Dengan menggunakan rumus bisa dihitung bahwa tiga minggu sebelumnya terdapat sekitar 120.000 kasus infeksi yang berkontribusi pada kematian sekitar 1.000 jiwa. Padahal, ketika itu jumlah kasus yang dilaporkan pemerintah sebanyak 5.000-an kasus.
Perhitungan seperti itu, menurutnya masih tergolong rendah karena memakai angka yang minimal.
"Laporan kasus 54.000-an ini (per Rabu 14/7/2021) dalam realita di lapangan lebih dari 100.000 ya," ujar Dicky.
"Ini juga kita harus tahu rezim testing kita ini pasif, lebih banyak orang itu ke faskes baru dites. Sedangkan di masyarakat kan tes sendiri, bayar sendiri. Jadi sekarang jauh lebih banyak. Makanya kita jadi episenter bukan hanya Asia sebetulnya, tapi dunia," tambah Dicky.
Indonesia tengah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali selama 3-20 Juli serta di beberapa kabupaten di luar kedua pulau itu.
Luhut Pandjaitan mengatakan pemerintah telah menyiapkan skenario jika terjadi peningkatan kasus yang signifikan selama masa PPKM Darurat ini - mulai dari mengamankan stok vaksin 480,7 juta dosis, percepatan vaksinasi 1 juta per hari, menambah fasilitas medis dan rumah sakit darurat, hingga penambahan tenaga kesehatan.
Namun, epidemiolog Tri Yunis Miko Wahyono mengingatkan upaya pemerintah itu juga harus diimbangi partisipasi masyarakat yang tinggi selama PPKM darurat.
"Kalau partisipasi masyarakat kurang bagus, maka PPKM ini menjadi lama dan kalau lama kemudian masyarakatnya saya tidak tahu apakah (kasusnya) akan turun atau tidak."
Menghadapi skenario kasus terburuk itu, Miko menyarankan pemerintah dan masyarakat harus menyiapkan kemungkinan yang lebih ketat lagi dari PPKM Darurat yang kini tengah diterapkan.
Lockdown, kata dia, bisa menjadi pilihan.
Baca juga: UPDATE Covid-19 Dunia: Asia-Pasifik Terpukul Keras Lonjakan Besar, Sebagian Lockdown
"Saya menyarankan lockdown, artinya 100 persen tidak ada aktivitas apapun untuk menurunkan prevalensinya. Kalau tidak lockdown, akan landai, tapi tidak sebaik kalau lockdown," kata Miko.
Namun, bagi Miko, lockdown harus dipertimbangkan secara hati-hati karena sangat berdampak besar di sektor lain seperti ekonomi.
"Kalau melakukan lockdown, yang saya usulkan adalah peta indikator output kematian dan kesakitan dan berapa yang akan dicapai untuk tingkat kematian dan kesakitan," katanya.
Lalu harus ada peta yang memakai protokol kesehatan dan yang mematuhinya. Juga perlu ada indikator pada program penanggulangan Covid-19 dari test sampai treatment.
Tidak kalah penting lagi adalah negara harus bersepakat dengan ilmuwan dan pebisnis dalam menentukan indikator melakukan lockdown agar tidak sampai menimbulkan pukulan hebat di sektor ekonomi di tengah sudah banyaknya PHK.