Para dokter dari daerah terpencil juga melaporkan bahwa mereka kehabisan persediaan obat-obatan dasar. Bahkan, obat dasar seperti parasetamol pun tidak tersedia untuk pasien dengan sakit parah yang telah menempuh 12 jam perjalanan demi berobat.
Di ibu kota Kabul, sebuah rumah sakit anak yang cukup besar juga menghadapi kasus-kasus kelaparan terburuk di negara itu. Rumah sakit itu mengalami over kapasitas, dengan jumlah pasien yang mencapai 150 persen.
Direktur rumah sakit tersebut, Dr Siddiqi mengatakan telah terjadi lonjakan kematian pada September, setelah pendanaan terhenti.
Setiap pekan, hingga empat anak berusia di bawah 10 tahun meninggal dunia akibat kekurangan gizi dan keracunan makanan yang tidak layak konsumsi.
Baca juga: Laporan 100 Hari Pertama Setelah Taliban Berkuasa di Afghanistan
Menurut dokter Siddiqi, mereka yang masih berusia sangat muda harus ikut menanggung beban akibat krisis. Sebagian besar anak berusia di bawah lima tahun terlambat untuk diselamatkan.
"Anak-anak itu sudah sekarat sebelum akhirnya dirawat. Kita kehilangan banyak anak dari kasus-kasus seperti ini," kata dia.
Sementara itu, anak-anak yang bisa mendapat perawatan tepat waktu pun ditangani dengan sumber daya yang sangat terbatas. Rumah sakit juga kekurangan makanan, obat-obatan, bahkan kesulitan untuk menjaga pasien tetap hangat.
Tidak ada bahan bakar untuk menyalakan pemanas sentral, sehingga dokter Siddiqi meminta para staf mengumpulkan ranting pohon yang kering untuk menyalakan perapian.
"Ketika kami selesai mengumpulkan ranting-ranting itu, kami kemudian mengkhawatirkan bagaimana keadaan bulan depan dan apa yang harus kami lakukan berikutnya."
Baca juga: Taliban Keluarkan Aturan Baru: Wanita Afghanistan Haram Main Drama TV
Pemadaman listrik rutin telah berakibat fatal bagi pasien di bangsal bersalin tempat dokter Nuri bertugas. Beberapa bayi prematur meninggal karena inkubator tidak berfungsi.
"Sangat menyedihkan melihat bayi-bayi itu sekarat di depan mata sendiri."
Pemadaman listrik juga dapat berakibat fatal bagi pasien yang sedang menjalani operasi.
"Suatu hari listrik padam ketika kami sedang mengoperasi pasien. Semuanya berhenti. Saya berlari dan berteriak minta tolong. Seseorang membawa bahan bakar di mobil mereka dan memberikannya kepada kami sehingga kami bisa menyalakan generator."
Jadi setiap operasi dilaksanakan, "Saya meminta orang-orang untuk sigap. Rasanya sangat stres."
Para staf dan petugas kesehatan harus bekerja dengan situasi yang sangat menantang itu, padahal sebagian besar dari mereka tidak digaji.
Direktur rumah sakit khusus Covid-19 di Provinsi Herat, dokter Rahmani, sempat memperlihatkan kepada BBC sebuah surat dari Kementerian Kesehatan yang dipimpin Taliban tertanggal 30 Oktober.
Melalui surat itu, para staf diminta tetap bekerja meski tidak digaji sampai ada dana.
Baca juga: Taliban Mulai Bayar Gaji Pegawai Pemerintah Afghanistan yang Tertunggak
Pada Selasa, Dokter Rahmani mengkonfirmasi bahwa rumah sakitnya sekarang terpaksa tutup karena dana yang dijanjikan tidak cair.