Hal inilah yang akhirnya menyulut emosi Rusia untuk mengatakan “cukup!” dan “berhenti!” pada AS agar tidak melanjutkan ekspansinya yang ambisius lebih jauh lagi. Namun, bukannya berhenti, misi me-NATO-kan para tetangga Rusia terus berlanjut.
Tepat pada 2008, AS masih menutup mata terhadap realitas politik dunia yang anarki dan penuh kecurigaan tersebut. Di tahun tersebut, dalam summit NATO di Buchares, AS bersikeras untuk mengakusisi Ukraina dan Georgia ke dalam NATO meski Jerman dan Perancis menolak usulan tersebut karena menurut mereka itu merupakan langkah provokasi terhadap Rusia.
Akhirnya, pertemuan tersebut ditutup dengan keputusan yang deadlock. Namun rencana bergabungnya Georgia dan Ukraina untuk menjadi anggota tetap dideklarasikan. Maka tak aneh bila kemudian pada tahun yang sama, Rusia akhirnya menyerang Georgia.
Bukti tutup matanya AS yang lainnya terjadi tahun 2014. Pada tahun itu, Presiden Viktor Yanukovych yang merupakan Presiden Ukraina dan menjadi favorit Rusia karena kedekatannya dengan Putin digulingkan dari jabatannya sebagai presiden. Disinyalir penyingkirannya pun ada campur tangan AS di dalamnya.
Tak ayal Putin mengambil langkah agresif dengan menyerang Ukraina pada tahun tersebut.
Sepertinya Putin tidak mau Ukraina jatuh ke tangan pemimpin yang tidak bersahabat dengan Rusia. Itulah bukti utama betapa Ukraina menjadi teritori penting bagi strategi keamanan Rusia.
Sekali lagi, Rusia tidak senang hati bila tetangga wilayahnya secara langsung masuk ke dalam pengaruh AS, sebagaimana AS merasa terganggu saat Kuba dijadikan basis rudal oleh Soviet di masa perang dingin.
Negara-negara great power akan selalu waspada saat teritori tetangganya dijadikan basis militer pihak musuh. Inilah realita politik dunia yang seharusnya dipahami AS.
Jika dilihat dari perspektif realisme secara keseluruhan, rencana mewesternisasikan Ukraina dengan memasukannya ke dalam NATO, menyulut demokratisasi lewat revolusi oranye tahun 2004, atau menggabungkannya ke dalam Eastern Partnership Initiative oleh EU pada 2008, merupakan pola pikir arogan kaum liberal dalam memahami konteks dunia yang anarki.
Bagi neorealis seperti John Mersheimer, kengototan AS menyebarkan demokrasi ke seluruh pojok dunia dan memaksakannya ke setiap negara hanyalah upaya yang sia-sia.
Baca juga: NATO Mulai Latihan Nuklir 1.000 Km dari Perbatasan Rusia
Justru dengan memaksakan logika bahwa sistem demokrasi liberal adalah yang terbaik dibanding yang lain, secara tidak langsung hal itu telah menyerang keyakinan atas human nature kaum liberal sendiri untuk selalu toleran pada setiap perbedaan.
Lebih jauh mengenai hal ini Anda dapat berturut-turut menyaksikan seminar John Mearsheimer di Youtube yang dia sampaikan di Universitas Yale dengan judul The Roots of Liberal Hegemony, The False Promise of Liberal Hegemony, dan The Case for Restraint.
Di samping itu, menurut Mearsheimer, berkerasnya AS untuk merangkul Ukraina ke dalam NATO, padahal Ukraina bukanlah inti kepentingan strategis mereka, menunjukan kesalahan AS dalam merumuskan kebijakan luar negerinya.
Karena jika dilihat dari segi apapun, tidak ada kepentingan yang mendesak untuk menjadikan Ukraina sebagai anggota. Sekalipun Ukraina bergabung menjadi anggota NATO, itu akan sia-sia saja. NATO tidak akan berani mengambil langkah gegabah dengan memerangi Rusia dalam perang terbuka, alih-alih hanya proxy war belaka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.