Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ratapan Komunitas Penganut Mormon Setelah 3 Ibu dan Anak-anaknya Dibunuh di Gurun

Kompas.com - 15/11/2020, 12:55 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Pada 2019, tiga perempuan penganut Mormon dan enam anak mereka dibunuh di Gurun Sonora, Meksiko. Apa yang terjadi pada keluarga yang ditinggalkan dan bagaimana pencarian mereka untuk keadilan.

"Kami datang ke sini untuk meninggalkan semuanya. Dan tiada yang pernah menganggu kami," kata Kenny Miller berbicara dengan logat Amerika Serikat (AS) bagian selatan.

Mengenakan topi khas pengendara truk dan sepatu bot tebal, dia menjejakkan kaki pada jalur berlumpur yang licin. Gurun yang ditumbuhi semak tanaman mesquite ada pada satu sisinya, sedangkan pegunungan Sierra Madre yang menusuk awan kelabu pada sisinya yang lain.

Kenny adalah warga Meksiko penganut Mormon. Dia dilahirkan dibesarkan di La Mora, lima jam berkendara dari perbatasan AS. La Mora lebih menyerupai kompleks peternakan ketimbang desa, namun memiliki sekolah sendiri, bengkel kerja, penampungan hewan ternak, dan rumah bagi 30 keluarga.

Semakin dia mendekati terpal hitam yang menahan bebatuan, raut wajahnya berubah. Beberapa bongkahan besi bengkok muncul dari sisi terpal tersebut.

Lokasi itu adalah saksi bisu dari tragedi yang menghantam komunitas penganut Mormon tersebut.

"Peristiwa itu menjungkirkan dunia kami, dan menurut saya kami tidak akan pernah sama seperti dulu," kata Kenny.

Pada 4 November 2019, menantu perempuan Kenny, Rhonita Miller—yang akrab disapa Nita oleh keluarganya—berkendara beriringan dengan dua perempuan lainnya, Christina Langford dan Dawna Ray Langford, dalam perjalanan selama enam jam.

Mereka menuju Colonia LeBaron, permukiman penganut Mormon lainnya yang dihuni keluarga dan teman.

Rhonita dan Dawna ingin ke sana untuk menghadiri pernikahan, sedangkan Christina mengunjungi mertuanya sebelum pindah ke AS. Dia dan keenam anaknya akan bertemu dengan suaminya, Tyler, yang bekerja untuk industri minyak di North Dakota.

Baca juga: Hotline Pelecehan Seksual di Gereja Perancis Dapat 6.500 Laporan dalam 17 Bulan

Perjalanan sunyi

Malam sebelumnya, dalam pesta perpisahan Christina, sejumlah perempuan itu mendiskusikan jalan menuju LeBaron. Rutenya mereka kenal, tapi sunyi. Jalan berdebu itu menanjak melalui celah sempit di gunung, kemudian menurun ke kawasan Chihuahua.

"Kami bicara tentang betapa bodohnya kami sebagai perempuan bepergian melalui jalan ini sendiri bersama anak-anak kami," kata Amelia, ibu Christina, kepada BBC.

Namun, menurut Amelia, putrinya tertawa dan berkata bahwa dirinya tidak takut.

Sebelum bertolak, Christina menitipkan lima dari enam anaknya kepada Amelia dan menempatkan bayinya, Faith, yang masih menyusu, ke kursi khusus bayi di dalam mobil. Secara keseluruhan, ada 14 anak dan tiga perempuan dewasa dalam perjalanan tersebut.

Adik perempuan Rhonita, Adrianna, sedang bepergian ke Kanada bersama suaminya untuk merayakan ulang tahun pernikahan ketika dia menyadari ada sesuatu yang salah. Sebuah pesan pada grup percakapan keluarga pada aplikasi WhatsApp muncul: "Mohon, para keluarga. Doakan ini tidak benar-benar terjadi".

Pesan berikutnya, yang dikirim ke suaminya, berbunyi: "(Mobil) Suburban Nita terbakar dan penuh dengan peluru."

"Namun mereka tidak berada di dalamnya kan? Tiada yang melakukan hal semacam itu kepada bayi-bayi, perempuan, dan empat bocah. Mungkin mereka menculik dan membakar kendaraannya?" tanya Adrianna kepada suaminya ketika itu.

Jawabannya muncul melalui percakapan telepon 45 menit kemudian.

"Suami saya membalikkan badannya ke arah saya dan berkata 'Mereka semua telah tiada. Mereka semua terbakar'," sambung Adrianna.

Baca juga: Laporan Vatikan: 2 Paus Gereja Katolik Abaikan Tuduhan Pelecehan Seks Kardinal AS

Para pria bersenjata menunggu

Kenny adalah salah satu orang yang mencapai lokasi kejadian.

Dia mendengar suara ledakan tak jauh dari rumahnya di La Mora dan menyuruh salah satu putranya mencari tahu. Menurutnya, putranya tersebut sempat menyaksikan enam pria di dalam beberapa mobil baru, bersenjatakan senapan otomatis, dan perlengkapan ala militer.

Seorang kerabat mengirim drone untuk memeriksa daerah sekitar. Begitu Kenny melihat situasinya aman, dia mendekati lokasi.

"Di situlah kami menyadari (Rhonita dan anak-anaknya) berada di dalam (mobil) Suburban dan mereka tidak bisa keluar. Mobil tersebut seperti onggokan besi yang gosong," ujar Kenny.

"Saya tidak tahu akan menjadi seperti berkah bisa berpisah pada jenazah. Namun, itu tidak kesampaian. Hampir tidak ada sisanya," katanya sambil terisak. "

Penuturan anak Dawna, yang berada di dalam mobil dan selamat dari serangan, memungkinkan kepolisian menyatukan berbagai kepingan fakta.

Para pria bersenjata menunggu di lokasi dan melepaskan tembakan ke tiga kendaraan. Mobil Rhonita, yang posisinya beberapa menit dari La Mora, adalah yang kena pertama. Rhonita, bayi kembar delapan bulan Titus dan Tiana, Krystal (10) dan Howard Jr (12) tewas.

Para penyerang lantas membakar kendaraan tersebut. Mobil berikutnya yang kena sasaran adalah kendaraan Dawna.

Baca juga: Pendeta Gereja Ortodoks di Perancis Ditembak karena Masalah Percintaan dengan Istri Orang

Dawna dan dua putranya, Trevor (11) dan Rogan (3) tewas. Anak-anak Dawna lainnya berhasil lolos dari kendaraan tersebut. Devin (13) memerintahkan enam adiknya bersembunyi di semak-semak, sedangkan dirinya berbalik ke La Mora berjalan kaki. Perjalanan 22,5 kilometer itu memerlukan waktu enam jam.

Menurut kesaksian anak-anak penyintas, Christina lompat dari mobilnya ketika penembakan dimulai. Dia melambaikan tangan di atas kepala, kemungkinan memberi kode kepada para penyerang bahwa hanya ada perempuan dan anak-anak yang berkendara beriringan. Tubuhnya ditemukan sekitar 15 meter dari mobil putihnya.

Tatkala rombongan mobil dari LeBaron tiba delapan jam kemudian, mereka menemukan bayi Christina, Faith, dalam keadaan hidup dengan hanya sedikit goresan di kepala.

Pasca-serangan, sejumlah teori, beberapa di antaranya tampak mengada-ada, tersebar. Beberapa orang menuduh serangan itu terkait dengan perseteruan terkait hak pengelolaan air antara keluarga LeBaron dan sejumlah peternak setempat.

Lainnya menyangka peristiwa itu disengaja untuk mempermalukan Menteri Keamanan, Alfonso Durazo, yang berasal dari Bavispe, kota dekat lokasi kejadian.

Namun, dugaan aparat adalah kejadian ini adalah bagian dari pertikaian antara La Linea, kelompok kartel yang kuat di Negara Bagian Chihuahua, dan kelompok terkait kartel Sinaloa.

Baku tembak antara kedua kelompok di Agua Prieta yang dekat lokasi kejadian, ditengarai membuat ketegangan meninggi. Diyakini bahwa para personel La Linea menyangka melihat musuh ketika iring-iringan kendaraan SUV berkaca hitam melaju di jalan berdebu menuju pegunungan.

Kebrutalan serangan, dan dua kewarganegaraan para korban, membuat peristiwa ini disoroti khalayak internasional.

Beberapa jam setelah berita serangan mengemuka, Biro Investigasi Federal AS (FBI) mengirim beberapa agen untuk membantu penyelidikan kepolisian Meksiko. Presiden AS Donald Trump melontarkan ancaman kepada Meksiko bahwa aksi kekerasan kartel bisa berujung pada intervensi militer.

Namun ancaman itu tidak berwujud dan penyelidikan berlangsung lambat.

Pejabat Departemen Kehakiman Meksiko mengatakan kepada BBC, sebanyak 12 orang ditangkap terkait serangan itu, namun hanya dua di antara mereka yang dituduh dengan dakwaan pembunuhan. Tanggal sidang belum kunjung muncul.

Baca juga: Pelaku Penyerangan di Gereja Kota Nice Perancis Dipindah ke Paris untuk Perawatan Medis

Pernikahan poligami

Komunitas yang mengalami serangan tersebut sudah ada di daerah Meksiko itu selama beberapa generasi. Kisah bagaimana nenek moyang mereka datang dari AS dan bermukim di situ berakar dari keyakinan mereka nan unik.

Pernikahan poligami umum terjadi di Gereja Mormon, yang juga dikenal dengan sebutan Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir. Namun, ketika Negara Bagian Utah yang berpenduduk mayoritas penganut Mormon bergabung dengan AS, praktik poligami menjadi penghalang.

Karenanya, pada 1890, Ketua Gereja Mormon, Wilford Woodruff, melarang pernikahan poligami dilangsungkan.

Para penganut Mormon fundamentalis kemudian mencari tempat di luar AS untuk bermukim. Banyak dari mereka yang menyeberang Sungai Rio Grande, menuju Meksiko. Mereka memperoleh reputasi sebagai pekerja keras dan petani yang bersemangat. Aparat setempat menoleransi praktik pernikahan poligami mereka, mengingat kontribusi mereka pada ekonomi.

Jenny Langford pertama kali datang ke Meksiko pada 1971, di usia 23 tahun. Sebelumnya, perempuan asal Wales tersebut bekerja di AS selama setahun dan bertemu penganut Mormon asal Amerika, Dan Langford, di Las Vegas.

"Ketika saya masih kecil, saya selalu bermimpi hidup di lahan pertanian dan punya banyak anak. Saya tidak pernah menyangka saya akan tinggal di Meksiko," kata Jenny.

Ketika dia dan Dan tiba di La Mora, satu-satunya bangunan hanyalah rumah kecil terbuat dari batu bata yang dimiliki ayah Dan.

Baca juga: Pembunuh 3 Orang di Gereja Perancis Positif Virus Corona

"Kami tidak punya listrik saat itu. Sangat sulit.Tapi kami hidup alami dalam segala hal. Kami menanam tanaman pangan kami sendiri. Kami tidak ingin menjadi bagian dari arus utama. Boleh dibilang kami sedikit pemberontak," sambung Jenny.

Dan dan saudara-saudaranya membangun bengkel kerja, tempat penampungan hewan ternak, dan sebuah sekolah. Jenny melahirkan enam anak laki-laki dan tiga perempuan, serta menjadi guru bagi mereka.

Keluarga mereka terus berkembang. Setelah 10 tahun, seorang perempuan baru datang ke La Mora. Amelia adalah perempuan Amerika yang tinggi, hampir 20 tahun lebih muda dari Jenny.

"Begitu saya melihat Amelia, saya tahu suatu saat dia akan menjadi istri Dan. Mereka pun kemudian menikah," tutur Jenny.

Amelia dan Jenny punya lebih dari 100 anak dan cucu.Getty Images via BBC Indonesia Amelia dan Jenny punya lebih dari 100 anak dan cucu.

Praktik poligami tidak mudah diterima Jenny.

"Namun, semakin banyak saya belajar, saya merasa itu yang diinginkan Tuhan bagi saya. Kami percaya bahwa jika pada masa lalu hal itu benar, maka saat ini juga benar," katanya.

Secara keseluruhan, Jenny dan Amelia punya 102 keturunan. Jenny, seorang perawat terlatih, membantu persalinan mereka.

"Kami menggelar syukuran untuk setiap anak pertama dan ke-12," kata Jenny, tertawa seraya menyajikan hidangan tradisional Meksiko.

"Ketika Tuhan mengatakan 'Pergilah dan beranakcuculah', kami melaksanakan kata-kataNya," sambung Jenny.

"Anaknya adalah anak saya. Anak saya adalah anaknya," kata Jenny merujuk Amelia.

"Jika saya ingin bepergian, Amelia di sini bersama anak-anak dan begitupun sebaliknya. Ini benar-benar cocok buat kami," lanjutnya.

Anak-anak Jenny dan Amelia suka dengan kebebasan di La Mora.

"Kami bisa melakukan apapun di sini," kata Steven, cucu Jenny berusia 13 tahun, sembari memerah seekor sapi yang berukuran lima kali lebih besar dari tubuhnya.

"Kami bisa memancing dan berenang, mengendarai motor. Tidak ada polisi," katanya tersenyum.

Baca juga: Polisi Perancis Tangkap 2 Tersangka Baru Kasus Penikaman di Gereja Kota Nice

Kekerasan masa lalu di Colonia LeBaron

Jika La Mora tampak seperti peternakan desa, Colonia LeBaron - komunitas yang dituju Christina, Rhonita, dan Dawna - adalah pusat kekuasaan penganut fundamenmtalis Mormon di Meksiko.

Di sana, kacang pecan ditanam di lahan pertanian untuk diekspor ke berbagai penjuru dunia, dan kaum prianya melepas penas dengan mengunjungi lapangan tembak atau tempat minuman setempat. Lokasinya lebih dekat ke Texas, baik secara harfiah maupun metafora.

Paman Rhonita Miller, Julian LeBaron, adalah salah satu pemimpin komunitas Mormon. Dia paham betul ancaman bahaya kelompok-kelompok kartel terhadap komunitasnya.

Pada 2019, adik Julian, ketika itu masih berusia 16 tahun, diculik oleh para anggota kartel setempat. Mereka menuntut uang tebusan sebanyak 1 juta dollar AS (14 miliar), namun komunitas LeBaron menolak membayar.

Alih-alih membayar uang tebusan, komunitas LeBaron menggelar gerakan protes SOS Chihuahua yang mempermalukan para kartel sehingga mereka membebaskan Eric.

Benjamin LeBaron, abang Julian, menjadi juru bicara gerakan itu. Dia berbicara dengan bahasa Spanyol kepada wartawan dan sukses mengajak gubernur setempat untuk bertemu.

Setelah melakukan tekanan tiada henti selama berpekan-pekan, Eric dibebaskan tanpa luka. Lebaron kemudian menjadi pahlawan di Meksiko karena mereka menolak tunduk pada tuntutan kartel. Namun, Benjamin tahu ada harga yang harus dibayar karena berani melawan kartel.

Baca juga: Pelaku Penyerangan Gereja Perancis Sempat Kirim Selfie ke Keluarganya

Dua bulan kemudian, 15 pria bersenjata mendobrak pintu rumah Benjamin. Mereka meringkus Benjamin, saudara iparnya, dan tetangganya, Luis Widmar, ke dalam sebuah mobil yang menunggu.

"Orang-orang itu membawa mereka sejauh empat mil, menyuruh mereka berlutut, dan menembak mereka—empat tembakan untuk setiap orang—pada bagian belakang kepala," kata Julian.

"Abang saya berani. Dia tahu bahwa tidak membayar uang tebusan untuk membebaskan Eric hampir dipastikan akan membuatnya kehilangan nyawa," tambah Julian.

Serangan itu merupakan titik balik bagi Colonia LeBaron. Didorong sikap skeptis bahwa pemerintah Meksiko akan memenuhi janji untuk menyediakan keamanan, LeBaron memutuskan menempuh langkah sendiri. Mereka menciptakan patroli bersenjata sendiri, dan lokasi pemantauan di sekeliling kota.

"Selama 10 tahun tiada yang menganggu kami. Namun kami tidak pernah menerima keadilan untuk kejahatan tersebut. Bahkan, sebagian besar kejahatan di Meksiko tidak menerima keadilan," kata Julian.

Karena itu, lambannya kemajuan penyelidikan terkait pembunuhan sejumlah perempuan dan anak-anak mereka tidak mengejutkan Julian.

"Kami tidak lagi percaya aparat. Selang 12 bulan setelah serangan, mereka tidak kunjung menghukum para pelakunya. Kami tidak akan pernah diam. Kami tidak akan memberikan praduga tak bersalah kepada aparat," imbuh Julian.

Hari ulang tahun Rhonita pada September lalu adalah yang pertama kali diperingati tanpa kehadirannya.

"Kami masih sangat menderita, dan pada bersamaan mencoba untuk terus menjalani hidup. Enam bulan lalu saya punya banyak harapan. Semakin banyak saya paham sistem Meksiko, semakin kurang keyakinan saya bahwa kami akan memperoleh keadilan," ujar saudara kandung Rhonita, Adrianna.

Baca juga: Polisi Dalami Adanya Tersangka Lainnya dalam Penembakan di Gereja Lyon Perancis

Namun Kenny Miller lebih diplomatis.

"Nenek moyang kami datang ke sini dari AS, dan Meksiko menerima mereka dengan tangan terbuka. Karena itu, kami menghormati aparat yang dipilih oleh rakyat. Tentu ada aksi kekerasan kartel dan itu langsung berdampak pada kami. Tapi kami menuntut keadilan melalui jalur yang benar," kata Kenny.

Presiden Meksiko, Andres Manuel Lopez Obrador, berupaya meyakinkan masyarakat bahwa pemerintahannya bisa menangani peristiwa ini.

Dia telah beberapa kali menemui para keluarga korban. Pada pertemuan terkini, Oktober lalu, dia meresmikan markas Garda Nasional baru dekat komunitas La Mora, mengumumkan pembangunan jalan raya yang memangkas waktu perjalanan ke perbatasan AS, serta monumen yang menghormati para mendiang korban pembunuhan.

Saat berkampanye, Obrador berjanji akan mengurangi aksi kekerasan dengan menggunakan pendekatan berjargon "pelukan, bukan peluru". Dia berjanji bahwa dengan memberantas kondisi yang membuat orang-orang mau direkrut kartel, kekuatan kelompok-kelompok tersebut akan dilemahkan.

Akan tetapi, aksi kekerasan justru meningkat ketika Obrador memimpin Meksiko. Setahun setelah serangan, aksi-aksi kekerasan di Meksiko tampak paling keji.

Persaingan antara kelompok kartel semakin sengit, walau karantina wilayah terkait pandemi Covid-19 diberlakukan. Lebih jauh, kelompok-kelompok pecahan dari sejumlah kartel terbukti bersedia menggunakan taktik yang lebih keji demi mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Kerap kali warga sipil terjebak dalam rivalitas mereka.

Baca juga: Ibu 3 Anak Ini Tewas Bak Ksatria Saat Melawan Pelaku Serangan Gereja Perancis

Harapan untuk masa depan

Setahun setelah peristiwa pembunuhan tiga perempuan dan anak-anak mereka, sekolah dan bengkel kerja di La Mora tampak sunyi. Sekitar dua pertiga dari 30 keluarga di dalam komunitas tersebut telah pergi, kebanyakan menetap di bagian selatan Negara Bagian Utah, AS.

Jenny dan Amelia adalah dua dari segelintir orang yang memilih menetap di La Mora. Jenny begitu pasrah setahun setelah serangan.

"Saya sudah tinggal di sini selama 48 tahun. Saya tidak akan pernah pergi. Saya merasa jika akan tewas oleh peluru, maka akan tewas oleh peluru," ujar Jenny.

Menanggapi anak-anak dan keluarga mereka yang telah pergi, dia optimistis mereka akan kembali suatu hari nanti.

"Ada ungkapan bahwa hal yang bisa kita berikan kepada anak-anak kita adalah akar dan sayap. Saya merasa kami telah memberikan mereka akar dan mereka akan selalu kembali. Di sinilah tempat mereka," pungkas Jenny.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Saat Dokter Jantung Ladeni Warganet yang Sebut Non-Perokok Sebagai Pecundang...

Saat Dokter Jantung Ladeni Warganet yang Sebut Non-Perokok Sebagai Pecundang...

Global
Agungkan Budaya Gila Kerja, Petinggi Mesin Pencari Terbesar China Malah Blunder

Agungkan Budaya Gila Kerja, Petinggi Mesin Pencari Terbesar China Malah Blunder

Global
Karyawan Ini Nekat Terbang Sebentar ke Italia Demi Makan Pizza, Padahal Besok Kerja

Karyawan Ini Nekat Terbang Sebentar ke Italia Demi Makan Pizza, Padahal Besok Kerja

Global
Warga Israel Bakar Kompleks Gedung UNRWA di Yerusalem Timur

Warga Israel Bakar Kompleks Gedung UNRWA di Yerusalem Timur

Global
100.000 Orang Terpaksa Tinggalkan Rafah Gaza di Bawah Ancaman Serangan Darat Israel

100.000 Orang Terpaksa Tinggalkan Rafah Gaza di Bawah Ancaman Serangan Darat Israel

Global
Jeda Pengiriman Senjata AS Tak Berdampak, Israel Terus Gempur Rafah

Jeda Pengiriman Senjata AS Tak Berdampak, Israel Terus Gempur Rafah

Global
Kontestan Israel Lolos ke Final Kontes Lagu Eurovision, Tuai Kecaman

Kontestan Israel Lolos ke Final Kontes Lagu Eurovision, Tuai Kecaman

Global
Selama 2024, Heatstroke di Thailand Sebabkan 61 Kematian

Selama 2024, Heatstroke di Thailand Sebabkan 61 Kematian

Global
Mesir Ungkap Kunci Hamas dan Israel jika Ingin Capai Kesepakatan Gencatan Senjata Gaza

Mesir Ungkap Kunci Hamas dan Israel jika Ingin Capai Kesepakatan Gencatan Senjata Gaza

Global
Perundingan Gencatan Senjata Gaza di Kairo Berakhir Tanpa Kesepakatan

Perundingan Gencatan Senjata Gaza di Kairo Berakhir Tanpa Kesepakatan

Global
PRT di Thailand Ini Ternyata Belum Pasti Akan Terima Warisan Rp 43,5 Miliar dari Majikan yang Bunuh Diri, Kok Bisa?

PRT di Thailand Ini Ternyata Belum Pasti Akan Terima Warisan Rp 43,5 Miliar dari Majikan yang Bunuh Diri, Kok Bisa?

Global
Rangkuman Hari Ke-806 Serangan Rusia ke Ukraina: Presiden Pecat Pengawalnya | Serangan Drone Terjauh Ukraina

Rangkuman Hari Ke-806 Serangan Rusia ke Ukraina: Presiden Pecat Pengawalnya | Serangan Drone Terjauh Ukraina

Global
Meski Diprotes di Kontes Lagu Eurovision, Kontestan Israel Maju ke Final

Meski Diprotes di Kontes Lagu Eurovision, Kontestan Israel Maju ke Final

Global
Tasbih Antikuman Diproduksi untuk Musim Haji 2024, Bagaimana Cara Kerjanya?

Tasbih Antikuman Diproduksi untuk Musim Haji 2024, Bagaimana Cara Kerjanya?

Global
Kata Netanyahu Usai Biden Ancam Setop Pasok Senjata ke Israel

Kata Netanyahu Usai Biden Ancam Setop Pasok Senjata ke Israel

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com