Dokter Osama Salloum bekerja untuk Yayasan Masyarakat Medis Amerika Suriah (SAMS) yang mendukung sejumlah rumah sakit di wilayah barat laut yang dikuasai oposisi.
"Saya berada di rumah sakit SAMS di Atareb beberapa jam setelah gempa," katanya.
"Ketika saya meninggalkan rumah sakit ada sekitar 53 kematian. Saya tidak bisa menghitung jumlah yang terluka."
Dia mengatakan, lebih dari 120 orang kini telah meninggal di rumah sakit itu saja.
Salloum mengatakan rumah sakit hanya punya sedikit sumber daya untuk menghadapi bencana semacam itu.
"Sebagian besar orang yang diselamatkan dari puing-puing mengalami luka dalam yang membutuhkan perawatan khusus dan peralatan canggih," katanya, seraya menambahkan bahwa rumah sakit Atareb hanya memiliki satu mesin pemindai CT yang sudah tua.
Sebagian besar bantuan masuk melalui Turkiye dan harus melalui pemeriksaan perbatasan yang ketat.
Turkiye sendiri juga menghadapi krisis kemanusiaan yang besar akibat gempa ini, sehingga tidak jelas pasokan apa yang akan mencapai daerah-daerah yang dikuasai oleh oposisi di Suriah.
"Jika kami kehabisan persediaan medis kami saat ini, kami akan menderita," kata Dr Salloum.
Gempa juga melanda daerah-daerah yang berada di bawah kendali pemerintah di wilayah utara Suriah.
Aya, yang hanya bersedia membagikan nama depannya, sedang mengunjungi keluarganya di Latakia ketika gempa mengguncang.
Koki berusia 26 tahun itu sedang tidur bersama ibu dan tiga saudara kandungnya saat listrik padam.
"Saya tidak mengerti apa yang terjadi sampai saya mengetahui anggota keluarga saya yang lain juga terbangun."
Rumah keluarganya berada di jalan utama dan memiliki jendela kaca.
"Kami tidak bisa bergerak karena saking kuat gempa itu," katanya. "Kami tetap berpegangan di tempat."
Baca juga: Kisah Nestapa Gempa Suriah, Bayi Selamat tapi Ibu dan Saudaranya Tewas
Ibu Aya mengidap penyakit Parkinson. Gempa itu membuatnya ketakutan dan panik.
"Saya kaget dan tidak bisa bergerak," kata Aya. "Saya terus melihat bagaimana dinding berguncang dan bergerak bolak-balik."
"Saya tidak bisa menjelaskan kepada Anda, betapa gilanya situasi saat itu."
Haneen, seorang arsitek berusia 26 tahun, juga tinggal di Latakia. Dia bercerita bahwa pemuda di sekitar tempat tinggalnya mendirikan tenda untuk tempat orang-orang berlindung dari hujan.
Tenda biasanya digunakan untuk menampung pelayat selama pemakaman. Bagi Haneen, itu membuatnya merasa suram.