KOMPAS.com - Sitanan Satsaksit sedang bicara di telepon dengan adik laki-lakinya, Wanchalearm, ketika ia mendengar suara seperti tabrakan di ujung sambungan telepon.
Sitanan pikir Wanchalearm tertabrak mobil. Lalu ia di telepon mendengar adiknya berteriak dalam bahasa Khmer, yang ia tak mengerti.
Ternyata saat itu adiknya diculik.
Saksi mata mengatakan ada sekelompok pria bersenjata menggelandang Wanchalearm ke dalam sebuah mobil warna hitam.
Ketika Wanchalearm meminta tolong, orang-orang mendekat, tapi para penculik menghalau mereka, lalu kabur.
Baca juga: Relawan Perempuan, Salah 1 Kunci Sukses Thailand Tangani Covid-19
Sitanan yang kebingungan sempat mendengar suara adiknya bergumam tak jelas dari sambungan telepon selama 30 menit. Lalu telepon itu mati.
Penculikan ini terjadi di Kamboja.
Wanchalearm Satsaksit (37) adalah seorang pegiat pro-demokrasi Thailand yang tinggal di Kamboja sejak 2014.
Ia adalah orang kesembilan yang menjadi korban penghilangan paksa dalam beberapa tahun terakhir lantaran mengkritik pemerintah Thailand.
Beberapa di antara mereka ditemukan tewas dimutilasi di dalam karung.
Wanchalearm yang juga dikenal dengan nama Tar ini banyak bicara soal hak LGBT di Thailand lebih dari 10 tahun lalu.
Baca juga: Menipu Publik, 2 Pemilik Restoran Seafood Thailand Dipenjara 1.446 Tahun
Pelan-pelan ia melebarkan kritik ke soal demokrasi di Thailand, kata Sunai Phasuk, peneliti senior di Human Rights Watch Asia yang juga teman Wanchalearm.
Wanchalearm meninggalkan Thailand ketika ada tanda ia akan dibungkam sesudah mengkritik kudeta militer tahun 2014 yang dipimpin Jenderal Prayuth Chan-ocha. Ia kemudian tinggal di Phnom Penh, Kamboja.
Dari Kamboja, ia masih terus menampilkan dirinya secara daring, mengkritik pemerintah Thailand dengan cara humor.
“Ia melihat dirinya sebagai satiris, mirip dengan komedian politik,” kata Sunai.