BOGOTA, KOMPAS.com - Pria ini menghabiskan 12 tahun masa mudanya di barisan kelompok gerilya perkotaan, terinspirasi jenderal revolusioner dari noval "Seratus Tahun Kesunyian" karya Gabriel Garcia Marquez.
Kemudian, ia menjabat sebagai wali kota progresif Bogota, ibu kota Kolombia, dan sebagai senator.
Tak berhenti sampai di situ, dua mencalonkan diri sebagai presiden dua kali, namun tidak berhasil karena tidak mampu mengatasi tembok konservatif yang didirikan hampir dua abad lalu di sekitar kepresidenan Kolombia.
Baca juga: Profil Gustavo Petro, Mantan Pemberontak yang Jadi Presiden Kolombia
Namun pada Minggu (19/6/2022), Gustavo Petro, 62 tahun, akhirnya mampu meruntuhkan tembok itu dan terpilih sebagai presiden.
Dia membuat sejarah sebagai kepala negara sayap kiri pertama di negara Amerika Selatan.
“Kami tidak akan mengkhianati pemilih yang telah meneriakkan sejarah,” kata Petro, dilansir dari Guardian, dalam pidato kemenangan yang disambut tepuk tangan meriah,
“Mulai hari ini Kolombia berubah,” pekiknya.
Perjalanan Petro dari jajaran gerakan gerilya M-19 ke istana presiden di Bogota juga termasuk penangkapan karena kepemilikan senjata saat masih muda.
Dia mengaku selamat dari penyiksaan. M-19 pun didemobilisasi pada tahun 1990, dengan beberapa anggotanya menandatangani konstitusi Kolombia saat ini.
Anggota lainnya tewas termasuk Carlos Pizarro, calon presiden Kolombia, pada tahun itu.
Baca juga: Gustavo Petro, Mantan Pejuang Gerilya Menang Pilpres Kolombia
Kemenangan Petro atas Rodolfo Hernandez, seorang maestro bisnis dan mantan wali kota Bucaramanga yang pernah menyebut Hitler sebagai "pemikir hebat Jerman", disambut dengan pesta di jalan-jalan dari para pendukung di seluruh negeri.
Dia akan menjabat pada awal Agustus mendatang.
“Petro memiliki visi yang sama sekali berbeda karena dia telah memusatkan perhatiannya pada orang-orang yang paling tidak terlindungi di negara ini,” kata Andres Felipe Barrero, yang memilih Peto.
“Dan itu termasuk orang-orang yang tinggal di lingkungan marginal di kota-kota besar Kolombia, serta komunitas kulit hitam dan pribumi,” tambah dia.
Baca juga: Pilpres Kolombia 2022: Duel Reformis Versus Pengusaha Eksentrik
Sebagai wali kota Bogota, ia memperoleh reputasi sebagai orang yang angkuh dan garang terhadap para pengkritiknya, sambil menerapkan program pengurangan dampak buruk bagi para tunawisma di kota itu, serta berupaya mereformasi pengelolaan sampah.