Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Obat dari India Diduga Sebabkan Gagal Ginjal Akut di Gambia, Apakah Beredar di Indonesia?

Kompas.com - 17/10/2022, 19:31 WIB
BBC INDONESIA,
Bernadette Aderi Puspaningrum

Tim Redaksi

 

BANJUL, KOMPAS.com - Empat obat sirup produksi India diduga menjadi penyebab gagal ginjal akut yang menimbulkan kematian ratusan anak di Gambia karena mengandung etilen glikol

Bagaimana peredarannya di Indonesia?

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelumnya telah merilis peringatan ke seluruh dunia atas bahaya yang bisa ditimbulkan empat obat batuk sirup yang diproduksi Maiden Pharmaceuticals Limited, India.

Baca juga: Sirup Obat Batuk Buatan India Diduga Picu Kematian 66 Anak di Gambia

Obat-obat itu, menurut WHO, diduga terkait dengan penyakit gangguan ginjal akut dan kematian puluhan anak pada Juli, Agustus, dan September di Gambia.

Keempat obat sirup yang diproduksi oleh Maiden India tersebut adalah Promethazine Oral Solution, obat batuk sirup bayi Kofexmalin, obat batuk sirup Makoff, dan obat demam sirup Magrip N.

Pihak berwenang India sudah memerintahkan Maiden Pharmaceuticals Limited untuk menghentikan sementara produksi obat yang diduga memicu kematian puluhan anak di Gambia.

Menteri Kesehatan Negara Bagian Haryana, Anil Vij mengatakan hasil inspeksi di pabrik Maiden Pharmaceuticals menunjukkan sejumlah pelanggaran terhadap standar produksi obat.

Maiden Pharmaceuticals juga termasuk di antara hampir 40 perusahaan farmasi India yang masuk daftar hitam oleh Vietnam, karena mengekspor produk di bawah standar.WHO via BBC INDONESIA Maiden Pharmaceuticals juga termasuk di antara hampir 40 perusahaan farmasi India yang masuk daftar hitam oleh Vietnam, karena mengekspor produk di bawah standar.

Baca juga: 66 Anak-anak Meninggal di Gambia Diduga Terkait Penggunaan Obat Batuk Buatan India

Apa yang terjadi di Gambia?

Pekan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan terhadap empat merek sirup obat batuk yang disebut menyebabkan kerusakan ginjal akut, menyusul laporan dari Gambia tentang sejumlah anak yang didiagnosis dengan masalah ginjal serius.

Analisis laboratorium dari obat batuk sirup ini "mengonfirmasi bahwa obat itu memiliki kandungan dietilen glikol yang berlebihan dan etilen glikol sebagai kontaminan", menurut WHO.

Pihak berwenang India dan produsen sirup obat batuk, Maiden Pharmaceuticals, mengatakan sirup ini hanya diekspor ke Gambia.

Baca juga: India Hadapi Pandemi Kuman Super yang Kebal Antibiotik

Bagaimana di Indonesia?

Dalam siaran pers pada Senin (17/10), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan keempat produk yang ditarik di Gambia tersebut tidak terdaftar di Indonesia.

Hingga saat ini, produk dari produsen Maiden Pharmaceutical Ltd, India juga disebut tidak ada yang terdaftar di BPOM.

BPOM menyatakan bahwa telah menetapkan persyaratan pada saat registrasi bahwa semua produk obat sirup untuk anak maupun dewasa, tidak diperbolehkan menggunakan dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol (EG).

"Namun sebagai langkah kehati-hatian, BPOM juga sedang menelusuri kemungkinan kandungan DEG dan EG sebagai cemaran pada bahan lain yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan," sebut BPOM dilansir dari BBC Indonesia.

Lebih lanjut, badan pengawas ini akan melakukan langkah-langkah pengawasan intensif terhadap obat-obat terkait dan akan segera menyampaikan hasilnya kepada masyarakat.

Baca juga: POPULER GLOBAL: Warga Afghanistan Jual Anak dan Ginjal untuk Makan | AS Cari Bantuan ke Qatar Amankan Gas ke Eropa

BPOM pun mengimbau masyarakat agar membeli obat yang sudah mendapat izin edar dari BPOM.

"Masyarakat agar lebih waspada, menggunakan produk obat yang terdaftar di BPOM yang diperoleh dari sumber resmi, dan selalu ingat Cek KLIK (Cek Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kadaluarsa) sebelum mengonsumsi obat."

Belum diketahui apakah dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol (EG) merupakan penyebab kasus gangguan ginjal akut di Indonesia.

Kasus gangguan ginjal akut di Indonesia saat ini telah menyerang lebih 150 anak, sementara Kementerian Kesehatan telah menerbitkan panduan untuk menangani penyakit tersebut.

Ikatan Dokter Anak Indonesia, IDAI sampai Jumat (14/10) mencatat 152 anak terkena gangguan ginjal akut (AKI) dengan mayoritas berusia 1-5 tahun.

Baca juga: Pipa Amonia Meledak di Pabrik India, 55 Pekerja Sesak Napas dan Pingsan

Apa yang kita ketahui tentang produsen obat ini?

Maiden Pharmaceuticals mengeklaim pihaknya mematuhi standar kontrol kualitas yang diakui secara internasional.

Meski begitu, beberapa produknya gagal memenuhi standar kontrol kualitas tingkat nasional atau negara bagian di India.

Maiden Pharmaceuticals juga termasuk di antara hampir 40 perusahaan farmasi India yang masuk daftar hitam Vietnam, karena mengekspor produk di bawah standar.

Perusahaan, yang berbasis di negara bagian Haryana, mengatakan "terkejut" dengan kematian puluhan anak yang terjadi di Gambia dan telah "dengan rajin mengikuti protokol otoritas kesehatan", termasuk otoritas pengawas obat India dan negara bagian Haryana.

Akan tetapi, perusahaan tersebut menyatakan tak akan memberikan komentar lebih lanjut saat regulator masih melakukan pengujian.

Menteri kesehatan negara bagian Haryana, Anil Vij, mengatakan kepada BBC News bahwa sampel telah dikirim untuk pengujian dan jika sesuatu yang salah terdeteksi, tindakan akan diambil.

Baca juga: 10 Anak dan Remaja Pasien Leukimia di Yaman Meninggal karena Diberi Obat Kedaluwarsa

India adalah salah satu produsen obat-obatan global terbesar.

GETTY IMAGES via BBC INDONESIA India adalah salah satu produsen obat-obatan global terbesar.

 

Seberapa efektif kontrol kualitas di India?

India memproduksi sepertiga dari obat-obatan dunia, sebagian besar dalam bentuk obat generik.

Negara ini adalah pemasok utama ke negara-negara di Afrika, Amerika Latin dan negara-negara lain di Asia.

Pabrik manufakturnya diwajibkan untuk mematuhi standar kontrol kualitas yang ketat dan praktik produksi.

Tetapi perusahaan-perusahaan India banyak menuai kritik, bahkan larangan, dari regulator luar negeri seperti badan pengawas makanan dan obat-obatan AS (FDA) karena masalah kontrol kualitas di beberapa pabrik.

Salah satu analisis industri farmasi India menunjukkan kekurangan dana dari badan pengawas dan interpretasi peraturan yang lemah sebagai masalah utama, dengan kurangnya minat untuk memastikan standar kemurnian dipatuhi.

Baca juga: Ketika Rumah Sakit di Sri Lanka Kosong karena Kekurangan Obat dan Dokter...

Aktivis kesehatan masyarakat India Dinesh Thakur, juga menyoroti hukuman yang relatif ringan di negara Asia Selatan itu terkait pelanggaran melanggar standar kualitas. Dendanya hanya 242 dollar AS atau sekitar Rp3,7 juta dengan ancaman hukuman penjara hingga dua tahun.

Itu pun, kata dia, diterapkan ketika "seseorang dapat menunjukkan hubungan sebab akibat secara langsung antara obat dengan kematian, ini adalah norma hukumannya."

Selain itu, badan nasional yang mengatur obat-obatan di India, termasuk untuk vaksin, tidak sesuai dengan standar WHO.

"Ini dapat menyebabkan kontrol pengawasan yang tidak konsisten atas kegiatan manufaktur farmasi," kata Leena Menghaney, dari badan amal medis Médecins Sans Frontires (MSF).

Baca juga: Sri Lanka Kekurangan Obat-obatan, Dokter: Hukuman Mati untuk Rakyat

Haruskah pengujian dilakukan di Gambia?

Kementerian Kesehatan India di Delhi telah meluncurkan penyelidikan, tetapi menurut mereka, adalah "praktik biasa jika negara pengimpor menguji produk-produk impor ini... dan memastikan kualitasnya".

Akan tetapi, direktur eksekutif badan pengawas obat Gambia, Markieu Janneh Kaira, mengatakan pihaknya memprioritaskan pemeriksaan obat malaria, antibiotik dan obat penghilang rasa sakit, daripada sirup obat batuk.

BBC telah menghubungi badan tersebut untuk meminta klarifikasi, namun tidak mendapat respons.

Presiden Gambia Adama Barrow mengatakan "akan mencari akar masalah" yang menjadi penyebab tragedi tersebut, dan mengumumkan dibentuknya laboratorium nasional untuk memeriksa kualitas dan keamanan obat dan makanan.

Baca juga: Dokter Sri Lanka Terpaksa Bekerja Minim Listrik dan Obat akibat Krisis: Seperti Mimpi Buruk

Gambia akan "membangun perlindungan untuk menghilangkan impor obat-obatan di bawah standar", tambahnya.

MSF menginginkan negara-negara dengan kapasitas pengujian yang memadai untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah seperti Gambia.

"Ini bukan tentang tanggung jawab negara pengimpor saja," kata Menghaney.

Di Nigeria, Badan Pengawasan dan Pengawasan Obat dan Makanan Nasional sekarang meminta semua pengiriman impor obat-obatan untuk diurus oleh agen yang disetujui sebelum meninggalkan India.

 

 

 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com