Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita WNI Asal Riau, Migrasi ke Swiss lalu Kerja di Microsoft

Kompas.com - 07/11/2022, 16:01 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

Penulis: Marjory Linardy/DW Indonesia

ZURICH, KOMPAS.com - Pingkan Lydia Mamesah, panggilannya Lydia, lahir di Pekanbaru, Riau. Sebelum berimigrasi ke Eropa, di Indonesia pun dia sudah pernah tinggal di beberapa kota berbeda, karena ayahnya bekerja di perusahaan minyak.

Namun, sejak SMA mereka menetap di Jakarta, karena orangtua Lydia besar di Jakarta, dan mereka ingin dia mengalami masa remajanya di Jakarta.

Setelah lulus SMA ia berkuliah Strata 1 (S1) di Universitas Indonesia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), jurusan biologi. Setelah itu, dia juga sempat bekerja beberapa bulan di bidang biologi laut.

Baca juga: Cerita WNI Jual Makanan Indonesia di Warung Mobil Jerman, Sedia Mi Ayam hingga Batagor

Tapi ia segera sadar, dari segi pendapatan profesi itu kurang sesuai dengan apa yang dia inginkan. Itu bidang karier yang masih kurang mendapat perhatian dari banyak orang atau pemerintah, kata Lydia setelah berpikir sebentar.

Setelah enam bulan dia berusaha mencari pekerjaan yang lebih sesuai dengan keinginan dan supaya tidak bergantung pada orangtua lagi. Akhirnya ia mulai bekerja di bidang perbankan. Tapi tidak di bank, melainkan sebagai foreign exchange broker, atau pedagang perantara valuta asing.

Lydia bercerita, kliennya ketika itu adalah semua bank yang ada di Jakarta. “Jadi lumayan sih, network-nya,” kata Lydia.

Ketika bekerja sebagai broker di Jakarta.DOK LYDIA MAMESAH via DW INDONESIA Ketika bekerja sebagai broker di Jakarta.
Setelah dua tahun, karena gelar S1 yang ia peroleh adalah di bidang ilmu alam, Lydia mengatakan, mengalami “krisis identitas” dan ingin tantangan yang lebih besar. “Kok kepengen balik ke ngurusin nomor-nomor, ya.“ Ia merasa ingin kembali ke bidang sains.

Ketika itu, lewat pekerjaannya, dia sudah bertemu dengan pria Belgia yang sekarang jadi suaminya. Dari pacarnya itulah dia mengenal orang-orang yang bekerja di negara lain. Termasuk teman-temannya yang bekerja di bidang supply chain atau rantai pasokan di Singapura.

Dari mereka ia terinspirasi untuk membangun karier di bidang itu juga. Sejak itu dia mulai menabung, agar bisa mengambil gelar Master atau S2 di bidang supply chain.

Mengganti bidang profesi di negeri orang

Setelah cukup menabung dan menganalisa kemungkinan, dia memutuskan mengambil S2 di Belgia, tepatnya di Antwerp Management School (AMS), Fakultas Global Supply Chain Management.

Keputusan itu ia ambil, karena di jurusan itu setengah kuliah berupa teori, dan setengahnya lagi berupa kerja di lapangan.

“Jadi semacam praktek konsultasi langsung ke perusahaan-perusahaan. Jadi ada pengalaman langsung dengan perusahaan yang bergerak di bidang supply chain.”

Lydia Mamesah ketika masih bekerja di bidang biologi laut.DOK LYDIA MAMESAH via DW INDONESIA Lydia Mamesah ketika masih bekerja di bidang biologi laut.
Ketika itu, di Indonesia, bidang supply chain termasuk teknik sipil. Jadi fokus penjurusan agar orang-orang belajar bidang itu belum ada. Begitu kata Lydia, dan menambahkan, “Karena itu, OK, ke luar negeri. Tapi Amerika terlalu mahal,” katanya sambil tersenyum.

“Asia mahal juga, rata-rata,“ katanya sambil tertawa, “Misalnya Singapura, Hong Kong, mahal.” Jadi dia memutuskan ke Eropa, karena banyak sekolah tinggi di Eropa yang mendapat subsidi. Pilihannya adalah Jerman, Belgia atau Belanda, karena ketiga negara itu berpengalaman banyak dalam bidang logistik.

Baca juga: Cerita WNI Sukses Bekerja di Amerika walau di Luar Bidang Studinya

Lydia menjelaskan, memang bidang supply chain sangat berbeda dengan biologi laut yang jadi bidangnya ketika kuliah di Indonesia dulu. Tetapi ia bisa melanjutkan ke bidang baru itu, karena AMS melihat bahwa saat dua tahun pertama kuliah di FMIPA, dia belajar ilmu alam yang umum, seperti matematika, fisika dan kimia.

Selain itu, memang Lydia juga harus lulus tes untuk di jadi mahasiswa AMS. Proses kuliahnya sendiri berlangsung dalam bahasa Inggris, begitu kata Lydia.

Dia menceritakan juga, sebetulnya ketika selesai SMA dan akan mulai berkuliah, dia belum punya ide apa profesi yang diinginkan. Dia sempat ingin menjadi jurnalis, katanya sambil tertawa. Akhirnya dia memutuskan memilih bidang yang seumum mungkin, agar nanti bisa diperdalam jika perlu.

Jadi ketika berkuliah di bidang biologi, dia tidak terlalu penuh gairah untuk mendalami bidang itu, melainkan karena suka ilmu pengetahuan alam, juga konsep analisis dan penelitian.

Jadi ketika beralih ke bidang supply chain, dia tidak terlalu merasa kehilangan bidang biologi. Ketika menjadi “broker” salah satu yang diuji apakah dia mampu mengingat angka.

“Karena saya memang suka angka dan analisa, itulah yang menjadi benang merah karier sampai sekarang,” begitu dijelaskan Lydia. Sekarang, kariernya sudah jelas di bidang supply chain.

Lydia Mamesah dalam negosiasi dengan pekerja dari beberapa negara.DOK LYDIA MAMESAH via DW INDONESIA Lydia Mamesah dalam negosiasi dengan pekerja dari beberapa negara.
Setelah selesai kuliah di Belgia, dia bekerja di sebuah perusahaan pengolahan besi, di Kota Gent. Itu merupakan bagian dari proyek Master untuk AMS. Dari perusahaan tempat kerjanya itu ia mendapat rekomendasi bagus, demikian Lydia.

Krisis identitas di negeri orang

Karena pasangannya mendapat pekerjaan di Zurich, Swiss, Lydia kemudian berusaha mencari pekerjaan di Swiss pula, karena mereka memutuskan untuk berada di negara yang sama.

Dia bercerita, awalnya mencari pekerjaan di Swiss tidak mudah, karena dia tidak bisa berbahasa Jerman. Ketika harus menunggu sampai sekitar tiga bulan, Lydia mengaku mengalami “krisis identitas” pula.

“Bisa enggak nih dapat pekerjaan di Eropa,” kata Lydia sambal tertawa terbahak-bahak. Dia akhirnya mendapat pekerjaan tetapi di kota lain di Swiss, yaitu Basel.

Di sana, dia bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan dan nutrisi. Dari sana dia mendapat pekerjaan lain tetapi di kota lain lagi, tepatnya di Schaffhausen. Perusahaan itu bergerak di bidang pembuatan alat-alat konstruksi berat untuk pendirian bangunan.

Di perusahaan itu, dia mendapat proyek supply chain global. Perusahaan itulah yang membuat jalannya terbuka ke bidang rantai pasokan yang melampaui batas benua. Sekarang Lydia bekerja pada perusahaan teknologi internasional AS, dan pengembang piranti lunak maupun keras Microsoft di Zürich, Swiss.

Timnya disebut Category Management Team. Dia bercerita, sehari-hari tugasnya adalah membuat rencana juga mengatur diskusi, baik internal maupun eksternal, mengenai sisi teknis, komersial, dan aspek hukum dari kontrak dengan supplier. Termasuk juga negosiasi dan analisa harga produk.

Baca juga: Cerita WNI Jadi Insinyur SpaceX: Kuliah di MIT, Magang di NASA, Kini Kerja di Perusahaan Elon Musk

Lydia bersama rekan-rekan di Microsoft.DOK LYDIA MAMESAH via DW INDONESIA Lydia bersama rekan-rekan di Microsoft.
Dia bercerita, jadwal kerja setiap harinya bisa berbeda-beda, tergantung negara tempat tinggal orang yang akan mengadakan rapat dengan dia.

Misalnya, Lydia pernah harus memberikan pelatihan di Australia, Selandia Baru, Singapura, dan Jepang. Perbedaan zona waktu antara Swiss dan kawasan Asia-Pasifik membuat pelaksanaan pelatihan harus disesuaikan.

Jika ada pelatihan seperti itu, Lydia biasanya bangun pukul 7 pagi, dan selesai kerja bisa lebih awal.

Tetapi, karena Microsoft adalah perusahaan Amerika, Lydia biasanya harus banyak berkomunikasi lewat telepon dengan orang di Amerika. Tepatnya di kota Seattle, di kawasan pantai barat Amerika, yang berarti zona waktu Pacific Time (PT).

Itu berarti, di Swiss ia sudah hampir selesai jam kerjanya, sedangkan rekan bicaranya di Amerika baru mulai bekerja. Jadi hubungan telepon dengan mereka biasanya antara jam 17 hingga 19 malam Central European Time (CET).

Jadi, Lydia menarik kesimpulan, dia harus mengatur jadwal kerjanya dengan pintar. “Kalau kita engga pintar-pintar bilang engga untuk beberapa rapat, ada kemungkinan kita bisa kerja terus-terusan, dan engga ada bedanya dengan kehidupan pribadi,“ dijelaskan Lydia.

Untungnya, Microsoft perusahaan yang memberikan kebebasan kepada pegawainya, untuk mengatur sendiri jam mulai dan selesai bekerja. “Yang penting, kerjaannya selesai.”

Oleh karena itu, Lydia yang melakukan home office atau bekerja dari rumah, biasanya mulai bekerja pukul 10 pagi. Jam 17 atau 18 biasanya rapat-rapat terakhir. Mulai pukul 19 atau 20 malam, dia berhenti bekerja, dan tidak memeriksa e-mail-nya lagi. Karena bekerja dari rumah ada enak dan tidak enaknya. Karena kadang batas antara hidup pribadi dan bekerja jadi tidak jelas.

Melewatkan liburan dengan bermain ski di gunung Arosa, Swiss.DOK LYDIA MAMESAH via DW INDONESIA Melewatkan liburan dengan bermain ski di gunung Arosa, Swiss.
“Kadang jam 21 malam kepikir, chat bentar, ah, pengen tahu topik yang tadi gimana akhirnya, ya?“ Tapi kalau naluri seperti itu diikuti, sampai jam 11 malam orang bisa masih bekerja dan membalas-balas e-mail. Itu tentu tidak bagus untuk kesehatan mental. “Jadi benar-benar harus bisa disiplin,“ ditegaskan Lydia.

“Memang ngomongnya mudah tapi pelaksanaannya engga mudah, karena kadang-kadang penasaran.“

Baca juga: Cerita WNI Asal Semarang Promosikan Mandi Kembang di Amerika, Tiap Minggu Produksi 150 Sabun

Pindah tempat tinggal jadi tantangan

Mengingat Swiss adalah negara kedua di Eropa tempat dia tinggal, dan ketika di Indonesia pun dia beberapa kali berpindah-pindah kota, ketika ditanya apakah penyesuaiannya mudah, dia menjawab, “Oh, susah!“ Kemudian tertawa.

Masih sangat jelas di ingatannya, ketika pindah dari Riau ke Jakarta, dia merasakan perbedaan besar.

Jika ingin menyampaikan sesuatu, teman-teman barunya di Jakarta mengatakannya secara langsung. Sedangkan di Riau, dia rasa, caranya lebih halus. Pemilihan kata-katanya lebih formal pula. Begitu jugalah cara bicara Lydia ketika baru pindah ke Jakarta.

“Jadi waktu awal-awal sempat di-bully sama teman-teman. ‘Lu kok ngomongnya sopan amat, sih?’ Jadi lumayan culture shock datang ke Jakarta,” kata Lydia sambil tertawa. Ditambah lagi dialek Jakarta yang tentu berbeda dengan di Riau.

Waktu pindah ke Eropa, dia malah tidak merasakan perubahan terlalu besar. Karena di propinsi kelahirannya, di Riau, dia dan keluarganya tinggal di sebuah kompleks khusus milik perusahaan minyak.

Di sana juga tinggal insinyur dan tenaga kerja asing lainnya. Karena saling mengenal, sejak kecil Lydia biasa mendengar penggunaan Bahasa Indonesia dan Inggris.

Di bidang pekerjaan, menurut Lydia sangat membantu sekali, bahwa dulu di Indonesia, dia pernah kerja sebagai broker. Karena dalam pekerjaan itu, orang sudah biasa berbicara keras dan berteriak-teriak, kata Lydia. Yang ingin dikatakan, dilontarkan secara langsung pula.

Jadi dia sudah terbiasa untuk tidak merasa tersinggung, atau merasa seolah diteriaki orang. Jika dia tidak pernah memiliki profesi itu, mungkin dia akan sulit menyesuaikan diri dengan cara bicara orang Eropa yang lebih to the point, dan tidak terlalu mementingkan hierarki, dibanding orang di Indonesia.

“Orang di Eropa lebih berani menyuarakan opini masing-masing,“ begitu dikemukakan Lydia, dan dia melihat, di masyarakat Indonesia, kalau seseorang menunjukkan ambisi, itu biasanya dinilai negatif.

Sementara di Eropa, orang disokong, jika menyuarakan opininya, sehingga mereka juga jadi mengetahui cara untuk membahas masalah dan membawa dirinya di depan publik.

Sebaliknya di Indonesia, yang sering ia rasakan walaupun tidak pernah dikatakan langsung: “Kalau lu bukan gurunya, lu ga usah ngomong di kelas.” Di Eropa, justru kalau kita aktif, itu dinilai membantu diskusi, itu justru sesuatu yang sehat, dan image-nya bagus. Begitu dikatakan Lydia.

Baca juga: Cerita WNI di Finlandia: Penganggur Dapat Rp 13 Juta Sebulan, Tidak Ada Copet

Menemukan safe place di negeri orang

Hal sama juga dirasakannya dalam dunia pekerjaan di Eropa. “Justru merasa menemukan tempat yang safe di Eropa. Dulu di Indonesia rasanya enggak bisa jadi diri sendiri. Karena kalau banyak nanya dibilang smarty pants (sok pintar). Kalau kebanyakan kasih opini dibilang ‘si lidah tajam‘,“ kata Lydia.

Ia menambahkan, ia merasa tidak bisa jadi diri sendiri dan sering berpikir: “OK, sebenernya punya pendapat, sih. Tapi lebih baik diem aja, kalau enggak orang benci sama elu. Mendingan enggak usah bilang pendapat lu, deh.“

Begitu pindah ke Eropa, dia merasa semua orang lebih menerima kalau dia menyatakan pendapat. “Memang mereka challenge, ya kadang-kadang,“ kata Lydia, “tapi dengan challenge itu, kita jadi diskusi yang terbuka.“

Dia merasa bisa jadi diri sendiri, bisa jujur, tidak perlu bohong untuk menyelamatkan perasaan orang lain. “Sebenarnya lebih sehat rasanya, karena kalau ada masalah lebih baik dibahas, kan?“

Namun demikian ia menilai itu masih jadi salah satu tantangannya di dunia pekerjaan. Yaitu belajar menyuarakan pendapat dengan sopan tetapi kuat. Dalam hidup sehari-hari, tantangan terbesarnya adalah belajar bahasa Jerman.

Di rumah, dia menggunakan bahasa Inggris jika berbicara dengan suaminya, dan dengan keluarga suaminya, dia berusaha menggunakan bahasa Belanda.

Lydia Mamesah ketika melewatkan waktu luang dengan berjalan-jalan di Kota Zurich, Swiss.DOK LYDIA MAMESAH via DW INDONESIA Lydia Mamesah ketika melewatkan waktu luang dengan berjalan-jalan di Kota Zurich, Swiss.
Di Eropa dia terutama belajar untuk sangat menghargai waktu. Di Indonesia orang bisa saja terlambat sampai setengah jam, kata Lydia. Di Eropa berbeda, orang datang sangat tepat waktu. Jika terlambat mereka akan mengatakan terlebih dahulu, walaupun terlambatnya hanya lima menit.

Masih berkaitan dengan waktu, dia bercerita ketika pertama kali pergi ke supermarket di Eropa, tepatnya Belgia, dia tidak tahu bahwa setelah kasir memindai barang belanjaannya, pembeli harus segera mengemas sendiri barang-barangnya.

Karena di Indonesia biasanya kasirlah yang mengembas belanjaan pembeli, dia menunggu kasir untuk melakukannya. Untungnya akhirnya dia menyadari tatapan kasir dan orang-orang di belakang dia, yang sepertinya mengatakan bahwa dia sudah melakukan sesuatu yang salah.

Untuk orang-orang Indonesia yang ingin berimigrasi ke Eropa, terutama ke Swiss dia menyarankan untuk tidak cepat menyerah. Lakukan segalanya dengan benar, karena memang tidak ada “jalan pintas“ menuju karier impian.

Selama memiliki etos kerja yang bagus dan tidak menyerah dalam mencari ilmu, pasti bisa mendapat karier yang diinginkan, kata Lydia. Dan pesannya yang terakhir: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.“

Baca juga: Cerita WNI Kuliah S2 Teknik Fisika di Jerman: Pintar Aja Enggak Cukup

Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul Berimigrasi ke Swiss dan Berkarier di Perusahaan AS.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com