Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jika Indonesia Jadi Episentrum Covid-19 Dunia, Apa Langkah Pemerintah Sebaiknya?

Kompas.com - 16/07/2021, 08:56 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

Sementara Dicky Budiman merekomendasikan penerapan lockdown selama seminggu dengan disertai peningkatan testing yang siginifikan.

Menurut dia, lockdown saja pun tidak signifikan menurunkan lonjakan kasus yang sudah sedemikian besar karena perlu disertai dengan pengetesan yang masif.

"Lockdown itu bukan strategi utama, namun sebatas penambah atau penguat untuk memberi kelonggaran waktu supaya fasilitas kesehatan tidak makin terbebani saat banyak orang dipaksa diam di rumah. Maka perlu ditambah pengetesan yang gencar untuk menurunkan setengah dari kebutuhan penyiapan di faskes, baik itu tempat tidur, ICU, hingga ventilator," ujar Dicky.

Dikatakannya, sudah ada contoh sukses di India sejak menambah pengetesan dari 1,5 juta menjadi 9 juta per hari bersamaan dengan pemberlakuan lockdown.

"Yang tadinya menyiapkan 13 kali tempat tidur, kini hanya menyiapkan lima kali. ICU dari 70 kali, menjadi 31 kali. Ventilator yang tadinya 37 kali, menjadi 16 kali. Itu karena peningkatan signifikan kapasitas testing yan ditingkatkan menjadi 9 juta sehari.

Sulit dirawat di Rumah Sakit

Di tengah persiapan pemerintah menerapkan skenario kasus terburuk, warga penderita Covid masih belum mendapat perawatan yang ideal karena fasilitas kesehatan yang sudah kewalahan.

Seperti yang dialami Sintya (48) dan keluarganya, warga Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Dia bersama suami dan dua anaknya tidak bisa mendapat layanan di rumah sakit rujukan sejak menderita Covid selama dua pekan karena banyak yang sudah penuh. Padahal suaminya, Ridwan Anwari, sudah menderita sakit berkategori sedang dengan saturasi oksigen di bawah normal.

Seorang berjalan di lingkungan yang menjadi zona merah Covid-19 di JakartaAFP VIA GETTY IMAGES via BBC INDONESIA Seorang berjalan di lingkungan yang menjadi zona merah Covid-19 di Jakarta
"Suami saya saturasi oksigennya sudah 92 persen. Sudah mendatangi beberapa rumah sakit baik lewat aplikasi Siranap maupun rujukan dari Puskesmas, namun setiba di sana IGD sudah penuh, bahkan suatu ketika terpaksa mengalah ke pasien lain yang saturasinya lebih rendah. Akhirnya kami terpaksa isolasi mandiri di rumah," ujar Sintya kepada BBC Indonesia.

Sedangkan beberapa tipe obat yang diberikan Puskesmas untuk suaminya berupa antivirus dan antibiotik sudah lama habis dan kini mereka hanya menerima obat-obatan umum seperti paracetamol dan vitamin.

"Kami akhirnya menggunakan layanan medis berbayar, perawatnya datang dua hari sekali dan dokter juga video call. Tapi bayar sendiri, termasuk obatnya, tidak di-cover BPJS. Dokternya juga menyarankan rontgen dan cek laboratorium. Itu kan biaya sendiri dan harganya buat saya mahal sekali," ujarnya.

Maka, Sintya berharap pemerintah menyediakan obat-obatan secara gratis kepada masyarakat yang menderita Covid, tidak saja yang untuk OTG (tanpa gejala) dan kategori ringan, namun juga berkategori sedang bagi suaminya.

Baca juga: Daftar 10 Negara yang Larang Kedatangan dari Indonesia, Beberapa Evakuasi Warganya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Sepak Terjang Alexei Navalny, Pemimpin Oposisi Rusia yang Tewas di Penjara

Sepak Terjang Alexei Navalny, Pemimpin Oposisi Rusia yang Tewas di Penjara

Internasional
Bendungan Runtuh Akibat Hujan Lebat di Kenya Barat, 40 Orang Tewas

Bendungan Runtuh Akibat Hujan Lebat di Kenya Barat, 40 Orang Tewas

Global
3 Wanita Mengidap HIV Setelah Prosedur 'Facial Vampir' di New Mexico

3 Wanita Mengidap HIV Setelah Prosedur "Facial Vampir" di New Mexico

Global
Hamas Luncurkan Roket ke Israel dari Lebanon

Hamas Luncurkan Roket ke Israel dari Lebanon

Global
PM Singapura Lee Hsien Loong Puji Jokowi: Kontribusinya Besar Bagi Kawasan

PM Singapura Lee Hsien Loong Puji Jokowi: Kontribusinya Besar Bagi Kawasan

Global
Sejak Apartheid Dihapuskan dari Afrika Selatan, Apa Yang Berubah?

Sejak Apartheid Dihapuskan dari Afrika Selatan, Apa Yang Berubah?

Internasional
Dubai Mulai Bangun Terminal Terbesar Dunia di Bandara Al Maktoum

Dubai Mulai Bangun Terminal Terbesar Dunia di Bandara Al Maktoum

Global
Punggung Basah dan Kepala Pusing, Pelajar Filipina Menderita akibat Panas Ekstrem

Punggung Basah dan Kepala Pusing, Pelajar Filipina Menderita akibat Panas Ekstrem

Global
Anak Muda Korsel Mengaku Siap Perang jika Diserang Korut

Anak Muda Korsel Mengaku Siap Perang jika Diserang Korut

Global
Demonstran Pro-Palestina di UCLA Bentrok dengan Pendukung Israel

Demonstran Pro-Palestina di UCLA Bentrok dengan Pendukung Israel

Global
Sepak Terjang Subhash Kapoor Selundupkan Artefak Asia Tenggara ke New York

Sepak Terjang Subhash Kapoor Selundupkan Artefak Asia Tenggara ke New York

Global
Penyebab Kenapa Menyingkirkan Bom yang Belum Meledak di Gaza Butuh Waktu Bertahun-tahun

Penyebab Kenapa Menyingkirkan Bom yang Belum Meledak di Gaza Butuh Waktu Bertahun-tahun

Global
30 Tahun Setelah Politik Apartheid di Afrika Selatan Berakhir

30 Tahun Setelah Politik Apartheid di Afrika Selatan Berakhir

Internasional
Rangkuman Hari Ke-795 Serangan Rusia ke Ukraina: Buruknya Situasi Garis Depan | Desa Dekat Avdiivka Lepas

Rangkuman Hari Ke-795 Serangan Rusia ke Ukraina: Buruknya Situasi Garis Depan | Desa Dekat Avdiivka Lepas

Global
Dubai Mulai Bangun Terminal Terbesar Dunia di Bandara Al Maktoum

Dubai Mulai Bangun Terminal Terbesar Dunia di Bandara Al Maktoum

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com