan beberapa gedung dan menyasar beberapa lokasi pemukiman penduduk.

Keadaan mulai bertambah kacau karena banyak warga sipil yang terlibat dalam baku tembak langsung dengan anggota Hamas yang berhasil masuk ke teritori Israel.

Bahkan Hamas sebelumnya sempat merilis gambar beberapa warga Israel yang disandera. Juru Bicara Pasukan Pertahanan Israel, Daniel Hagari, membenarkan bahwa "ada tentara dan warga sipil yang diculik".

Hamas memberi nama operasi tersebut Operasi Badai al-Aqsa. Sampai Senin pagi, 9 Oktober 2023, operasi yang dilancarkan Hamas tersebut dikabarkan telah menewaskan lebih dari 700 orang di Israel.

Total korban sekitar 1.100 untuk kedua belah pihak. Lebih dari 100 orang lainnya juga dikabarkan diculik, sebagaimana dilaporkan oleh Times of Israel, Senin (9/10/2023), dengan mengutip sumber dari beberapa pejabat pemerintah setempat.

Sementara itu, menanggapi serangan tersebut, Pemerintah Israel secara resmi menyatakan perang pada Minggu ( 8/10/2023), dan memberikan lampu hijau atas langkah-langkah militer masif dan signifikan untuk membalas serangan dadakan Hamas tersebut.

Lebih dari itu, Israel juga segera memutus pasokan listrik, air, dan barang ke Jalur Gaza, yang membuat daerah tersebut gelap gulita pada malam hari.

Sebagai aliansi strategis Israel, Amerika Serikat pun tidak tinggal diam. Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dikabarkan telah memerintahkan kapal-kapal militer dan pesawat tempurnya untuk dikirim segera ke Israel.

Armada itu dikerahkan guna membantu Israel menghadapi serangan dadakan Hamas Palestina.

Sebagaimana dilansir AFP, Senin (9/10/2023), Pentagon mengirim kapal pembawa pesawat (aircraft carrier), yang biasa disebut kapal induk, yakni USS Gerald R. Ford, berikut pesawat tempur-pesawat tempurnya.

Bersamaan dengan itu, AS juga memperkuat skuadron jet tempurnya di kawasan Mediterania timur.

Serangan Hamas kali ini sangat mengagetkan Israel. Gaya dan strategi serangannya mirip dengan Perang Yom Kippur 1973, di mana Mesir dan Suriah berhasil melakukan orkestrasi serangan dadakan ke Israel di salah satu hari paling suci di Israel, yakni Yom Kippur.

Perang Yom Kippur adalah perang pembalasan Mesir dan Suriah atas kekalahan telak mereka atas serangan udara dadakan Israel tahun 1967 atau yang dikenal dengan "The Six Days War".

Kemenangan telak Israel di perang enam hari tersebut memberi Israel "leverage" kekuatan angkatan udara atas negara-negara Arab lainnya di satu sisi dan perluasan wilayah sampai ke Gurun Sinai dan Dataran Tinggi Golan di sisi lain.

Dan Mesir belajar banyak dari peristiwa perang enam hari tersebut untuk diterapkan di peperangan pembalasan enam tahun kemudian, 1973, yang kita kenal dengan Perang Yom Kippur.

Dengan memperlengkapi militernya dengan senjata antipesawat dari Uni Soviet, Mesir akhirnya bisa menyeberangkan tank-tank-nya ke Gurun Sinai.

Beruntung bagi Israel, Perang Yom Kippur akhirnya bisa dimenangkan, meski diserbu Mesir di Semenanjung Sinai dan terus ditekan oleh Suriah dari Dataran Tinggi Golan.

Sebagai pemenang Perang Yom Kippur, Israel dapat merebut kembali Dataran Tinggi Golan dan gencatan senjata mulai berlaku pada 25 Oktober 1973, meski harus mengembalikan daerah Sinai ke Mesir setelah itu.

Perang Yom Kippur tak lepas dari dukungan Uni Soviet kepada Mesir. Mesir dipersenjatai dengan senjata antipesawat tempur, yang membuat pesawat-pesawat tempur Israel gagal mendekati posisi pasukan Mesir di satu sisi dan membuat tank-tank Mesir berhasil menyeberangi Terusan Suez dengan lancar menuju gurun Sinai. Perang proxy serupa lazim terjadi di era Perang Dingin.

Sementara Hamas, layaknya Hezbollah, tak bisa dipungkiri, juga mendapat dukungan dari Iran. Roket-roket yang diluncurkan Hamas dan Hezbollah biasanya adalah buatan Iran. Perbedaannya, Iran tentu tidak bisa disepadankan dengan Uni Soviet tahun 1973.

Namun demikian, satu hal yang pasti adalah bahwa Iran berada pada pendulum geopolitik yang berbeda, bahkan antidengan Amerika Serikat dan Barat.

Apalagi Iran baru saja menjadi anggota organisasi BRICS plus, bersama dengan Arab Saudi dan beberapa negara lainnya. Dengan kata lain, Iran berada pada sayap geopolitik yang sangat tidak bisa diremehkan oleh Amerika Serikat dan Barat.

Nah, dengan konstelasi geopolitis yang demikian, sangat jelas terlihat bahwa Hamas memang sedang memanfaatkan celah geopolitik yang sedang tersedia.

Sejak revolusi Mullah di Iran, memang tak banyak momen di mana Iran dan Arab Saudi bersatu. Salah satunya adalah realitas hari ini.

Ketegangan dan ketidakharmonisan Muhammad bin Salman al-Saud (MBS) dengan Gedung Putih sudah terjadi sejak pertama kali Joe Biden terpilih sebagai presiden Amerika Serikat.

Keterpilihan Biden mengubah pendulum politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Arab Saudi. Padahal di saat Donald Trump berkuasa, hubungan Amerika Serikat dan Arab Saudi sangat akrab. Kedua tokoh terlihat sangat dekat dan saling memahami.

Namun saat Biden memasuki Gedung Putih, situasi berubah total. Pemerintahan Biden sangat jelas terlihat mengurangi komitmen atas Arab Saudi dan terus mencari-cari kesalahan MBS, terutama dalam kasus pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi.

Tak pelak, sikap Gedung Putih mengharuskan MBS dan Arab Saudi untuk melakukan kalkulasi geopolitik baru. Hasilnya adalah bahwa Arab Saudi harus mulai belajar berdampingan dengan Iran, lalu mendekat ke Moskow dan merangkul seerat mungkin China.

Perubahan langkah catur geopolitis Arab Saudi tersebut disambut dengan baik oleh China dan Rusia. Walhasil, berkat fasilitasi dan peran aktif China, perwakilan Iran dan Arab Saudi berhasil berjabat tangan di Beijing belum lama ini.

Pun berkat dorongan dari Vladimir Putin, Suriah akhirnya berhasil mencari jalan untuk bertemu kembali dengan penguasa Arab Saudi dan merencanakan normalisasi hubungan diplomatik.

Dengan perkembangan demikian, dunia Arab secara tidak langsung mulai menunjukkan soliditas yang cukup prospektif.

Masalahnya, soliditas tersebut kini disponsori oleh kekuatan besar non Barat, yakni China dan Rusia. Tak pelak, sebagai aliansi strategis Amerika Serikat di Timur Tengah, posisi Israel secara geopolitis menjadi sangat labil (vulnerable).

Israel sempat berusaha untuk terus mendekati MBS dan Arab Saudi, agar rencana normalisasi hubungan diplomatik Arab Saudi dengan Iran dan Suriah tidak membuat posisi Israel menjadi terkucilkan.

Nampaknya Israel berhasil mendapatkan komitmen tersebut dari Arab Saudi, tapi tidak mampu membatalkan rencana normalisasi relasi Arab Saudi dengan Iran dan Suriah dan gagal menghalangi pergeseran pendulum geopolitik Arab Saudi ke China dan Rusia.

Hal tersebut ditambah pula dengan kondisi Amerika Serikat yang tidak terlalu prima saat ini, baik secara ekonomi maupun secara militer dan geopolitik.

Secara ekonomi, negeri Paman Sam sedang berjuang keluar dari tekanan resesi. Dan secara militer serta geopolitik, Amerika Serikat sedang fokus dan berkonsentrasi membantu Ukraina di Eropa Timur.

Dengan kata lain, serangan Hamas tentu secara substantif sangat diharapkan oleh Moskow, karena akan mendistraksi perhatian Amerika Serikat dari Ukraina.

Karena itu ada perbedaan bahasa terkait pernyataan antara Amerika Serikat dan Rusia setelah Hamas melancarkan serangan dadakannya tersebut.

Amerika Serikat mengutuk keras serangan Hamas tersebut dan siap mengirimkan bantuan militer untuk membantu Israel.

Sementara itu, Rusia hanya menyuarakan agar terjadi gencatan senjata segera di antara kedua belah pihak.

Dan nampaknya, China dan negara-negara anggota BRICS plus akan mengambil trik penyikapan yang sama dengan Rusia, sembari berusaha untuk tidak menunjukkan sikap negatif kepada Iran.

Dan saya meyakini bahwa Hamas sangat menyadari pergeseran pendulum geopolitik di Timur Tengah tersebut. Walhasil, terlepas diketahui atau tidak oleh Iran, yang jelas langkah serangan dadakan yang diambil Hamas mewakili kepentingan dan aspirasi geopolitik Iran selama ini di satu sisi dan sesuai dengan tendensi geopolitik Timur Tengah yang semakin berpihak kepada Iran di sisi lain.

Perang besar akan membakar Timur Tengah jika Amerika Serikat tidak segera melakukan pendekatan geopolitik yang berarti.

Komitmen militer dari Amerika tentu tak perlu diragukan lagi, sebagaimana dukungan Amerika Serikat pada Israel di Perang Yom Kippur dengan menghadirkan senjata antitank yang akhirnya membuat ratusan tank-tank Mesir terhenti di Sinai.

Namun dari perkembangan geopolitik yang ada, dukungan militer Amerika Serikat semestinya diberikan hanya untuk memperkuat pertahanan Israel, menjaga kedaulatan teritorial semata, bukan untuk membuat Israel semakin memperluas daerah kekuasaannya, seperti menduduki kembali Jalur Gaza, yang potensial akan mengundang antipati banyak negara Arab lainnya.

Dengan kata lain, langkah strategis yang dibutuhkan Amerika Serikat saat ini adalah pendekatan geopolitik, agar negara-negara Arab arus utama, seperti Arab Saudi dan UAE (United Arab Emirates) menolak legitimasi serangan Hamas di satu sisi dan memberi China serta Rusia peran yang lebih besar dalam penciptaan perdamaian Israel - Palestina di sisi lain.

Tujuan jangka panjangnya tentu agar terbentuk keseimbangan baru di Timur Tengah yang tidak membahayakan Israel, di mana negara besar lainnya, termasuk Arab Saudi, UAE, dan Iran, selain China dan Rusia, juga memiliki andil besar dalam menjaga stabilitas di Timur Tengah.

Dan tujuan taktisya agar Hamas segera kehilangan celah geopolitis untuk meneruskan serangannya ke Israel.

https://www.kompas.com/global/read/2023/10/10/060000470/hamas-mengeksploitasi-celah-geopolitik-timur-tengah

Terkini Lainnya

Hari Ini, Irlandia dan Norwegia Akan Mengakui Negara Palestina Secara Resmi

Hari Ini, Irlandia dan Norwegia Akan Mengakui Negara Palestina Secara Resmi

Global
Pecah Rekor Lagi, Pendaki Nepal Kami Rita Sherpa Capai Puncak Everest 30 Kali

Pecah Rekor Lagi, Pendaki Nepal Kami Rita Sherpa Capai Puncak Everest 30 Kali

Global
Presiden Iran Meninggal, Puluhan Ribu Orang Hadiri Pemakaman Ebrahim Raisi

Presiden Iran Meninggal, Puluhan Ribu Orang Hadiri Pemakaman Ebrahim Raisi

Global
Rangkuman Hari Ke-818 Serangan Rusia ke Ukraina: 3.000 Napi Ukraina Ingin Gabung Militer | 14.000 Orang Mengungsi dari Kharkiv 

Rangkuman Hari Ke-818 Serangan Rusia ke Ukraina: 3.000 Napi Ukraina Ingin Gabung Militer | 14.000 Orang Mengungsi dari Kharkiv 

Global
Belum Cukup Umur, Remaja 17 Tahun di India Pilih Partai PM Modi 8 Kali di Pemilu

Belum Cukup Umur, Remaja 17 Tahun di India Pilih Partai PM Modi 8 Kali di Pemilu

Global
Menlu AS Tuding ICC Hambat Gencatan Senjata Perang Israel-Hamas

Menlu AS Tuding ICC Hambat Gencatan Senjata Perang Israel-Hamas

Global
Menteri Keamanan To Lam Resmi Terpilih Jadi Presiden Vietnam

Menteri Keamanan To Lam Resmi Terpilih Jadi Presiden Vietnam

Global
Anggota Kabinet Perang Israel Ron Dermer Sebut Tak Ada Kelaparan di Gaza, Kok Bisa? 

Anggota Kabinet Perang Israel Ron Dermer Sebut Tak Ada Kelaparan di Gaza, Kok Bisa? 

Global
Amelia Earhart, Perempuan Pertama yang Melintasi Atlantik

Amelia Earhart, Perempuan Pertama yang Melintasi Atlantik

Internasional
6 Fakta soal Helikopter Presiden Iran, Termasuk Buatan AS dan Sudah Usang

6 Fakta soal Helikopter Presiden Iran, Termasuk Buatan AS dan Sudah Usang

Global
Rusia Umumkan Mulai Latihan Peluncuran Senjata Nuklir Taktis

Rusia Umumkan Mulai Latihan Peluncuran Senjata Nuklir Taktis

Global
Penumpang yang Tewas dalam Singapore Airlines Berencana Berlibur ke Indonesia

Penumpang yang Tewas dalam Singapore Airlines Berencana Berlibur ke Indonesia

Global
[POPULER GLOBAL] Singapore Airlines Turbulensi Parah | Hasil Penyelidikan Awal Kecelakaan Helikopter Presiden Iran

[POPULER GLOBAL] Singapore Airlines Turbulensi Parah | Hasil Penyelidikan Awal Kecelakaan Helikopter Presiden Iran

Global
Presiden Iran Meninggal, Turkiye Adakan Hari Berkabung

Presiden Iran Meninggal, Turkiye Adakan Hari Berkabung

Global
Saat Pesawat Singapore Airlines Menukik 6.000 Kaki dalam 3 Menit...

Saat Pesawat Singapore Airlines Menukik 6.000 Kaki dalam 3 Menit...

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke