Peralatan anggar seperti sarung tangan, senjata, baju, dan celana bahkan dibedakan antara pemain yang kanan dan kidal.
Dulu waktu kecil, Arin mengaku kerap diejek teman sekolah, bahkan dimarahi guru karena kidal. Tapi orang tuanya tidak pernah mempermasalahkan bahwa dia kidal. Ketika mulai bermain bulu tangkis, bahkan pelatihnya merasa senangbisa melatih pemain yang kidal.
“Beliau yang bikin saya sadar, kalau jadi kidal itu bukan kekurangan, tapi bisa dipakai jadi kelebihan.“ Jadi sekarang Arin tidak merasa sedih karena berbeda dengan orang lain, malah merasa makin bersyukur.
Baca juga: Cerita WNI Asal Semarang Promosikan Mandi Kembang di Amerika, Tiap Minggu Produksi 150 Sabun
Arin menjelaskan, dulu dia hanya ikut kejuaraan antar universitas, karena kurang percaya diri untuk ikut kejuaraan yang memang ditujukan bagi atlet anggar yang bermain aktif.
Namun, setelah mendapat dorongan dari teman-teman latihan dan pelatihnya, akhirnya dia berani.
Tidak hanya mencoba ikut sirkuit nasional Jerman saja, ketika ikut student exchange ke Korea Selatan, Arin juga sempat mengikuti kejuaraan nasional antar Klub di Korea dan mendapat medali. Lalu, juga sempat menjadi perwakilan Sumatra Barat pada pra-PON tahun 2019 lalu.
“Jadinya ke mana-mana, juga kenal banyak orang,“ tutur Arin. Dia bercerita, atlet-atlet lain juga mendorongnya untuk mencoba ikut berbagai turnamen internasional dan berusaha untuk mendapat lisensi. Untuk ikut turnamen anggar di Jerman, dia butuh lisensi dari Federasi Anggar Jerman. Teman-temannya juga mendukung Arin untuk mendapatkan lisensi FIE (Federasi Anggar Internasional) agar juga bisa bertanding mengikuti turnamen internasional.
Dari segi bahasa, Arin tidak menghadapi tantangan besar. Dia mengatakan, kuliah untuk mendapat gelar S1 sepenuhnya dalam bahasa Jerman. Sekarang, di jenjang S2, ada mata kuliah yang menggunakan bahasa Inggris. Namun, bahasa Jerman tetap dominan.
Setelah tinggal selama 10 tahun di Jerman, Arin tidak merasa menemukan kesulitan besar untuk berasimilasi dalam masyarakat Jerman. Tetapi, ke kota mana pun dia pergi, dia selalu berusaha mencari orang Indonesia. Karena biar bagaimanapun, dia merasa dengan orang Indonesia dia lebih bisa berkomunikasi dan saling mengerti, antara lain juga karena faktor bahasa.
Dalam hal kuliah, saat ini tantangan yang dihadapi Arin adalah masalah riset untuk tesisnya. Yaitu misalnya, eksperimen gagal, atau tidak sesuai perkiraan.
“Jadi harus mikir lagi, kan. Kenapa nih, apa yang terjadi, apa yang harus dilakukan?“ Tapi, menurut Arin, oleh karena itu dia jadi belajar. Jika menghadapi kesulitan yang sama berikutnya, dia tahu apa yang harus dikerjakan.
“Soalnya kita kan ga pernah diajarin untuk mengatakan, ‘aku tuh bisa ini dan ini.‘ Kita lebih sering diajarkan untuk lebih merendah, gitu.“ Padahal sesungguhnya, jika bisa mengatakan apa saja kemampuan kita, itu juga membantu saat mencari tempat magang.
Dia bercerita, orang Jerman terbuka, jika dia mengatakan dia belum mengerti sesuatu. Sedangkan di Indonesia, menurut Arin, orang kadang mengatakan sudah mengerti, padahal belum, sehingga akhirnya tidak berani bertanya.
“Kita sepertinya tidak terbiasa untuk mengatakan, ‘saya tidak mengerti atau saya tidak tahu‘. Kayaknya takut sekali bilang begitu.“ Di Jerman, jika orang tidak mengatakan belum mengerti, maka dianggap sudah mengerti. Jika mengatakan belum mengerti, mereka bersedia mengajarkan lagi, dan senang jika kita akhirnya mengerti.
Saran Arin untuk mereka yang ingin berkuliah di Jerman: harus berani mencoba. Kalau berani mencoba, pasti ada saja jalannya.
Baca juga: Cerita WNI di Finlandia: Penganggur Dapat Rp 13 Juta Sebulan, Tidak Ada Copet
Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul Sukses Jadi Atlet Anggar dan Kuliah di Jerman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.