NAYPYIDAW, KOMPAS.com – Rakyat Myanmar akan memberikan suaranya dalam pemilihan umum (pemilu) Myanmar pada Minggu (8/11/2020).
Ada sekitar 37 juta pemilih terdaftar, meskipun jumlah pemilih diperkirakan akan turun karena lonjakan kasus virus corona baru-baru ini.
Pada 2015, Myanmar memasuki babak baru setelah terlepas dari pemerintahan junta militer menuju demokrasi sebagaimana dilansir dari Associated Press, Jumat (6/11/2020).
Peraih Hadiah Nobel Perdamaian sekaligus politikus daru Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD) Aung San Suu Kyi (75) meraup kemenangan gemilang dalam pemilu Myanmar pada 2015.
Suu Kyi lalu menjadi pemimpin Myanmar setelah bertahun-tahun berjuang dengan damai melawan kediktatoran militer yang sehingga menarik kekaguman dunia internasional.
Baca juga: Caleg di Myanmar Ini Merayu Pemilih dengan Sembako Murah
Tahun ini, partainya diprediksi kembali memenangi pemilu, tetapi sejumlah pengkritik merasa pemerintahannya gagal merangkul prinsip-prinsip demokrasi.
Peluang untuk mereformasi Myanmar sepenuhnya dari cengeraman militer sepertinya masih jauh api dari panggangan.
Pasalnya, konstitusi negara yang dikeluarkan pada 2008, yang dirancang oleh junta militer kala itu, menjamin cukup kursi di Parlemen Myanmar bagi militer.
Para kritikus menuduh Suu Kyi dan partainya lebih peduli untuk memperkuat kekuasannya daripada mendorong demokrasi yang lebih luas.
“Kali ini, baik Aung San Suu Kyi maupun partainya tidak membawa demokrasi ke Myanmar. Sebaliknya, mereka mencoba membawa sistem demokrasi satu partai,” kata Khin Zaw Win, Direktur Tampadipa Institute, sebuah kelompok advokasi kebijakan yang berbasis di Yangon.
Baca juga: Jelang Pemilu Myanmar, Aung San Suu Kyi Klaim Covid-19 Terkendali di Yangon
Melemahkan pihak lain berarti hanya ada sedikit perdebatan nyata tentang kebijakan selama kampanye. Khin menambahkan Myanmar membutuhkan perpaduan politik yang lebih baik.
Bahkan proses pemungutan suara telah menjadi kontroversi, karena komisi pemilihan negara telah dituduh berkomplot dengan partai Suu Kyi.
Komisi pemilu Myanmar dituduh membatalkan pemungutan suara di beberapa wilayah di mana partai-partai yang kritis terhadap pemerintah dipastikan memenangi kursi di Parlemen Myanmar.
Sementara itu, komisi pemilu berkeras bahwa pemungutan suara dibatalkan karena adanya konflik bersenjata dengan gerilyawan etnis di daerah itu.
Keputusan itu adalah salah satu dari beberapa poin yang dikritik pekan lalu oleh Thomas Andrews, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia (HAM) di Myanmar.
Baca juga: Dihantam Pandemi dan Krisis Parah, Warga Miskin Myanmar Makan Tikus