BEIJING, KOMPAS.com - Seorang mantan bankir perusahaan penjaga aset pemerintah China dihukum mati, setelah dia terbukti korupsi dan menerima suap Rp 3,6 triliun, serta punya dua istri.
Lai Xiaomin, mantan anggota Partai Komunis China, memberikan pengakuan dalam tayangan televisi milik negara CCTV di Januari 2020.
Saat itu, dia membeirkan pengakuan dengan foto yang memerlihatkan lembari penyimpanan dan brankas penuh berisi uang di apartemen di Beijing.
Baca juga: Pejabat China yang Korup Ditangkap dengan 13 Ton Emas Batangan Bernilai Rp 9 Triliun
Pengadilan di Tianjin menyatakan, Lai secara gamblang manyalahgunakan posisinya demi mendapatkan keuntungan besar, dan menyebut korupsi yang dilakukanya sangat serius.
Berdasarkan keterangan pengadilan, Lai Xiaomin menunjukkan "niat kejahatan yang sangat serius" dengan keputusannya menerima suap dan korupsi.
Selain itu, mantan ketua Huarong Asset Management Co itu diketahui mempunyai dua istri, di mana dia juga mempunyai anak yang tak sah secara hukum.
Huarong merupakan satu dari empat perusahaan yang didirikan pada 1999 untuk membantu membersihkan utang yang membelit perbankan China.
Dilansir AFP Selasa (5/1/2021), kini perusahaan tersebut melakukan ekspansi usaha dengan fokus kepada pinjaman, investasi, dan bisnis properti.
Kejatuhan Lai dimulai pada Aoril 2018, setelah penyidik tak hanya mencabutnya dari pekerjaannya, namun juga mencopotnya dari keanggotaan partai.
Baca juga: 30 Pejabat China Dihukum atas Kecelakaan Ledakan Kapal Tanker
Dia juga disebut menggunakan posisinya untuk mencuri dana publik sebesar 25 juta yuan (Rp 53,8 miliar) sepanjang 2009 sampai 2018.
Saat membuat pengakuan di TV, Lai menuturkan dia menyimpan semua uang hasil kejahatannya. "Saya tak membelanjakannya sepeser pun," ungkapnya.
Dia menyebut apartemennya sebagai supermarket, karena dia rutin berkunjung ke sana untuk sekadar menyimpan uang hasil korupsinya.
CCTV melaporkan bagaimana Lai, yang sempat bekerja di Komisi Regulator Perbankan China, menerima suap berbentuk mobil mewah dan emas batangan.
Media itu bahkan menyiarkan wawancara dengan pelaku yang mengakui perbuatannya bahkan sebelum mereka dihadapkan pada pengadilan.
Baca juga: Pejabat China Unggah Foto Tentara Australia Acungkan Pisau ke Leher Bocah, Ternyata Palsu
Langkah itu sering dikritik pengacara maupun organisasi HAM karena memaksa seseorang untuk mengakui sesuatu dalam tekanan.