DOHA, KOMPAS.com - Qatar mendeportasi pekerja migran yang memprotes tentang gaji yang tidak dibayar, saat negara itu bersiap menjadi tuan rumah Piala Dunia Qatar 2022 sepak bola pada November.
Setidaknya 60 pekerja berunjuk rasa di luar kantor Al Bandary International Group di Doha pada 14 Agustus - beberapa dilaporkan belum dibayar selama tujuh bulan.
Sejumlah pengunjuk rasa ditahan dan beberapa dideportasi, meski tidak diketahui berapa jumlahnya menurut laporan BBC pada Selasa (23/8/2022).
Baca juga: Sosok “Pria yang Membeli London”, Miliarder Qatar di Balik Skandal Pangeran Charles
Pemerintah Qatar mengatakan mereka yang dideportasi telah "melanggar undang-undang keamanan".
Sejak resmi dinyatakan menjadi penyelenggara Piala Dunia Qatar 2022, pemerintahnya melakukan gelombang pembangunan stadion dan infrastruktur di seluruh negeri. Tapi pada saat yang sama perlakuannya terhadap pekerja migran dipertanyakan.
Perusahaan Al Bandary International Group sebagian besar merupakan perusahaan konstruksi dan teknik.
Tidak diketahui apakah para pekerja terlibat dalam persiapan Piala Dunia, dan panitia penyelenggara menolak berkomentar.
Namun dalam sebuah pernyataan kepada BBC, pemerintah Qatar mengonfirmasi bahwa sejumlah pekerja yang mengambil bagian dalam protes langka di Doha telah ditahan karena melanggar undang-undang keamanan publik.
Dipahami bahwa sebagian kecil dari mereka "yang gagal untuk tetap damai" menghadapi deportasi, dan kelompok hak asasi manusia mengatakan beberapa telah meninggalkan negara itu.
Pemerintah Qatar mengatakan akan membayar semua gaji dan tunjangan yang tertunda kepada para pekerja yang terkena dampak.
Pemerintah mengatakan kelompok Al Bandary sudah diselidiki karena tidak membayar pekerjanya, dan tindakan lebih lanjut sedang diambil setelah tenggat waktu untuk menyelesaikan pembayaran terlewatkan.
Kasus pekerja migran ini disorot oleh Equidem, sebuah organisasi hak asasi manusia yang mengkhususkan diri dalam hak-hak buruh.
Pemimpinnya, Mustafa Qadri, mengatakan kepada BBC: "Apakah kita semua telah ditipu oleh Qatar dan FIFA?
"Mereka memberi tahu kami bahwa tidak ada keraguan moral tentang penyelenggaraan Piala Dunia di Qatar, di negara yang masih menghukum orang karena mengutarakan pikiran mereka."
Para pekerja yang menggelar protes dilaporkan berasal dari Bangladesh, India, Nepal, Mesir dan Filipina, menurut Qadri.
Baca juga: Piala Dunia 2022: Kapan Digelar dan Mengapa Qatar Menjadi Tuan Rumah?
Qadri - yang telah berhubungan dengan beberapa pekerja - mengatakan beberapa petugas polisi mengatakan kepada para pengunjuk rasa bahwa, jika mereka dapat mogok dalam cuaca panas, maka mereka juga dapat tidur tanpa AC.
"Dapatkah Anda bayangkan betapa putus asanya para pekerja migran untuk menggelar protes ketika suhu mencapai 42 derajat Celsius? Mereka bukan aktor politik, mereka hanya ingin dibayar untuk kerja mereka," tambah Qadri.
Awal tahun ini, BBC Arabic melaporkan tuduhan bahwa Qatar tidak melaporkan jumlah pekerja migran yang meninggal karena serangan panas.
FIFA, organisasi untuk sepak bola internasional, awal tahun ini didesak untuk menyiapkan dana kompensasi setidaknya 440 juta dollar AS, untuk pekerja migran yang telah menderita "pelanggaran hak asasi manusia".
Seorang juru bicara komite penyelenggara Piala Dunia pemerintah menolak mengomentari protes Al Bandary. Grup Al Bandary tidak menanggapi permintaan komentar menurut laporan BBC.
Pemerintah Qatar mengatakan 96 persen pekerja yang memenuhi syarat di Qatar dilindungi oleh sistem perlindungan upah. Ini mewajibkan majikan untuk mentransfer semua upah melalui bank Qatar dalam waktu tujuh hari dari tanggal jatuh tempo mereka, dan kesenjangan dalam sistem sedang diidentifikasi.
Baca juga: Qatar: Negara Kecil yang Makin Kaya karena Perang di Ukraina