Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demonstrasi Pecah di Thailand, Tuntut Pemerintah Mundur

Kompas.com - 19/07/2020, 12:11 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

Sumber Reuters

BANGKOK, KOMPAS.com - Sekitar 2.500 demonstran Thailand turun ke jalan menuntut pemerintah untuk mundur dan menuntut pembubaran parlemen, Sabtu (18/7/2020) malam waktu setempat.

Aksi tersebut merupakan aksi terbesar sejak insiden kudeta militer di Thailand pada 2014 yang merontokkan pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra sebagaimana dilansir dari Reuters, Sabtu.

Dilansir dari Reuters, para demonstran berpawai di dekat Monumen Demokrasi Bangkok. Mereka memprotes pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha.

Prayuth merupakan mantan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Thailand. Dia berhasil menjadi Perdana Menteri Thailand setelah menggulingkan Yingluck Shinawatra dalam Kudeta Militer 2014.

Selain itu, para demosntran juga menuntut tiga hal yakni pembubaran parlemen, kebebasan berpendapat, dan mengamandemen konstitusi militer. Menurut aktivis konstitusi militer tersebut menjamin kemenangan partai Prayuth pada pemilihan umum 2019.

Baca juga: Komedian Kritis Thailand Diculik di Tengah Hari Bolong di Kamboja

Seorang aktivis mahasiswa, Tattep Ruangprapaikit, berteriak kepada demonstran untuk tidak diam saja atas kurang demokratisnya Thailand.

Aksi demonstrasi tersebut juga menyuarakan protes terhadap monarki Thailand secara terselubung. Padahal ada peraturan yang melarang kritik terhadap raja.

Personel kepolisian berjaga-jaga namun tidak bergerak untuk menghentikan aksi demonstrasi.

Demonstrasi tersebut dimulai oleh sekelompok mahasiswa. Namun seiring berjalannya waktu, ratusan orang mulai ikut dalam aksi sehingga jumlahnya diperkirakan mencapai 2.500 orang.

Aksi demonstrasi mulai surut ketika tengah malam. Namun sebagian demonstran mengatakan akan kembali turun ke jalan jika dalam dua pekan tuntutannya tidak terpenuhi.

Baca juga: Karena Lockdown, Para Monyet Duduki Kota di Thailand

Beberapa bulan terakhir, publik semakin gerah terhadap pemerintahan Prayuth.

Sejak pemilihan umum 2019, pengadilan telah membubarkan partai oposisi terbesar kedua. Hal itu memberikan kontrol yang semakin kuat terhadap koalisi partai penguasa di parlemen.

Beberapa anggota kabinet juga mengundurkan diri pada Kamis (16/7/2020) karena perselisihan internal.

Partai pro-militer tempat Prayuth bernaung, Partai Palang Pracharat, berkampanye tentang visi budaya tradisional Thailand dan kesetiaan kepada Raja Thailand, Vajiralongkorn.

Thailand menganut sistem pemerintahan monarki konstitusional. Menghina raja dapat dihukum hingga 15 tahun penjara. Kalangan konservatif memandang monarki sebagai sesuatu yang sakral.

Baca juga: Relawan Perempuan, Salah 1 Kunci Sukses Thailand Tangani Covid-19

Beberapa spanduk dan pidato pada demonstrasi Sabtu secara terselubung memprotes monarki.

"Ini negara kita, tapi rumah siapa di Jerman?" ujar seorang demonstran di depan massa.

Raja Vajiralongkorn, memiliki lahan di Jerman dan dia menghabiskan banyak waktu di negara tersebut.

Pada Juni, Prayuth secara terbuka sempat memperingatkan para aktivis politik untuk tidak mengkritik monarki jika tidak ingin dihukum.

Baca juga: Menipu Publik, 2 Pemilik Restoran Seafood Thailand Dipenjara 1.446 Tahun

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Inilah Wombat Tertua di Dunia, Usianya 35 Tahun

Inilah Wombat Tertua di Dunia, Usianya 35 Tahun

Global
Biden Akan Bicara ke Netanyahu Usai Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi

Biden Akan Bicara ke Netanyahu Usai Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi

Global
Pejabat UE dan Perancis Kecam Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi, Ini Alasannya

Pejabat UE dan Perancis Kecam Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi, Ini Alasannya

Global
Rusia dan Ukraina Dilaporkan Pakai Senjata Terlarang, Apa Saja?

Rusia dan Ukraina Dilaporkan Pakai Senjata Terlarang, Apa Saja?

Internasional
Setelah Perintahkan Warga Mengungsi, Israel Serang Rafah, Hal yang Dikhawatirkan Mulai Terjadi

Setelah Perintahkan Warga Mengungsi, Israel Serang Rafah, Hal yang Dikhawatirkan Mulai Terjadi

Global
Jerman Tarik Duta Besarnya dari Rusia, Ini Alasannya

Jerman Tarik Duta Besarnya dari Rusia, Ini Alasannya

Global
Kebun Binatang di China Warnai 2 Anjing Jadi Mirip Panda, Tarik Banyak Pengunjung tapi Tuai Kritik

Kebun Binatang di China Warnai 2 Anjing Jadi Mirip Panda, Tarik Banyak Pengunjung tapi Tuai Kritik

Global
Meski Rafah Dievakuasi, Hamas Tetap Lanjutkan Perundingan Gencatan Senjata

Meski Rafah Dievakuasi, Hamas Tetap Lanjutkan Perundingan Gencatan Senjata

Global
Rusia Ungkap Tujuan Putin Perintahkan Latihan Senjata Nuklir dalam Waktu Dekat

Rusia Ungkap Tujuan Putin Perintahkan Latihan Senjata Nuklir dalam Waktu Dekat

Global
Pria Ini Menyamar Jadi Wanita agar Terhindar Penangkapan, tapi Gagal

Pria Ini Menyamar Jadi Wanita agar Terhindar Penangkapan, tapi Gagal

Global
Cerita Wartawan BBC Menumpang Kapal Filipina, Dikejar Kapal Patroli China

Cerita Wartawan BBC Menumpang Kapal Filipina, Dikejar Kapal Patroli China

Global
Putin Perintahkan Pasukan Rusia Latihan Senjata Nuklir di Dekat Ukraina

Putin Perintahkan Pasukan Rusia Latihan Senjata Nuklir di Dekat Ukraina

Global
Israel Dorong 100.000 Warga Sipil Palestina Tinggalkan Rafah Timur, Apa Tujuannya?

Israel Dorong 100.000 Warga Sipil Palestina Tinggalkan Rafah Timur, Apa Tujuannya?

Global
Fakta-fakta di Balik Demo Mahasiswa AS Tolak Perang di Gaza

Fakta-fakta di Balik Demo Mahasiswa AS Tolak Perang di Gaza

Global
Hezbollah Tembakkan Puluhan Roket Katyusha ke Pangkalan Israel

Hezbollah Tembakkan Puluhan Roket Katyusha ke Pangkalan Israel

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com