Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gunung Everest Tiba-tiba Tambah Tinggi, Kok Bisa?

Kompas.com - 08/12/2020, 21:24 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum,
Aditya Jaya Iswara

Tim Redaksi

Sumber AFP

KATHMANDU, KOMPAS.com - Titik tertinggi di Bumi berubah menjadi sedikit lebih tinggi setelah China dan Nepal menyetujui ketinggian baru Gunung Everest.

Hal itu diumumkan pada konferensi pers bersama di Kathmandu pada hari Selasa (08/12/20) seperti dilansir AFP.

Setelah beberapa dekade perdebatan, disepakati titik tertinggi di Bumi ini menjadi 8.848,86 meter (29.031 kaki). Artinya ada penambahan 86 sentimeter (2,8 kaki) lebih tinggi dari ukuran yang sebelumnya diakui oleh Nepal, dan lebih dari empat meter di atas angka resmi China.

Perbedaan itu terjadi karena China mengukur dari pangkalan batu di puncak. Sementara pengukuran terbaru dilakukan dari selubung salju dan es di puncak.

Baca juga: Mikroplastik Ditemukan di Dekat Puncak Gunung Everest

Angka ketinggian berubah-ubah

Pada 1856, ahli geografi kolonial Inggris pertama kali menggunakan trigonometri ratusan mil jauhnya di dataran India untuk menentukan ketinggian Everest. Tercatat ketinggian saat itu berada pada 8.840 meter (29.002 kaki) di atas permukaan laut.

Setelah Edmund Hillary dan Tenzing Norgay Sherpa pertama kali mencapai puncak Everest pada 29 Mei 1953, survei India menyesuaikan ketinggian menjadi 8.848 meter (29.028 kaki).

Pengukuran itu diterima secara luas. Angka tersebut memikat tidak hanya bagi pendaki gunung yang ambisius, tetapi juga menginspirasi nama-nama label pakaian petualangan, restoran, dan bahkan vodka.

Pada 1999, US National Geographic Society menyimpulkan bahwa titik tertinggi di dunia berada pada ketinggian 8.850 meter (29.035 kaki). Tetapi Nepal tidak pernah secara resmi mengakui ketinggian baru ini, meskipun dikutip secara luas.

Sementara China melakukan beberapa survei, dan pada tahun 2005 muncul ukuran 8.844,43 meter (29.015 kaki).

Perbedaan tersebut memicu perselisihan dengan Nepal yang baru diselesaikan pada tahun 2010.

Kathmandu dan Beijing saat itu sepakat bahwa pengukuran mereka mengacu pada hal-hal yang berbeda. Di mana yang satu mengukur pada ketinggian batuan Everest dan yang lainnya pada ketinggian lapisan salju.

Baca juga: Puncak Gunung Everest Tempat Sampah Tertinggi di Dunia

Pengaruh lempeng tektonik

Awalnya, Nepal memutuskan untuk melakukan survei secara mandiri. Pasalnya ada dugaan bahwa pergerakan lempeng tektonik termasuk gempa bumi besar pada tahun 2015 mungkin telah mempengaruhi ketinggian.

Sekitar 300 ahli dan surveyor Nepal terlibat dalam latihan ini. Beberapa berjalan kaki, sementara yang lain menggunakan helikopter untuk mencapai stasiun pengumpulan data.

Musim semi lalu, surveyor Nepal mencapai puncak Everest dengan lebih dari 40 kilogram (90 pon) peralatan, termasuk penerima Sistem Navigasi Satelit Global (GNSS).

Mereka menghabiskan kira-kira dua jam untuk mengumpulkan data saat lusinan pendaki berdiri di atas gunung.

"Mendaki Everest sendirian adalah tugas yang menantang. Tetapi kami juga harus mengukurnya," kata Khim Lal Gautam, seorang pejabat Departemen Survei yang kehilangan jari kaki karena radang dingin dalam ekspedisi tersebut, kepada AFP.

Baca juga: Gunung Everest Akan Buka Kembali untuk Pendakian

Keterlibatan China

Nepal seharusnya merilis hasil ekspedisi tersebut awal tahun ini. Tetapi kemudian China terlibat setelah Presiden China Xi Jinping mengunjungi Nepal pada Oktober 2019.

Tahun ini, ekspedisi survei China memiliki ruang kerja yang lebih tenang di puncak. Mereka adalah satu-satunya pendaki di gunung yang terpaksa ditutup karena pandemi Covid-19.

Kepada media pemerintah China CCTV, Dang Yamin seorang ahli di Biro Survei dan Pemetaan Nasional mengatakan, hasil akhir adalah nilai rata-rata antara pengukuran yang dilakukan oleh Nepal dan China, sesuai dengan aturan ilmiah.

"Ketinggian akhir disimpulkan setelah kedua belah pihak bersama-sama berbagi dan memproses data secara virtual," kata Damodar Dhakal, juru bicara Departemen Survei Nepal.

Baca juga: Dataran Tinggi Tibet Ternyata Pernah Punya Hutan Subtropis, Ini Buktinya...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com