JAGHURI, KOMPAS.com - Seorang wartawan Afghanistan mengisahkan bagaimana dirinya menjadi target pembunuhan kelompok Taliban, sehingga dia memutuskan meninggalkan negerinya dan mengungsi hingga sampai ke Indonesia.
Beberapa hari setelah Taliban berkuasa kembali di Afghanistan, Sazawar Muhammad Musa, sang wartawan, sangat mengkhawatirkan keselamatan keluarganya di Distrik Jaghuri, Provinsi Ghazni.
"Saya aman di Indonesia, tapi saya sangat khawatir keluarga saya di Afghanistan," ungkap Musa, kelahiran 1981, yang pernah menjadi wartawan televisi lokal di Afghanistan.
Baca juga: Kisah Pasukan Elite Inggris SAS Selamatkan 20 Rekannya dari Kepungan Taliban di Gurun
Bersama sekitar 7.500 pengungsi Afghanistan di Indonesia, Musa menghabiskan bertahun-tahun hidup di Indonesia. Mereka terus menunggu permukiman permanen di negara ketiga.
Orang-orang Afghanistan ini, yang mendapat status pengungsi dan pencari suaka, tinggal di beberapa kota, seperti Jakarta, Bogor atau Makassar. Musa sendiri tinggal di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Mereka ditempatkan di rumah detensi ataupun penampungan, tetapi ada juga yang memilih tinggal di rumah sendiri.
Dihadapkan fakta bahwa kelompok Taliban, yang dulu menargetkannya untuk dibunuh, berkuasa kembali, Musa kini dipenuhi rasa khawatir dan takut.
"Taliban tidak akan berubah," akunya.
"Hanya Allah yang tahu bagaimana suasana hatiku seperti apa," tambah Musa.
Dia kesulitan menelepon mereka dalam dua pekan terakhir. "Jaringan telpon di sana rusak akibat bom," ungkapnya.
Di sisi lain, dia ingin mengetahui perkembangan terbaru dari Afghanistan, yang membuatnya semakin resah - termasuk suasana panik di Bandar Udara Kabul yang menjadi sorotan dunia.
"Teman-teman saya di sana, mereka sekarang bingung, mereka enggak tahu mau ke mana," ujarnya.
Sebagian teman-temannya sudah mengungsi ke negara tetangga, seperti Tajikistan, Iran atau Pakistan.
Baca juga: Kisah Hidup Wanita Afghanistan di Bawah Pemerintahan Taliban pada 1999
"Taliban itu tidak akan berubah, mereka mencari orang-orang yang bekerja sebagai wartawan, insinyur, dokter, orang-orang berpendidikan, hingga yang dengan pemerintah, atau LSM," katanya.
Sebelum ibu kota Kabul dikuasai Taliban, Musa mendapat informasi dari teman-temannya tentang tindakan Taliban yang "mencari" orang-orang yang dicurigai. Ini terjadi di daerah-daerah yang baru dikuasai mereka.
Peristiwa ini mengingatkan apa yang dialami pada 2013 ketika lokasi tempat tinggalnya di Distrik Jaghuri, Provinsi Ghazni, dikuasai Taliban. Dia saat itu sempat disekap oleh kelompok militan itu sebelum akhirnya kabur.
Ketika itu dia menjadi wartawan di sebuah stasiun televisi lokal, tetapi kemudian menjadi target pembunuhan oleh Taliban, lantaran mengkritik praktik kekejamannya. (Lihat kisah selengkapnya di boks khusus).
"Anda sebagai wartawan tahu kan, kita mengungkap fakta dengan jujur," kata Musa yang sudah menjadi wartawan selama 13 tahun.
Karena itulah, Musa tidak terlalu kaget ketika sebagian masyarakat Afghanistan memilih untuk meninggalkan negerinya demi menyelamatkan diri.
"Semua yang aku kenal, teman-teman saya, kabur semua," ungkapnya.
Namun diakuinya ada pula yang memilih tetap bertahan, yaitu "orang-orang biasa".
"Yaitu orang-orang biasa yang tidak kerja dengan pemerintah, walaupun mereka takut juga, tapi mereka tidak punya pilihan."
"Mungkin setelah ini banyak yang sampai Indonesia, karena Indonesia negara aman buat pengungsi," katanya.
Untuk sementara, mereka ingin menjauh dulu dari negerinya demi mencari tempat aman bagi kelangsungan hidupnya.
Organisasi-organisasi kemanusiaan memperkirakan krisis di Afghanistan ini mempunyai skala yang sama dengan krisis pengungsi Suriah.
Di sinilah, LSM yang menyebut dirinya SUAKA, menyerukan komunitas internasional untuk membuka pintu bagi rakyat Afghanistan yang melarikan diri demi keselamatannya.
Dia juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia agar mengambil tindakan, berdasarkan alasan kemanusiaan, membuka perbatasannya untuk mengakomodasi pengungsian dari Afghanistan.
"Sekaligus membangun layanan kemanusiaan yang komprehensif bagi mereka yang lolos dari konflik," tambahnya.
Dihubungi secara terpisah, Selasa (17/8/2021), Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, melalui pesan tertulis, mengatakan pihaknya "belum membahas soal tersebut" (pengungsi).