NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Kondisi Myanmar sekarang dihantui kelaparan di tengah ekonomi yang anjlok drastis dihantam ketidakstabilan politik dan pembatasan akibat Covid-19.
Seperti yang dilaporkan wartawan BBC Ko Ko Aung, sistem perbankan negara Myanmar sekarang juga berada di ambang kehancuran.
"Saya ikut antrean untuk menerima bubur dari kelompok penyantun. Saya menunggu lebih dari setengah jam, tapi habis sebelum giliran saya," kata Ma Wai seraya berlinang air mata.
Baca juga: Malaysia Kecewa Myanmar Tak Izinkan Utusan ASEAN Temui Aung San Suu Kyi
"Saya pulang dengan tangan kosong. Saya merasa sangat iba dengan putri saya yang berusia empat tahun," ungkapnya, seperti yang dilansir dari BBC Indonesia pada Selasa (5/10/2021).
Ma Wai (42 tahun) dari Monywa di wilayah tengah Myanmar, dulu bekerja sebagai tukang bersih-bersih dan pembantu rumah tangga sebuah keluarga kaya.
Namun, ketika kasus Covid-19 meledak pada Juli lalu, majikannya memintanya agar tidak bekerja karena pemerintah menyerukan semua orang tinggal di rumah.
Suaminya yang seorang pelukis juga menganggur lantaran pembatasan Covid-19 di Myanmar sekarang.
"Tidak lama berselang suami saya mencoba pergi bekerja. Saya menanak nasi buat makan siangnya, dari beras yang kami simpan untuk berjaga-jaga di masa-masa sulit," ujarnya.
"Namun serombongan tentara menghentikannya dan menyuruhnya pulang, jadi dia bahkan tak bisa bekerja."
Ma Wai dan suaminya sudah menganggur selama 7 bulan dan saat ini hanya mengandalkan bantuan makanan untuk menghidupi empat anaknya dan ibunya yang tinggal bersama mereka.
"Kadang-kadang, kami hanya makan sekali sehari," katanya. "Kami belum pernah mengalami kesulitan seperti sekarang."
Kondisi Myanmar sekarang diprediksi Bank Dunia bahwa ekonomi akan menyusut sebesar 18 persen tahun fiskal ini dan tingkat kemiskinan kemungkinan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada 2022.
Harga beras telah meningkat lebih dari 18 persen dan minyak nabati telah meningkat dua kali lipat dalam 12 bulan terakhir, menurut World Food Program.
Baca juga: Militer Myanmar Bertempur Sengit dengan Pemberontak, Warga Satu Kota Melarikan Diri
Di kota asal Ma Wai, yaitu Monywa, merupakan basis utama perlawanan terhadap kekuasaan militer. Banyak orang dari komunitasnya bergabung dalam unjuk rasa massal menentang kudeta militer pada 1 Februari.
"Ketika itu, tentara melepaskan tembakan ke arah lokasi lingkungan kami. Beberapa tetangga saya tewas dan sebagian lagi terluka diterjang peluru," katanya, mengenang.
Kondisi Myanmar sekarang semenjak kudeta, masih ada puluhan ribu pegawai negeri, seperti guru, pekerja kereta api, dokter, dan perawat, menolak bekerja untuk rezim militer.
Menurut Pemerintah Persatuan Nasional, yang dibentuk oleh anggota parlemen yang digulingkan, lebih dari 410.000 pegawai pemerintah Myanmar masih melakukan pemogokan.
Gerakan ini juga menyerukan aksi boikot terhadap segala sesuatu yang terkait rezim militer, mulai perbankan hingga kegiatan lotre yang disponsori negara, seperti bir dan rokok hingga telekomunikasi.
Tujuan mereka adalah menjauhkan rezim militer dari sumber pendapatan utama mereka.
Kondisi Myanmar sekarang juga masih diwarnai penolakan masyarakat untuk membayar tagihan listrik, yang menurut mereka akan masuk ke kantong militer.
Sanksi seperti ini dan sanksi publik lainnya terhadap bisnis yang dijalankan militer memiliki dampak luar biasa.