Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sering Disangka "Baby Sitter", Perempuan Indonesia yang Nikah dengan WNA Ini Ingin Patahkan Stigma

Kompas.com - 17/10/2022, 14:02 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

Pandangan yang berakar dari sejarah penjajahan

Dosen pendidikan anak-anak, gender, dan seksualitas di Universitas Gadjah Mada Yulida Pangastuti mengatakan, stigma terhadap pernikahan campur sangat dipengaruhi nilai yang dianut masyarakat dalam masa penjajahan.

"Dari berbagai literatur, perempuan-perempuan pribumi sering dilihat dengan lensa hyper-sensualitas, menggunakan seksualitasnya untuk merayu laki-laki Eropa sebagai nyai, gundik, dan pekerja seks, semata-mata untuk kepentingan ekonomi," katanya.

"Sementara laki-laki asing, terutama yang berkulit putih, dianggap sebagai simbol kuasa yang memberikan keuntungan politik dan ekonomi."

Yulida melihat podcast tersebut sebagai inisiatif yang baik untuk menambah informasi seluk-beluk perkawinan campur.

"Banyak informasi yang dibahas dengan cara yang mudah dicerna dan dipahami oleh banyak pendengar, termasuk advokasi mengenai hak atas kewarganegaraan ganda bagi keluarga dari perkawinan campur," katanya.

Baca juga: Cerita WNI Sukses Bekerja di Amerika walau di Luar Bidang Studinya

Ia mengatakan, pembahasan mengenai perkawinan campur lebih banyak menyoroti kawin campur antara individu dan pergaulan kelas menengah, meski dalam kenyataannya pasangan dari kelas menengah ke bawah juga ada di masyarakat.

"Sebagai contoh, banyak pekerja migran Indonesia yang menikah atau berkeluarga dengan sesama pekerja migran dari negara lain," katanya.

"Anak-anak yang lahir dari perkawinan campur dari kelompok ini lebih banyak yang tidak memiliki akte kelahiran, mendapatkan akses bantuan-bantuan sosial ... dan (harus berhadapan dengan) proses dan syarat imigrasi yang kerap tidak ramah pada individu dari kelas menengah ke bawah."

Aspek lain yang menurutnya perlu diperhatikan adalah gender dan ras, di mana percakapan tentang perkawinan campur juga harus melibatkan laki-laki Indonesia dan mereka yang menikah dengan ras lain, yang dianggap tidak kelihatan.

Baca juga: Tak Hanya WNI, Ratusan Warga Asing Tertipu Lowongan Kerja di Kamboja, Ditawan Sindikat Penipuan Telekomunikasi

Lebih dari sekadar stigma

Namun, bukan hanya stigma yang dialami masyarakat perkawinan campur di Indonesia.

Melva mengatakan, PerCa selama ini sudah memperjuangkan kepentingan anggotanya di hadapan hukum, mulai dari izin tinggal, kewarganegaraan, sampai kepemilikan properti.

Beberapa terobosan dalam bidang hukum yang mereka lakukan antara lain dalam memberikan warga Indonesia hak mensponsori visa tinggal pasangan WNA dan hak bagi anak perkawinan campur yang lahir dari perempuan Indonesia untuk memiliki pilihan dua kewarganegaraan ketika menginjak usia 18 tahun.

"Ketika WNI menikah dengan WNA, masalah mereka bukan hanya dari sisi budaya, tapi juga kesenjangan sosial, agama, dan lain sebagainya," kata Melva.

Baca juga: 5 Kesalahpahaman tentang Indonesia yang Sering Didengar WNI di Australia

"Banyak sekali yang memang butuh penyesuaian atau penyelarasan."

Muntini Cooper yang sekarang tinggal di Perth menyetujui pernyataan ini.

"Ada yang lebih penting yang harus kita pikirkan, yaitu bagaimana kita memberikan anak sesuatu yang baik dari kedua negara ini," katanya.

"Jadi, hal seperti itu yang ada di pikiran kita daripada cuma sekadar (asumsi) bangga-bangga jadi istri bule," pungkasnya.

Baca juga: 2 WNI Ditangkap karena Racuni Merpati di Malaysia, Terancam Penjara 2 Tahun

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com