Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perang Rusia-Ukraina Dalam Pandangan Seorang Neorealis John Mearsheimer

Mearsheimer merupakan imuwan politik Amerika Serikat (AS) dan seorang pakar hubungan internasional. Pandangan Mearsheimer dalam artikel itu sepenuhnya saya rangkum dari artikelnya yang terbit di majalah Foreign Affairs pada September-Oktober 2014 dengan judul “Why the Ukraine Crisis Is the West’s Fault: The Liberal Delusions That Provoked Putin”.

Meski tulisan itu sudah lama, tetapi keterkaitan antara fakta yang mendukung lahirnya peperangan saat ini dari artikel itu masih sangat relevan.

Fakta-fakta itu tentu menjadi penting dalam menjelaskan bukan hanya karena Rusia berhak berperang sebagaimana AS juga berperang dengan banyak negara lainnya, tetapi juga kebenaran di belakang itu semua.

Selama ini, seperti disampaikan Mearsheimer, ada anggapan di dunia Barat bahwa Putin memiliki mimpi untuk membangkitkan kembali imperium Soviet yang telah punah. Karena itu, menyerang Ukraina adalah pembenaran atas klaim tersebut.

Argumen yang seolah-olah menyalahkan Rusia itu yakin bahwa aneksasi Ukraina hanyalah titik pijak menuju pencaplokan wilayah yang lebih luas ke negara-negara Eropa Timur lainnya.

Pernyataan-pernyataan seperti itu hanyalah justifikasi sepihak musuh semata. Tidak ada bukti kuat bahwa Putin berambisi untuk membuat kembali kerajaan Soviet yang telah hancur.

Justru apa yang Putin lakukan di Ukraina saat ini merupakan langkah keamanan strategis terhadap ancaman langsung maupun tidak langsung terhadap Rusia. Bukan soal omong kosong yang tidak bisa dibuktikan. Karena itu, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan berdasarkan pandangan-pandangan Mearsheimer.

Kesalahan AS melihat realitas politik dunia

Perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, menurut John Mersheimer, 100 persen adalah karena kebodohan AS dalam melihat realitas politik internasional. Kondisi sturuktur politik yang ada adalah anarki. Sistem anarki, sebagaimana kita tahu, merupakan sebuah keadaan di mana tidak ada satu pun aktor atau sistem hukum yang berada di atas negara.

Kondisi itu bisa menyebabkan chaos yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Maka, di tengah dunia yang anarki perlu langkah dan rencana strategis yang hati-hati saat hendak mengambil keputusan yang krusial, apalagi terkait kebijakan luar negeri.

Adalah sebuah kedunguan jika AS dan sekutunya di Eropa, sejak runtuhnya Uni Soviet, setelah berakhirnya perang dingin, masih terus berupaya mengajak beberapa negara pecahan Soviet untuk bergabung ke dalam NATO (North Atlantic Treaty Organization/Pakta Pertahanan Atlantik Utara) dan EU (European Union/Uni Eropa).

Upaya NATO itu dimaksudkan untuk berjaga-jaga supaya pengaruh Soviet tidak kembali ke negara-negara Eropa. Tetapi itu adalah langkah gegabah.

Upaya menarik negara-negara pecahan Soviet itu sudah sejak lama dilakukan. Terhitung sejak tahun 1999, saat AS di bawah Presiden Clinton, pihak AS dan EU perlahan-lahan berhasil mengajak Polandia, Hungaria, dan Republik Ceko bergabung ke dalam NATO.

Dilanjutkan pada 2004 ketika mereka sukses memasukan Estonia, Romania, Latvia, Bulgaria, Slovenia, Lithuania, dan Slovakia ke dalam gerbong aliansi militer mereka.

Dengan bergabungnya negara-negara Eropa Timur ke dalam koalisi NATO-AS, hal itu pastinya memberikan rasa tidak aman bagi dominasi Rusia. Rusia merasa tidak nyaman dengan arogansi AS yang perlahan-lahan berdiri di depan pintu masuk wilayahnya.

Hal inilah yang akhirnya menyulut emosi Rusia untuk mengatakan “cukup!” dan “berhenti!” pada AS agar tidak melanjutkan ekspansinya yang ambisius lebih jauh lagi. Namun, bukannya berhenti, misi me-NATO-kan para tetangga Rusia terus berlanjut.

Tepat pada 2008, AS masih menutup mata terhadap realitas politik dunia yang anarki dan penuh kecurigaan tersebut. Di tahun tersebut, dalam summit NATO di Buchares, AS bersikeras untuk mengakusisi Ukraina dan Georgia ke dalam NATO meski Jerman dan Perancis menolak usulan tersebut karena menurut mereka itu merupakan langkah provokasi terhadap Rusia.

Akhirnya, pertemuan tersebut ditutup dengan keputusan yang deadlock. Namun rencana bergabungnya Georgia dan Ukraina untuk menjadi anggota tetap dideklarasikan. Maka tak aneh bila kemudian pada tahun yang sama, Rusia akhirnya menyerang Georgia.

Bukti tutup matanya AS yang lainnya terjadi tahun 2014. Pada tahun itu, Presiden Viktor Yanukovych yang merupakan Presiden Ukraina dan menjadi favorit Rusia karena kedekatannya dengan Putin digulingkan dari jabatannya sebagai presiden. Disinyalir penyingkirannya pun ada campur tangan AS di dalamnya.

Tak ayal Putin mengambil langkah agresif dengan menyerang Ukraina pada tahun tersebut.

Sepertinya Putin tidak mau Ukraina jatuh ke tangan pemimpin yang tidak bersahabat dengan Rusia. Itulah bukti utama betapa Ukraina menjadi teritori penting bagi strategi keamanan Rusia.

Sekali lagi, Rusia tidak senang hati bila tetangga wilayahnya secara langsung masuk ke dalam pengaruh AS, sebagaimana AS merasa terganggu saat Kuba dijadikan basis rudal oleh Soviet di masa perang dingin.

Negara-negara great power akan selalu waspada saat teritori tetangganya dijadikan basis militer pihak musuh. Inilah realita politik dunia yang seharusnya dipahami AS.

Arogansi kaum liberal

Jika dilihat dari perspektif realisme secara keseluruhan, rencana mewesternisasikan Ukraina dengan memasukannya ke dalam NATO, menyulut demokratisasi lewat revolusi oranye tahun 2004, atau menggabungkannya ke dalam Eastern Partnership Initiative oleh EU pada 2008, merupakan pola pikir arogan kaum liberal dalam memahami konteks dunia yang anarki.

Bagi neorealis seperti John Mersheimer, kengototan AS menyebarkan demokrasi ke seluruh pojok dunia dan memaksakannya ke setiap negara hanyalah upaya yang sia-sia.

Justru dengan memaksakan logika bahwa sistem demokrasi liberal adalah yang terbaik dibanding yang lain, secara tidak langsung hal itu telah menyerang keyakinan atas human nature kaum liberal sendiri untuk selalu toleran pada setiap perbedaan.

Lebih jauh mengenai hal ini Anda dapat berturut-turut menyaksikan seminar John Mearsheimer di Youtube yang dia sampaikan di Universitas Yale dengan judul The Roots of Liberal Hegemony, The False Promise of Liberal Hegemony, dan The Case for Restraint.

Resep kebijakan luar negeri yang salah

Di samping itu, menurut Mearsheimer, berkerasnya AS untuk merangkul Ukraina ke dalam NATO, padahal Ukraina bukanlah inti kepentingan strategis mereka, menunjukan kesalahan AS dalam merumuskan kebijakan luar negerinya.

Karena jika dilihat dari segi apapun, tidak ada kepentingan yang mendesak untuk menjadikan Ukraina sebagai anggota. Sekalipun Ukraina bergabung menjadi anggota NATO, itu akan sia-sia saja. NATO tidak akan berani mengambil langkah gegabah dengan memerangi Rusia dalam perang terbuka, alih-alih hanya proxy war belaka.

https://www.kompas.com/global/read/2022/11/03/123947870/perang-rusia-ukraina-dalam-pandangan-seorang-neorealis-john-mearsheimer

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke