Thailand memiliki sejarah panjang kerusuhan dan protes politik, tetapi gelombang baru dimulai pada bulan Februari, setelah partai politik oposisi yang populer diperintahkan untuk dibubarkan.
Perintah ini menyusul pemilihan umum pada Maret tahun lalu - yang pertama sejak militer merebut kekuasaan pada 2014. Bagi banyak anak muda dan pemilih pemula, hal ini merupakan peluang untuk perubahan setelah bertahun-tahun berada di bawah pemerintahan militer.
Namun pihak militer telah mengambil langkah-langkah untuk memperkuat peran politiknya, dan pemilihan menghasilkan Prayuth Chan-O-Cha - pemimpin militer yang memimpin kudeta - dilantik kembali sebagai perdana menteri.
Future Forward Party (FFP), partai pro-demokrasi, dengan pemimpin karismatiknya Thanathorn Juangroongruangkit, memperoleh jatah kursi terbesar ketiga dan sangat populer di kalangan muda, pemilih pemula.
Namun pada Februari, pengadilan memutuskan bahwa FFP terbukti telah menerima pinjaman dari Thanathorn yang dianggap sebagai sumbangan - sehingga menjadikannya ilegal - dan partai tersebut terpaksa bubar.
Baca juga: Abaikan Aturan Berkumpul, Ribuan Demonstran Thailand Masih Penuhi Jalan
Ribuan orang kemudian berpartisipasi dalam aksi turun ke jalan. Namun, aksi ini kemudian dihentikan oleh pembatasan dalam situasi pandemi Covid-19, yang secara teknis melarang pertemuan di bawah keadaan darurat virus corona di Thailand. Melanggar larangan tersebut dapat mengakibatkan hukuman penjara dua tahun.
Keadaan kembali memanas pada bulan Juni ketika seorang aktivis pro-demokrasi terkemuka hilang.
Wanchalearm Satsaksit, yang telah tinggal di Kamboja dalam pengasingan sejak 2014, dilaporkan diculik dari jalan dan dimasukkan ke dalam kendaraan.
Para pengunjuk rasa menuduh Thailand mengatur penculikannya. Tuduhan ini dibantah oleh polisi dan pemerintah.
Dalam beberapa bulan terakhir aksi mereka meluas pada seruan pembatasan kekuasaan Raja Thailand Maha Vajiralongkorn, yang sekarang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar negeri.
Para pengunjuk rasa menentang keputusan raja yang mengalihkan semua kepemilikan di Biro Properti Mahkota ke kepemilikan pribadinya, yang menjadikannya orang terkaya di Thailand. Kekayaan itu hingga kini secara sengaja disimpan dalam kepercayaan untuk kemaslahatan rakyat.
Ada juga pertanyaan tentang keputusannya untuk mengambil komando pribadi dari semua unit militer yang berbasis di Bangkok - konsentrasi kekuatan militer di tangan kerajaan- yang belum pernah terjadi sebelumnya di era Thailand yang modern.
Baca juga: Dianggap Bahayakan Ratu, 2 Aktivis Thailand Ditangkap
Kemampuan gerakan untuk terus mengumpulkan massa dalam demonstrasi besar-besaran yang terlihat dalam beberapa bulan terakhir akan menghadapi masa sulit menyusul tindakan keras bagi pertemuan publik, terutama dengan beberapa tokoh aktivis yang ditahan di luar Bangkok.
Namun, setidaknya satu orang pemimpin mahasiswa telah bersumpah bahwa demonstrasi akan terus berlanjut. Dalam rekaman yang dibagikan secara luas di media sosial, Panusaya mengatakan dekrit darurat pemerintah harus diabaikan.
Dalam beberapa bulan terakhir, aksi berupa "flashmob" dalam skala kecil yang mudah diatur dan dapat dengan cepat dibubarkan telah dimobilisasi di kota-kota kecil, dengan dorongan dari media sosial.
Dan sekarang, orang-orang dari berbagai usia, dari semua bagian negara - selain pendukung monarki garis keras - tampaknya setuju dengan para tokoh mahasiswa bahwa monarki adalah sasaran dalam perbaikan institusi Thailand, kata koresponden BBC di Bangkok, Jonathan Head.
Hanya masalah waktu sebelum kita melihat lebih banyak protes serupa di Thailand, tambah koresponden kami.
Apakah demonstrasi akan memiliki dampak yang memadai untuk memaksa perubahan konstitusi, kita lihat bersama.
Baca juga: Hindari Lonjakan Kasus Covid-19, Thailand Akan Pakai Keju Swiss
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.