Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dokter Residen India, Putuskan Hidup-Mati Pasien dalam Tugas Jaga Mencekam

Kompas.com - 06/05/2021, 08:40 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

NEW DELHI, KOMPAS.com - Rohan Aggarwal berusia 26 tahun, dan bahkan belum menyelesaikan pelatihan medisnya sampai tahun depan.

Namun di salah satu rumah sakit terbaik di India, dia menjadi salah satu dokter residen yang harus memutuskan siapa yang akan hidup dan siapa yang akan mati.

Terutama ketika pasien datang kepadanya dengan terengah-engah, sementara anggota keluarga pasien memohon belas kasihan.

Baca juga: [POPULER GLOBAL] Masalah Besar di Covid-19 India | Medsos Baru Trump

Ketika sistem perawatan kesehatan India terhuyung-huyung di ambang kehancuran selama gelombang kedua yang brutal karena virus corona baru, Aggarwal membuat keputusan itu selama 27 jam kerja.

Semua orang (pasien, kerabat dan staf) di Rumah Sakit Holy Family, tahu bahwa tidak ada tempat tidur, oksigen atau ventilator dalam jumlah yang cukup, untuk menjaga semua orang yang tiba di gerbang depan rumah sakit tetap hidup.

"Siapa yang akan diselamatkan, siapa yang tidak diselamatkan harus ditentukan oleh Tuhan," kata Aggarwal.

"Kami tidak diciptakan untuk itu, kami hanyalah manusia. Tetapi pada saat ini, kami dibuat untuk melakukan ini."

India telah melaporkan rekor global lebih dari 300.000 kasus harian selama dua minggu terakhir. Menurut para ahli angka itu hampir pasti konservatif.

Di ibu kota, tidak sampai 20 tempat tidur ICU Covid-19 tersedia gratis dalam satu waktu, dari total kapasitas lebih dari 5.000.

Pasien bergegas dari rumah sakit ke rumah sakit, meninggal di jalan atau di rumah.

Sementara truk oksigen bergerak di bawah penjagaan bersenjata ke fasilitas dengan stok sangat rendah. Krematorium bekerja sepanjang waktu, mengeluarkan asap saat jenazah korban tiba setiap beberapa menit.

Aggarwal mengaku khawatir apa yang akan terjadi jika dia terinfeksi juga. Sebab dia paham betul rumah sakitnya sendiri tidak mungkin menemukannya tempat tidur.

Baca juga: WHO: India Sumbang 46 Persen Kasus Baru Covid-19 di Dunia

Melalui shift maratonnya Aggarwal, Reuters melaporkan salah satu kondisi paling komprehensif dari rumah sakit, yang kewalahan selama gelombang kedua Covid-19 India.

Pria 26 tahun itu tidak divaksin. Pada Januari ketika suntikan untuk profesional medis sedang dilakukan dia sakit. Kemudian pada Februari, dia mengaku mulai tidak khawatir dengan pandemi.

"Kami semua salah paham bahwa virus itu telah hilang," katanya.

Putaran pagi

Aggarwal memulai giliran jaga sekitar jam 9 pagi. Empat mayat telihat tergeletak di salah satu area di mana staf seharusnya melepas peralatan pelindung mereka.

Di ruang gawat darurat, kondisinya semakin sempit. Pasien dan kerabat memadati setiap ruang yang tersedia. Banyak yang tidak mengenakan pelindung, atau hanya masker kain sederhana.

Dokter dan perawat juga telah berhenti memakai peralatan pelindung lengkap, itu terlalu sulit digunakan dalam kondisi saat itu.

Tempat tidur pasien rapat, sehingga pasien dapat saling bersentuhan. Seorang pria bahkan terbaring di tempat penyimpanan yang dikelilingi oleh sampah limbah medis, seorang kerabat menyeret tabung oksigen baru saat seseorang kehabisan.

Dalam keadaan normal, Holy Family adalah salah satu rumah sakit terbaik di negara ini, sampai menarik pasien dari seluruh dunia, dan masih demikian.

Setidaknya kondisinya sedikit lebih baik dari kondisi di rumah sakit pemerintah, di mana pasien berbaring di tempat tidur, atau meninggal di luar rumah sakit di bawah terik matahari.

Namun Holy Family juga sudah sangat putus asa. Rumah sakit yang biasanya berkapasitas 275 orang dewasa ini, saat ini merawat 385 orang.

Ada tanda yang dipasang di luar menunjukkan jumlah tempat tidur umum dan perawatan intensif Covid-19 yang tersedia. Jumlahnya tetap sama seperti selama berminggu-minggu: Nol.

Baca juga: Dua Positif Covid-19, Delegasi India di KTT G-7 Inggris Isolasi Mandiri

Memimpin UGD, yang biasa dipenuhi kasus patah tulang dan batuk serta pilek, biasanya merupakan tugas yang relatif sederhana.

Jadi tugas itu diserahkan kepada dokter yang lebih junior. Sementara konsultan senior dan spesialis bekerja di ICU, di mana kasus-kasus serius meningkat dengan cepat.

Tapi sistem itu, sudah lama rusak. Dokter yang bertugas di UGD sekarang menjadi salah satu yang punya peran paling kritis di rumah sakit.

SebelumAggarwal memulai gilirannya di UGD, dia terlebih dahulu melakukan putaran di bangsal Covid-19 umum. Bersama dengan seorang rekan senior, dia bertanggung jawab atas 65 pasien.

Itu memberinya waktu maksimal tiga hingga empat menit untuk melihat masing-masing pasien, sebelum keadaan darurat apa pun bisa terjadi dengan tiba-tiba.

Dia memasuki menit akhir pemeriksaan kelilingnya ketika menerima panggilan darurat, salah satu pasiennya gawat.

Dia berlari menuruni tangga dan menyusuri koridor yang remang-remang menuju Kamar 323, di mana seorang pria tua hampir tidak sadar.

Baca juga: Masalah Ini Buat Perjuangan Melawan Covid-19 di India Makin Sulit

Berebut tempat

"Kondisinya menurun," Aggarwal menjelaskan kepada putra pria itu. Putranya duduk dengan kepala di tangan, sementara di ICU ruang coba dibuat untuk pasien itu.

Pasien ini termasuk salah satu yang beruntung. Dia sudah dirawat di bangsal Covid-19, tidak seperti mereka yang memohon untuk masuk, sehingga memiliki akses ke perawatan intensif.

"Mereka (ICU) tidak memiliki tempat tidur, tetapi mereka harus mengatasinya," kata Aggarwal.

Seorang penjaga keamanan, Mahendar Baisoyar, ditempatkan di luar pintu ruang gawat darurat. Mereka harus memastikan kerabat tidak mencoba mengamankan tempat tidur "dengan paksa."

Bulan lalu, kerabat di rumah sakit lain di ibu kota menyerang staf dengan pisau setelah seorang pasien meninggal.

Pengadilan tinggi negara bagian kota telah memperingatkan bahwa lebih banyak masalah hukum dan ketertiban di rumah sakit mungkin terjadi, jika kekurangan terus berlanjut.

Seperti banyak rumah sakit di Delhi, Holy Family telah menggunakan Twitter untuk memohon bantuan kepada politisi negara bagian dan federal untuk mengamankan oksigen.

Duduk lemas di belakang mobil, Vijay Gupta yang berusia 62 tahun, adalah salah satu pasien yang ditolak. Keluarga dan teman-temannya memperdebatkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

"Kami telah berkeliaran sejak pukul 6 pagi untuk mencari tempat tidur," kata teman Gupta, Rajkumar Khandelwal.

"Kemana kita akan pergi?" Khandelwal bertanya pada putra Gupta tanpa daya, sebelum mereka pergi untuk mencoba rumah sakit lain.

Orang lain di UGD sangat sakit sehingga sangat membutuhkan ventilator. Jadi Aggarwal memohon kepada keluarga untuk mencari di tempat lain lagi. 

Baca juga: Bayi Positif Covid-19 di India Meninggal Setelah Ditelantarkan Orangtua yang Takut Tertular

Istirahat Singkat

Pada saat putaran paginya berakhir setelah sekitar tiga jam, mata Aggarwal sudah memerah karena kelelahan.

Tidak peduli di mana Aggarwal berada, dia mendengar suara monitor detak jantung saat dia mencoba untuk tidur. Istirahat singkatnya dilalui dengan gelisah karena panggilan darurat pasien terus terdengar.

Tetapi di luar itu, kabar tentang mereka yang tergeletak di rumahnya sendiri terlintas di pikirannya. Jadi sulit baginya, melupakan kematian di bawah asuhannya, bukan karena kurangnya usaha tetapi kurangnya sumber daya.

Aggarwal biasanya makan siang di rumah sakit, tetapi pada hari ini, suara yang dia sebut "kebisingan ICU", terlalu berat untuk ditanggungnya.

Dia menemukan ketenangan di toko 24 jam terdekat, dengan AC yang kuat, sereal impor dan Selena Gomez bermain lembut di stereo di dalam toko.

"Benar-benar suasana yang menyedihkan," katanya tentang rumah sakit itu sambil makan dari sekotak biryani yang bisa dibawa pulang.

"Saya hanya ingin istirahat sekitar satu jam di luar rumah sakit. Jadi saya dapat mengingat kembali jati diri saya, karena saya harus berada di sana selama 24 jam lagi."

Seperti banyak anak muda India, dia masih tinggal bersama orang tuanya, dan terus-menerus mengkhawatirkan keselamatan mereka.

Aggarwal dulu mengurung dirinya sendiri di apartemennya di lantai pertama, tapi ibunya punya ide lain.

"Saya biasa pergi dan melihat mereka setiap 10 hari atau dua minggu. Tapi ibu saya ingin makan bersama saya, dia tidak bisa jauh dari saya," katanya.

Baca juga: Kematian akibat Covid-19 di India Bisa Berlipat Ganda Beberapa Pekan ke Depan

Keputusan darurat

Beberapa saat sebelum jam 3 sore, Aggarwal kembali untuk shiftnya di ruang gawat darurat. Dia duduk di belakang meja saat keluarga pasien mengerumuninya, memohon masuk.

Dia membuat proses pengambilan keputusan terdengar sederhana.

"Jika seorang pasien demam, dan saya tahu dia sakit tetapi tidak membutuhkan oksigen, saya tidak bisa menerimanya," katanya.

"Itulah kriterianya. Orang-orang sekarat di jalanan tanpa oksigen. Jadi, orang-orang yang tidak membutuhkan oksigen, meskipun mereka sakit, biasanya tidak kami terima."

Itu satu pilihan.

“Pilihan lain adalah saya memiliki seorang lelaki tua dan saya memiliki seorang lelaki muda. Keduanya membutuhkan oksigen aliran tinggi; Saya hanya memiliki satu tempat tidur di ICU. Saya tidak bisa emosional pada saat itu. Yang muda harus diselamatkan."

Dia mulai berkeliling UGD, sikapnya tegas. Dia hampir tidak melihat pasien yang duduk dan sadar.

"Apakah dia akan pulih?" salah satu kerabat bertanya saat Aggarwal melihat ke foto rontgen pasien.

"Saya akan mencoba yang terbaik, tetapi saya tidak bisa menjanjikan apa pun," jawabnya, lalu beralih ke pasien berikutnya.

Baca juga: Kematian akibat Covid-19 di India Bisa Berlipat Ganda Beberapa Pekan ke Depan

Seorang wanita, Pratibha Rohilla, mengeluh dan memegangi masker oksigennya. Putranya, Aditya, tampak marah saat pasien lain dipindahkan ke bangsal. Dia mencoba berdebat dengan perawat.

"Saya mengerti, tapi tidak ada satu tempat tidur pun di sana," jawab perawat. Pernyataan itu dikatakan hampir setiap orang di ruang gawat darurat, hanya beberapa menit setelah bertemu dengan siapa pun.

"Kami telah mencoba 15, 20 rumah sakit," kata kerabat lainnya.

Seorang wanita, Karuna Vadhera, 74 tahun, dalam kondisi kritis. Aggarwal dengan lembut memeriksa mata pasiennya untuk menguji resistensi.

Hasilnya nihil, kepalanya terkulai, kadar oksigen sangat rendah.

"Dia mungkin mati kapan saja," katanya kepada keponakan pasien, Pulkit, dan memintanya memindahkan kerabatnya ke rumah sakit dengan tempat tidur ICU gratis.

"Kami memiliki lima anggota keluarga di berbagai bagian Delhi yang masing-masing mencoba," balas Pulkit, teleponnya nyaris tidak lepas dari telinganya. "Tidak ada yang menemukan tempat tidur."

Baca juga: Akun Resmi Partai Komunis China Bandingkan Peluncuran Roket dengan Kremasi Massal India

Tak tertolong

Aggarwal menghabiskan malam melawan keadaan darurat yang masih terus-menerus berlangsung di bangsal. Tiga dari pasiennya meninggal, termasuk seorang wanita muda.

Saat membantu di ICU, Aggarwal bertemu dengan seorang rekan senior. Kedua ayah mereka sakit, dan baru saja sembuh.

Mereka berbagi lelucon pribadi, dan Aggarwal menyadari ini adalah pertama kalinya dia tertawa dalam beberapa minggu.

Dia baru bisa mencuri waktu untuk tidur di ruang istirahat UGD sekitar pukul 5 pagi.

Pada saat dia muncul beberapa jam kemudian dengan mata berkaca-kaca. Tapi Vadhera, wanita yang lebih tua, yang tidak mendapatkan tempat tidur di ICU, telah meninggal.

Keponakannya Pulkit berdiri saat tubuhnya, dibungkus kain kafan putih, dimasukkan ke dalam ambulans untuk kremasi.

Rohilla, wanita yang putranya telah mencoba 15 hingga 20 rumah sakit sebelum Holy Family, akan menggantikan posisinya di sudut ruang gawat darurat yang sedikit lebih sempit, meskipun dia juga harus berada di ICU.

Akhirnya, setelah 27 jam, giliran kerjanya berakhir. Kelelahan membuatnya ingin tidur sepanjang sisa hari itu, dan pada hari berikutnya juga.

Tetapi dia memiliki satu pekerjaan terakhir, Ayah seorang temannya sakit, dan dia meminta bantuan Aggarwal.

Ini adalah salah satu dari banyak panggilan telepon yang dia terima setiap hari. Sembilan dari 10 panggilan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan, tidak peduli seberapa dicintai atau bersikeras si penelepon, Aggarwal memperlakukannya dengan sama.

Jadi dia memakai maskernya lagi, dan kembali ke dalam rumah sakit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com