Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dukung Perdamaian Ukraina, Para Pendeta Ortodoks Rusia Hadapi Persekusi

Kompas.com - 13/08/2023, 16:09 WIB
Irawan Sapto Adhi

Penulis

Penulis: VOA Indonesia

MOSKWA, KOMPAS.com - Berdiri di sebuah gereja Ortodoks tua di Antalya dengan Alkitab di satu tangan dan lilin di tangan lainnya, Pendeta Ioann Koval terlihat sedang memimpin salah satu kebaktian di Turkiye.

Kebaktian tersebut adalah kebaktian pertama yang dilakukannya setelah pimpinan Gereja Ortodoks Rusia memutuskan untuk memecatnya setelah ia melantunkan doa untuk perdamaian di Ukraina.

Pada September lalu, ketika Presiden Vladimir Putin memobilisasi sebagian pasukan cadangan ke Ukraina, uskup tertinggi Gereja Ortodoks, Kirill, meminta para pendetanya berdoa untuk kemenangan Rusia.

Baca juga: Israel Batasi Perayaan Paskah Kristen Ortodoks di Yerusalem, Pemimpin Gereja Masa Bodoh

Namun, dengan berdiri di depan altar dan puluhan umatnya di salah satu gereja Moskwa, Koval justru memutuskan untuk mendoakan perdamaian alih-alih menjalan perintah uskup itu.

“Dengan kata 'kemenangan', doa memperoleh makna propaganda, membentuk pemikiran yang benar di antara umat, di antara para pendeta, apa yang harus mereka pikirkan dan bagaimana mereka harus melihat permusuhan ini," kata Koval.

"(Hal) itu bertentangan dengan hati nurani saya. Saya tidak bisa tunduk pada tekanan politik dari hierarki ini,” tambahnya.

Dalam doa yang dia lantunkan berkali-kali, pendeta berusia 45 tahun itu hanya mengubah kata "kemenangan" dengan "damai”. Tetapi, sepatah kata tersebut menjadi bukti yang cukup bagi pengadilan gereja untuk mencoretnya sebagai imam.

Berdoa atau menyerukan perdamaian di depan umum juga menimbulkan risiko penuntutan dari negara Rusia.

Tak lama setelah pasukan Rusia menginvasi Ukraina, anggota parlemen mengesahkan undang-undang yang memungkinkan penuntutan ribuan orang karena "mendiskreditkan tentara Rusia", tuduhan yang pada kenyataannya berlaku untuk apa pun yang bertentangan dengan narasi resmi, baik itu komentar di jejaring sosial atau doa di gereja.

Baca juga: Saat Putin Berdiri Sendirian Ikuti Kebaktian Malam Natal Ortodoks...

Andrey Desnitsky, profesor filologi di Universitas Vilnius di Lithuania, mengatakan kepada The Associated Press (AP), mirip dengan rezim otoriter Putin, Kirill membangun hierarki yang otoriter di gereja yang menuntut kepatuhan total.

Jika seorang imam menolak untuk membaca doa uskup, kesetiaannya akan dicurigai.

“Jika Anda tidak setia, maka tidak ada tempat bagi Anda di gereja,” tambah Desnitsky, seorang pakar lama di gereja Rusia.

Ketika perang mulai berkecamuk, sebagian besar pendeta memilih diam.

Mereka takut mendapatkan tekanan dari gereja dan otoritas negara sehingga hanya sebagian kecil yang berani angkat bicara.

Dari lebih dari 40.000 pendeta di Gereja Ortodoks Rusia, hanya 300 pendeta yang menandatangani surat publik yang menyerukan perdamaian di Ukraina.

Namun, setiap suara publik yang menentang perang sangat penting, kata Natallia Vasilevich, koordinator kelompok hak asasi manusia Christians Against War.

Sejak awal perang, tim Vasilevich menghitung setidaknya terdapat 30 pendeta Ortodoks yang menghadapi tekanan dari otoritas agama atau negara.

Tetapi, kata dia, bukan tak mungkin jumlah kasus itu melebihi dari yang diperkirakan, karena beberapa pendeta takut berbicara tentang represi karena takut hal itu akan mengakibatkan lebih banyak masalah.

Baca juga: Putin Rayakan Malam Natal Gereja Ortodoks Sendiri di Katedral Kremlin

Gereja Ortodoks Rusia menjelaskan bahwa penindasan terhadap para pendeta yang berbicara menentang perang adalah hukuman atas keterlibatan mereka dalam politik.

“Para pendeta yang mengubah diri mereka dari pendeta menjadi agitator politik dan orang-orang yang berpartisipasi dalam perjuangan politik, mereka jelas berhenti memenuhi tugas pastoral mereka dan tunduk pada larangan kanonik,” kata Vakhtang Kipshidze, wakil kepala layanan pers gereja, kepada AP.

Pada saat yang sama, Vasilevich menyampaikan, para pendeta yang secara terbuka mendukung perang di Ukraina tidak menghadapi dampak apa pun dan terlebih lagi didukung oleh negara.

Para pendeta yang menolak untuk bergabung dengan perintah ini atau memilih tetap diam dapat dipindahkan, dan sementara dibebaskan dari tugas mereka.

Namun mereka juga berpotensi untuk dipecat, kehilangan gaji, perumahan, tunjangan, dan yang terpenting pelayanan mereka kepada umat mereka dihentikan.

“Saya tidak pernah mempertanyakan pilihan yang saya buat. Saya, seluruh jiwa saya, seluruh keberadaan saya menentang perang ini. Tidak mungkin bagi saya untuk mendukung invasi pasukan Rusia ke Ukraina lewat doa saya," kata Koval.

Setelah pengadilan Gereja Ortodoks Rusia memutuskan dia dicopot, Koval mengajukan banding ke Patriark Ekumenis Bartholomew dari Konstantinopel, yang telah menegaskan hak untuk menerima petisi banding dari pendeta gereja Ortodoks lainnya, atas keberatan Rusia.

Pada Juni, Dewan Gereja Konstantinopel memutuskan bahwa Koval dihukum karena pendiriannya dalam perang di Ukraina dan memutuskan untuk mengembalikan pangkat keagamaanya. Pada hari yang sama, Bartholomew mengizinkannya untuk melayani di gerejanya.

Pendeta Ioann Burdin juga ingin meninggalkan Gereja Ortodoks Rusia setelah dia menentang perang di sebuah gereja kecil dekat Kostroma.

Pengadilan setempat mendenda dia karena dianggap mendiskreditkan tentara Rusia.

Dia meminta para petinggi gereja untuk menyetujui pemindahannya ke Gereja Ortodoks Bulgaria. Namun, sebaliknya, Kirill melarang dia melakukan pelayanan hingga pendeta itu membuat permintaan maaf publik.

Baca juga: Putin Serukan Gencatan Senjata Selama Natal Ortodoks 6-7 Januari

“Posisi saya, yang pertama kali saya nyatakan di situs web, kemudian di gereja, dan kemudian selama persidangan adalah ekspresi keyakinan agama saya,” kata imam itu kepada AP.

"Karena semua orang adalah saudara, perang apa pun, konflik militer apa pun, dengan satu atau lain cara menjadi pembunuhan saudara," tambahnya.

Tidak diizinkan untuk melayani di gereja, Burdin membawa khotbahnya ke saluran Telegram di mana dia membimbing umat Kristen Ortodoks yang bingung dengan dukungan patriark terhadap perang.

Selama lebih dari dua dekade berkuasa, Putin secara besar-besaran meningkatkan kedudukan Gereja Ortodoks Rusia. Ia meningkatkan prestise, kekayaan, dan kekuasaannya di masyarakat setelah puluhan tahun mengalami penindasan atau ketidakpedulian di bawah para pemimpin Soviet.

Pada gilirannya, para pemimpinnya, seperti Patriark Kirill, mendukung inisiatifnya.

Gereja mendukung perang di Ukraina dan sudah menjadi hal yang biasa untuk melihat para pendetanya memberkati pasukan dan peralatan menuju pertempuran dan memohon berkat Tuhan dalam kampanye tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com