JAKARTA, KOMPAS.com – Target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia masih dianggap belum selaras dengan target Persetujuan Paris.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa.
NDC merupakan komitmen setiap negara pihak terhadap Kesepakatan Paris.
Baca juga: WMO: Banyak Terjadi Bencana Iklim, tapi Tingkat Kematian Lebih Sedikit
Dalam dokumen NDC, Indonesia menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan dukungan internasional yang memadai pada tahun 2030.
Oleh karena itu, Fabby menuturkan bahwa upaya untuk menurunkan emisi GRK harus dilakukan lebih ambisius untuk mencegah kenaikan suhu global melebihi 1,5 derajat Celcius.
Pasalnya, ketika suhu rata-rata bumi naik melampaui 1,5 derajat Celcius dampak cuaca ekstrem seperti hujan lebat, kekeringan, dan gelombang panas akan lebih sering terjadi.
Baca juga: Seruan Dekarbonisasi Sistem Energi Secepatnya Melalui IETD 2021
Bahkan, beberapa perubahan buruk akibat naiknya suhu bumi melampaui 1,5 derajat Celcius tidak bisa diperbaiki.
“Waktunya pendek dan perubahan yang dibutuhkan harus dilakukan saat ini juga,” ujar Fabby dalam konferensi pers dan peluncuran Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 pada Selasa (14/9/2021).
Dia menuturkan, bahan bakar fosil harus dikurangi sebanyak mungkin, dan beberapa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) terutama yang beremisi tinggi harus mulai ada yang dipensiunkan mulai saat ini.
“Proyek-proyek (PLTU) yang sudah kontrak tapi tidak bisa financial close atau tidak bisa konstruksi tahun ini, lebih baik dibatalkan saja,” tutur Fabby.
Baca juga: Biden Setujui Jutaan Hektar Lahan untuk Eksplorasi Migas, Kemunduran Perlawanan Perubahan Iklim
Dia menambahkan, seharusnya pemerintah bisa membatalkan proyek PLTU yang tak bisa financial close atau tidak bisa konstruksi tahun ini sembari meningkatkan energi terbarukan.
Sementara itu, Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC Profesor Edvin Aldrian mengatakan bahwa sektor energi adalah sektor terbesar penyumbang emisi GRK.
Sekitar 35 persen emisi GRK disumbang oleh energi, disusul 24 persen dari agrikultur dan kehtanan, lalu 21 persen dari industri, 14 persen dari transportasi, dan 6,4 persen dari bangunan.
“Yang paling parah terdampak perubahan iklim adalah kawasan kutub. Di Indonesia, curah hujan akan semakin lebih banyak,” ujar Edvin.
Edvin menyatakan, para ahli sepakat bahwa kenaikan suhu global dan perubahan iklim yang dihadapi dunia saat ini sangatlah serius.
Baca juga: Biden Setujui Jutaan Hektar Lahan untuk Eksplorasi Migas, Kemunduran Perlawanan Perubahan Iklim
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.