Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sapto Waluyo
Dosen

Sosiolog dan Pendiri Center for Indonesia Reform (CIR)

Kemenangan Erdogan dan Tantangan Regenerasi Kepemimpinan di Turkiye

Kompas.com - 30/05/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tokoh AKP juga memimpin pemerintahan nasional sejak 2022 di bawah PM Abdullah Gül (2002–2003), PM Recep Tayyip Erdogan (2003–2014), PM Ahmet Davutoglu (2014–2016), PM Binali Yildirim (2016–2018) dan Presiden Recep Tayyip Erdogan (2018–sekarang).

Pada 2017, terjadi perubahan konstitusi yang mengubah sistem parlementer menjadi presidensial.

Erdogan sangat piawai mengelola perimbangan kekuatan politik untuk menjalani periode kekuasaannya yang cukup panjang (21 tahun) dan sekarang dipercaya untuk memimpin lima tahun ke depan.

Mungkin hanya Vladimir Putin dari Rusia yang dapat menyamai kelihaian Erdogan dalam mengelola kekuasaan.

Putin telah berganti jabatan beberapa kali, dari perdana menteri (1999), menjadi presiden (2000-2008), kembali sebagai perdana menteri (2008-2012), dan jadi presiden lagi (2012) hingga sekarang.

Dengan amandemen konstitusi Rusia hasil referendum 2020, maka Putin bisa berkuasa hingga 2036 mendatang.

Ada satu lagi tokoh dunia yang sukses mengelola kekuasaannya, yaitu Presiden RRC Xi Jinping. Xi memulai karier politiknya dari bawah hingga menjadi Gubernur Fujian pada 1999 dan masuk dalam jajaran Politbiro PKC pada 2007.

Sejak 2013, Xi menjabat Sekretaris Jenderal PKC dan sekaligus Presiden RRC. Pada akhir periode pertama kekuasaannya (2018), Xi melakukan perubahan besar terhadap konstitusi China yang menghapus pembatasan masa jabatan selama dua periode.

Padahal, sepanjang sejarah pemerintahan RRC modern, hanya ada dua pemimpin yang menjabat hingga periode ke-2, yakni Hu Jintao dan Jiang Zemin.

Xi ingin melampaui limit tersebut, dengan alasan hal itu menghalangi RRC untuk maju dan mendapat kepemimpinan yang kuat di tengah persaingan global.

Xi juga membuat ideologi baru, sosialisme yang disesuaikan dengan tuntutan masyarakat RRC kontemporer. Dalam Kongres Nasional PKC tahun 2023, Xi ditetapkan sebagai Presiden untuk periode ketiga dan mungkin berlaku seumur hidup.

Tentu saja tidak adil untuk membandingkan Erdogan dengan Putin atau Jinping karena sistem politik Turki yang berbeda dengan Rusia dan RRC, serta karakteristik masyarakatnya yang juga tak sama.

Namun, kecenderungan tentang munculnya kepemimpinan yang kuat (strong leadership) sebagai prasyarat bagi kemajuan ekonomi dan stabilitas kawasan telah menjadi diskursus tersendiri. Apakah hal itu akan mengarah pada otoriterianisme atau otokratisme baru?

Di sisi lain yang perlu dicermati dalam dinamika politik Turkiye adalah pemilihan kepala daerah yang tidak mesti sejalan dengan hasil pemilu nasional.

Pemilihan gubernur dan wali kota di Turkiye akan dilakukan pada Maret 2024. Aliansi Kerakyatan pimpinan AKP mungkin akan melakukan rebound.

Pada Pilkada 2019, Aliansi Kerakyatan meraih 51,62 persen suara dan tokoh AKP menduduki jabatan 15 wali kota, 25 gubernur dan 534 bupati.

Sementara Aliansi Kebangsaan mendapat 37,56 persen suara dengan CHP menduduki 11 wali kota, 10 gubernur, dan 191 bupati.

Tahun itu, merupakan gempa kecil bagi AKP karena kehilangan kursi wali kota di: Istanbul (direbut Ekrem Imamoglu), Ankara (Mansur Yavas), Bursa (Alinur Aktas), Izmir (Tunc Soyer), dan Adana (Zeydan Karalar).

Apakah tahun depan, AKP bisa memulihkan kepercayaan masyarakat Turki, sangat tergantung dari tokoh yang ditampilkan dan komunikasi politik terhadap konstituen yang bergerak dinamis. Kalangan muda Turkiye cukup kritis dan beranjak menuju kelas menengah independen.

Tantangan utama Erdogan saat ini adalah dirinya sendiri (the enemy is himself), karena tak ada tokoh yang popular dan cukup kuat untuk menggantikannya.

Kenyataan itu dapat dilihat sebagai awal krisis kepemimpinan di AKP dan bagi bangsa Turkiye secara umum. Kesuksesan pemimpin adalah mampu melahirkan generasi pengganti yang lebih kuat dari dirinya sendiri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com