Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Pesantren di Guinea-Bissau Dilarang Mengemis

Kompas.com - 03/04/2023, 16:46 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

Penulis: Antonio Cascais & Iancuba Danso/DW Indonesia

BISSAU, KOMPAS.com - Selama bertahun-tahun, organisasi-organisasi hak asasi manusia di Afrika Barat menaruh perhatian pada masalah para siswa pesantren yang dianiaya dan dipaksa mengemis.

Fenomena yang disebut "Talibe" ini terkonsentrasi di Senegal.

"Baru-baru ini, para penjahat yang tidak bermoral semakin sering menggunakan model bisnis pesantren di negara-negara tetangga seperti negara asal saya, Guinea-Bissau."

Baca juga: Bintang Musik Pop Turkiye Ditangkap karena Lempar Lelucon tentang Pesantren

"Mereka mengambil keuntungan dari fakta menyedihkan bahwa sistem sekolah negeri di sini praktis telah runtuh," kata Suleimane Embalo dari asosiasi perlindungan anak setempat, AGLUCOMI-TSH.

Keluarga miskin khususnya didorong untuk mendaftarkan anak-anak mereka ke pesantren, kata Embalo.

Anak-anak itu diberi makan dan tempat tinggal. Namun tak jarang, anak-anak ini berakhir sebagai pengemis jalanan.

Di sana mereka harus mengemis sepanjang hari, kata Embalo kepada DW. Mereka hanya belajar mengaji--jika ada--di pagi dan sore hari.

Dalam banyak kasus, kondisi kehidupan di sekolah-sekolah itu tidak layak: anak-anak lelaki itu mengalami kelaparan, penyakit dan penghinaan.

Mereka yang tidak patuh akan dianiaya. "Ini mengerikan. Mengemis adalah faktor kemiskinan dan tidak ada hubungannya dengan agama," kata Suleimane Embalo.

Menghadapi tekanan publik, Presiden Guinea-Bissau Umaro Sissoco Embalo berjanji akan menanggulangi problem ini dengan kekuatan penuh.

"Masukkan anak-anak ke sekolah dan hentikan mengirim mereka untuk mengemis. Ini bukan Islam," katanya. "Siapa pun yang mengirim anak mereka ke jalanan, mulai 27 Maret akan berakhir di penjara," ancam presiden.

Baca juga: Malaysia Tangkap Pengemis Asal Indonesia, Sehari Kantongi Rp 340.000, Berangkat Naik Grab

Menurut Asosiasi Perlindungan Anak Guinea, ada 22 pesantren yang disebut "daaras" di Bissau.

Lebih dari 700 anak berusia antara tiga hingga 18 tahun bersekolah di sana. Setidaknya 200 di antaranya mengemis di jalanan setiap hari. 15 persen dari mereka adalah yatim piatu.

Di masa lalu, media banyak memberitakan tentang para pelajar yang diculik secara ilegal ke negara tetangga, Senegal.

Secara berkala, patroli militer dari Guinea-Bissau mengidentifikasi kelompok anak-anak yang akan dibawa secara diam-diam ini melintasi perbatasan ke Senegal. Kasus-kasus seperti ini dilaporkan secara luas oleh media lokal dan juga internasional.

"Ada juga laporan, misalnya, tentang Daara di Touba, sebelah timur Dakar, di mana anak-anak yang baru tiba dari Guinea-Bissau, Mauritania, Gambia, dan Mali diduga dirantai terlebih dahulu hingga mereka ketakutan," kenang aktivis hak-hak anak, Suleimane Embalo.

Setelah itu, guru-guru mengaji di Senegal diduga memaksa mereka untuk mengemis.

Sama halnya dengan Guinea-Bissau dan negara-negara lain di kawasan ini, di Senegal juga tidak ada aturan baku untuk membuka pesantren.

Setiap orang bisa menyebut dirinya "marabout", yaitu guru mengaji. Karena alasan ini, ada marabout di banyak tempat yang tidak tertarik untuk mengajar anak-anak, tetapi hanya mengeksploitasi mereka, kata Embalo.

Baca juga: Kisah Pengemis Kaya di Sulawesi yang Punya Tabungan Rp 490 Juta Disorot Media Asing

Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul Guinea-Bissau Larang Siswa Pesantren Mengemis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Sepak Terjang Subhash Kapoor Selundupkan Artefak Asia Tenggara ke New York

Sepak Terjang Subhash Kapoor Selundupkan Artefak Asia Tenggara ke New York

Global
Penyebab Kenapa Menyingkirkan Bom yang Belum Meledak di Gaza Butuh Waktu Bertahun-tahun

Penyebab Kenapa Menyingkirkan Bom yang Belum Meledak di Gaza Butuh Waktu Bertahun-tahun

Global
30 Tahun Setelah Politik Apartheid di Afrika Selatan Berakhir

30 Tahun Setelah Politik Apartheid di Afrika Selatan Berakhir

Internasional
Rangkuman Hari Ke-795 Serangan Rusia ke Ukraina: Buruknya Situasi Garis Depan | Desa Dekat Avdiivka Lepas

Rangkuman Hari Ke-795 Serangan Rusia ke Ukraina: Buruknya Situasi Garis Depan | Desa Dekat Avdiivka Lepas

Global
Dubai Mulai Bangun Terminal Terbesar Dunia di Bandara Al Maktoum

Dubai Mulai Bangun Terminal Terbesar Dunia di Bandara Al Maktoum

Global
[KABAR DUNIA SEPEKAN] Tabrakan Helikopter Malaysia | Artefak Majapahit Dicuri

[KABAR DUNIA SEPEKAN] Tabrakan Helikopter Malaysia | Artefak Majapahit Dicuri

Global
Bangladesh Liburkan 33 Murid dan Mahasiswa karena Cuaca Panas

Bangladesh Liburkan 33 Murid dan Mahasiswa karena Cuaca Panas

Global
Dilema Sepak Bola Hong Kong, dari Lagu Kebangsaan hingga Hubungan dengan China

Dilema Sepak Bola Hong Kong, dari Lagu Kebangsaan hingga Hubungan dengan China

Global
Panglima Ukraina: Situasi Garis Depan Memburuk, Rusia Unggul Personel dan Senjata

Panglima Ukraina: Situasi Garis Depan Memburuk, Rusia Unggul Personel dan Senjata

Global
Jam Tangan Penumpang Terkaya Titanic Laku Dilelang Rp 23,75 Miliar

Jam Tangan Penumpang Terkaya Titanic Laku Dilelang Rp 23,75 Miliar

Global
Rusia Masuk Jauh ke Garis Pertahanan Ukraina, Rebut Desa Lain Dekat Avdiivka

Rusia Masuk Jauh ke Garis Pertahanan Ukraina, Rebut Desa Lain Dekat Avdiivka

Global
Filipina Tutup Sekolah 2 Hari karena Cuaca Panas Ekstrem

Filipina Tutup Sekolah 2 Hari karena Cuaca Panas Ekstrem

Global
Rusia Jatuhkan 17 Drone Ukraina di Wilayah Barat

Rusia Jatuhkan 17 Drone Ukraina di Wilayah Barat

Global
Intel AS Sebut Putin Tidak Perintahkan Pembunuhan Navalny

Intel AS Sebut Putin Tidak Perintahkan Pembunuhan Navalny

Global
Sosok Subhash Kapoor, Terduga Pencuri Artefak Majapahit di New York

Sosok Subhash Kapoor, Terduga Pencuri Artefak Majapahit di New York

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com