CHRISTCHURCH, KOMPAS.com - Ada indikasi sebuah 'jalan beracun' ketika pria pelaku penembakan masjid Christchurch, Brenton Tarrant pindah ke Selandia Baru dari Australia pada 2017.
Melansir AFP, dia tidak memiliki riwayat kriminal dan tidak ada dalam daftar pengawasan keamanan apa pun.
Tapi Brenton Tarrant yang berusia 29 tahun sekarang akan tercatat dalam sejarah sebagai terpidana teroris pertama di Selandia Baru, dan orang pertama di negara itu yang pernah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.
Lahir di kota Grafton pedesaan Australia, enam jam berkendara ke utara Sydney, Tarrant bekerja sebagai instruktur gym sebelum tiba di Selandia Baru.
Tarrant mulai mengumpulkan segudang senjata segera setelah mendirikan rumah di Dunedin, dengan tujuan untuk melakukan aksi keji terhadap komunitas Muslim di Selandia Baru.
Usai melakukan persiapan yang cermat, rencana itu berakhir dengan mengerikan pada 15 Maret 2019, ketika Tarrant menyerang 2 masjid di Christchurch sembari menyiarkan peristiwa itu.
"Dia bermaksud untuk menanamkan rasa takut kepada orang-orang yang dia gambarkan sebagai 'penjajah', termasuk populasi Muslim atau lebih umumnya imigran non-Eropa," kata Jaksa Barnaby Hawes dalam vonis sidang di Pengadilan Tinggi Christchurch pada pekan ini.
Saat dunia mencari jawaban atas yang dilakukan Tarrant, mantan teman dan kolega ditanyai tentang latar belakang Tarrant dan kemungkinan motivasi aksi kejamnya.
Inforasi tentang Tarrant, mendeskripsikan pria itu sebagai seorang penyendiri yang canggung secara sosial yang menjadi pecandu gym setelah mendapat intimidasi saat remaja karena berat badan berlebih.
Dia juga tampaknya terpukul keras ketika ayahnya meninggal karena kanker pada 2010 di usia 49 tahun, tetapi tidak ada yang menjelaskan tentang kebencian yang membakar di balik kejahatan Tarrant.
Baca juga: Brenton Tarrant, Teroris Penembakan Masjid Selandia Baru, Dihukum Seumur Hidup
Dalam "manifesto" panjang lebar yang diunggah Tarrant sebelum pembantaian, dia berbicara tentang bagaimana dia menjalani proses radikalisasi selama perjalanan ke Eropa dari Asia yang tampaknya dibiayai oleh sebuah warisan sehingga dia tidak perlu bekerja.
Aspek luar biasa dari kepribadian Tarrant tampaknya adalah kerentanannya terhadap kebencian online dan, pada akhirnya, kesediaannya untuk mempersenjatai internet dengan membagikan aksi pembunuhan yang dilakukannya di media sosial melalui kamera GoPro yang dipasang di helm.
Semakin terisolasi di dunia nyata, Tarrant berkecimpung di ruang-ruang 'obrolan' ekstremis, berbagi meme dan lelucon rasis dengan kenalan online yang mendukung pandangannya.
Jaksa Mark Zarifeh mengutip dari wawancara yang dilakukan otoritas penjara dengan Tarrant pada bulan April, ketika dia menggambarkan keadaan pikirannya pada saat penyerangan.
"Dia mengatakan dia memiliki kondisi emosi yang tidak stabil dan sangat tidak bahagia," kata Zarifeh.